Mengutip temuan Geneva Network dalam laporan berjudul 'Abolishing Pharmaceutical and Vaccine Tariffs to Promote Access', Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan adanya bea masuk dalam bentuk tarif untuk produk farmasi berkontribusi besar pada kenaikan harga obat.
Tarif terhadap obat-obatan pada dasarnya seperti pajak regresif, karena lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah daripada yang berpenghasilan tinggi.
"Tingginya tarif masuk seperti ini tentu akan sangat memengaruhi harga jualnya. Kenaikan harga jual tentu akan memengaruhi keterjangkauan produk tersebut di pasaran. Kalau hambatan seperti ini tidak segera diatasi, maka mereka yang sakit malah dipaksa membayar lebih mahal," kata Andree, dalam keterangan resminya, Jumat, 14 Agustus 2020.
Indonesia, kata dia, sebenarnya sudah mengurangi tarif untuk produk farmasi dalam beberapa tahun terakhir. Namun Indonesia masih menerapkan tarif rata-rata obat sebesar 3,8 persen dan 3,3 persen untuk vaksin. Selain itu, Indonesia malah memperluas kategori obat-obatan yang dikenakan tarif, dari 14 kategori pada 2001 menjadi 66 kategori pada 2018.
Di luar obat-obatan pun, Indonesia masih mengenakan tarif yang cukup tinggi untuk APD dan alat medis. Data Geneva Network sekali lagi menunjukkan tarif APD sebesar 10,5 persen dan alat medis 5,5 persen.
Ia bilang mengingat rantai nilai manufaktur farmasi semakin mengglobal, tarif-tarif yang kelihatannya rendah akan berdampak kumulatif pada harga akhir produk jadi yang akhirnya dibayar oleh pasien.
Pernyataan ini, lanjut Andree, diperkuat oleh studi yang diterbitkan pada 2017 oleh European Centre for International Political Economy yang menunjukkan penghapusan tarif obat-obatan akan menghemat pengeluaran total pasien di Indonesia hingga mencapai USD252 sekitar Rp3,7 juta.
"Melihat kelangkaan barang medis yang kita alami selama covid-19, pemerintah idealnya melihat penghapusan tarif sebagai instrumen untuk melancarkan perdagangan dan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan pasokan barang medis untuk menahan laju penyebaran covid-19 sekarang maupun nanti setelah pandemi berlalu," tutur Andree.
Indonesia sebenarnya juga telah menghapuskan tarif impor untuk obat-obatan terkait covid-19 untuk sementara waktu. Pemerintah di beberapa negara seperti Pakistan, Brasil, Kolombia, dan Norwegia pun telah menunjukkan keberpihakannya dengan membebaskan sementara obat-obatan, vaksin, dan pasokan alat medis terkait covid-19 dari bea masuk dan pajak.
Sementara itu, negara-negara yang tergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) saat ini sedang membahas rencana penghapusan setidaknya satu tahun pajak dan tarif atas produk medis terkait covid-19.
"Kendati kebijakan tersebut merupakan langkah positif tetapi sayangnya hanya bersifat sementara. Reformasi sementara berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi eksportir terkait arahan jangka panjang suatu pasar. Jadi, kondisi ini malah mengurangi kesiapan produsen dalam menghadapi pandemi lain di masa mendatang," pungkas Andree.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News