Sementara itu, pada 2021, sebanyak 28,10 persen UMB (Usaha Menengah Besar) juga mengaku mengalami penurunan harga produk. Hal ini menyusul berkurangnya pelanggan yang berdampak kepada berkurangnya modal dan akhirnya berdampak pula kepada harga jual produk yang menurun.
Pelaku usaha mau tidak mau harus bekerja ekstra untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha kecil (UMK), tetapi juga perusahaan yang masuk dalam kategori UMB yang menghadapi kesulitan dalam hal pemasaran/penjualan produk semasa pandemi hingga mencapai 55,40 persen pada 2021.
Akhirnya, pelaku bisnis pun harus beradaptasi untuk dapat bertahan dan bangkit di tengah terpuruknya perekonomian nasional. Mengubah model pemasaran dengan memanfaatkan teknologi digital dan internet pun menjadi strategi yang dipilih oleh 36,74 persen perusahaan berskala besar untuk dapat bertahan di tengah pandemi.
Bagi perusahaan atau brand berskala besar, memperkuat eksistensi di masyarakat menjadi salah satu faktor penting untuk bertahan di tengah pandemi. Hal ini juga diakui oleh CEO Noid+ Carlos F. Sopamena, digital agency yang berbasis di Jakarta Selatan. Carlos mengungkapkan, pandemi telah berdampak besar kepada brand, mulai dari brand kecil hingga besar. Namun, brand tetap harus mempertahankan eksistensi mereka di tengah masyarakat, bahkan saat mereka tidak bisa menjangkau pelanggan secara langsung melalui kegiatan offline.
"Pada saat pandemi ada PPKM, brand jadi enggak bisa melakukan aktivasi (secara offline). Di Indonesia, masyarakat Indonesia itu pada dasarnya suka sesuatu yang tangible, real, yang kelihatan langsung dan bisa dipegang. Pada saat pandemi, brand akhirnya mulai beralih ke digital (marketing). Tujuannya, pada saat pandemi yang dijaga oleh brand adalah awareness. Bagaimana caranya supaya walaupun pandemi konsumen enggak bisa keluar rumah, brand tetap bisa keliatan terus," ungkap Carlos, Jumat, 22 April 2022.
Carlos menambahkan, setiap brand dari berbagai industri mengalami dampak negatif yang cukup besar dari pandemi. Namun, brand yang telah beralih ke strategi digital marketing akhirnya dapat bertahan dan tetap terlihat di tengah masyarakat.
Manfaatkan momentum untuk memperkuat eksistensi brand
BPS juga mencatatkan peningkatan pencarian kata kunci terkait konsumsi masyarakat pada mesin pencarian Google di masa awal pandemi yang mengindikasikan peningkatan pemanfaatan platform digital untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, pemanfaatan digital marketing semasa pandemi secara tidak langsung membantu brand untuk dapat bertahan.Managing Director Noid+ Teguh Kristianto menambahkan, peningkatan terbesar ada di penggunaan media sosial. Menurutnya, peningkatan inilah yang seharusnya dilihat sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan brand awareness.
"Pada saat pandemi, digital marketing naik karena penggunaan media sosial jelas meningkat. Layanan Over-the-Top, seperti Netflix, VIU, dan YouTube itu viewers-nya makin banyak. Juga banyak content creator yang baru muncul dan tiba-tiba subscribers-nya naik, viewers-nya tinggi. Jadi, kalau brand yang sudah aware dengan digital marketing, justru pada saat pandemi bisa sustain dan bahkan penjualan online malah meningkat. Contoh, ada beberapa brand fashion dia selama ini jualannya online. Sebelum pandemi dan saat pandemi, itu bisa berkali-kali lipat naiknya lebih tinggi saat pandemi," jelasnya.
Senada, Carlos juga mengatakan pandemi justru menjadi titik balik bagi brand karena telah membuat banyak yang beralih dari strategi pemasaran konvensional ke digital marketing. Namun, untuk dapat menjalankan strategi yang sukses, Carlos mengakui hal ini tergantung tujuan brand tersebut karena ada banyak hal yang dapat diraih dengan menggunakan digital marketing. Menurutnya, saat ini masih banyak brand yang belum teredukasi dan menganggap digital marketing adalah jalan pintas untuk mendapatkan konversi penjualan.
"Digital marketing itu kalau kita boleh jujur, enggak semua produk bisa dibantu secara langsung penjualannya dengan digital marketing. Journey-nya panjang," ujarnya.
Pilih platform yang efektif
Carlos menjelaskan, dalam menjalankan strategi digital marketing, hal pertama yang harus dipastikan adalah bujet. Berpatokan kepada bujet, brand maupun agency dapat memilih strategi yang paling efektif untuk menjalankan campaign."Sebenarnya kembali ke brand-nya. Brand harus bisa menentukan alokasi bujet-nya berapa untuk menjalankan marketing mereka, apalagi digital marketing itu bisa terukur. Kalau brand sudah kasih alokasi dana sekian ke agency, strateginya bisa lebih terarah," ungkap Carlos.
Teguh menambahkan, bujet sebesar apa pun dapat digunakan dalam digital marketing. Namun, untuk dapat menjalankan strategi yang efektif, brand harus fleksibel dan siap menjalankan strategi digital marketing yang terintegrasi.
"Bicara soal bujet, sebenarnya besar atau kecil enggak masalah. Tapi, balik lagi ke kesiapan brand untuk shifting ke digital marketing ini. Kita juga enggak bisa cuma berpatokan ke satu strategi saja (online atau offline) karena keduanya efektif. Tapi, tetap harus terintegrasi," kata dia.
2 strategi jitu yang harus dijalankan beriringan
Digital marketing yang terintegrasi dengan aktivitas on ground pun diakui Carlos menjadi strategi yang jitu dalam menghadapi pandemi dan menyambut endemi beberapa tahun ke depan. Menurut Carlos, melihat consumptive behavior masyarakat Indonesia yang masih dinamis, brand juga harus melihat hal ini sebagai tantangan sekaligus peluang untuk menjangkau lebih dekat.Ditambah lagi, perubahan teknologi platform digital yang cepat juga harus diikuti dengan inovasi dari brand, sehingga tidak ketinggalan tren yang sedang populer sekaligus dapat menunggangi tren tersebut untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat.
"Karena di digital itu shifting-nya cepat, brand juga harus cepat adjust. Jangan takut untuk coba sesuatu yang baru. Kalau pun gagal, ini jadi experiment dan experience, jadi bisa evaluasi lagi," akunya.
Namun, Teguh mengatakan platform digital bukanlah faktor utama kesuksesan digital marketing. Untuk mendapatkan perhatian konsumen, brand harus dapat menghadirkan konten yang relevan dan riding the moment, bukan sekadar viral.
"Platform digital yang ada harus kita manfaatkan. Caranya bisa dengan menghadirkan konten yang tepat dengan message yang pas. Cara approach-nya juga harus diperhatikan. Di sini, brand jangan takut mencoba semua platform dan explore ide, selama masih ada relevansi dengan brand dan produknya," paparnya.
Bagi Carlos, baik online maupun offline marketing memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Karena itu, integrated digital marketing dapat menutupi kekurangan keduanya sekaligus memberikan brand keuntungan ganda. Menjangkau konsumen lebih dekat melalui berbagai platform digital, mulai dari website (microsite), media sosial, aplikasi, hingga digital ads, dapat membuat brand terlihat di mana-mana. Namun, hal ini juga harus diiringi dengan kemudahan masyarakat untuk membeli secara langsung di toko terdekat.
"Brand harus bisa mulai mengubah pola pikir, enggak bisa cuma menjalankan online saja dan mengharapkan sesuatu yang lebih. Enggak gampang menciptakan conversion di digital supaya orang mau langsung beli. Pertama, secara visibility di digital harus di-maintain. Kedua, produknya dekat enggak sama mereka. Misal produk minuman, kalau tokonya jauh, orang juga malas, keburu hausnya hilang. Jadi, integrasi dan kolaborasi ini kuncinya," terangnya.
Dengan kata lain, menjaga eksistensi brand secara digital sangat penting. Namun, harus diimbangi dengan kemudahan pembelian, baik online maupun offline. Oleh karena itu, brand harus menyesuaikan bujet untuk menjalankan strategi integrated digital marketing di platform yang tepat; diiringi juga dengan pesan dan konten yang relevan dengan brand dan konsumen mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News