Peran vital kelapa sawit bagi perekonomian nasional maupun kehidupan masyarakat global, cukup besar (Foto:MI/Gino Hadi)
Peran vital kelapa sawit bagi perekonomian nasional maupun kehidupan masyarakat global, cukup besar (Foto:MI/Gino Hadi)

Memetik Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dari Praktik Sawit Berkelanjutan

Rosa Anggreati • 06 Februari 2023 16:28
Jakarta: Peran vital kelapa sawit bagi perekonomian nasional maupun kehidupan masyarakat global, cukup besar. Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan dengan 16,38 juta hektare lahan tutupan sawit, Indonesia mampu memproduksi 46,8 juta ton minyak sawit dan memenuhi 40 persen dari total produksi minyak nabati dunia.
 
Masih mengacu pada data yang sama, produktivitas kelapa sawit jauh lebih unggul dibandingkan komoditas minyak nabati lain karena mampu memproduksi satu ton minyak dari lahan seluas 0,3 hektare. Sementara minyak nabati lain seperti minyak rapeseed membutuhkan lahan 1,3 hektare untuk menghasilkan minyak dalam jumlah yang sama, minyak bunga matahari memerlukan lahan seluas 1,5 hektare, dan minyak kedelai seluas 2 hektare.
 
Demikian pula kontribusi minyak sawit terhadap perekonomian Indonesia sangat vital karena menyumbang 13,50 persen terhadap ekspor non-migas, dan 3,50 persen terhadap total PDB, menyerap 17 juta tenaga kerja, menghasilkan devisa hingga USD 36 miliar pada tahun 2021, dan menciptakan kemandirian energi menggantikan energi fosil melalui biodiesel.
 
Untuk terus bertahan sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia harus tetap sensitif dengan dinamika yang terjadi di pasar ekspor terutama dalam aspek keberlanjutan dari komoditas sawit. Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud menyatakan Indonesia sudah siap mengikuti transformasi pasar menuju sawit berkelanjutan.
 
Menurut Musdalifah, praktik sawit berkelanjutan ini tidak hanya meningkatkan produktivitas dan nilai tambah kelapa sawit, tetapi juga membuka akses pasar yang lebih luas dan dampak positif bagi lingkungan.
 
Saat ini terdapat sejumlah skema sertifikasi berkelanjutan yang dikenal oleh industri sawit, dan satu di antaranya adalah skema yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, yaitu ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) atau Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
 
"Manfaat ISPO ini kita harapkan pasar lebih terbuka, pasar menjadi lebih luas, produktivitas tinggi, karena dengan ISPO harus menggunakan bibit unggul sehingga produktivitas dan pendapatan rakyat juga akan menjadi lebih baik. Dan tentu saja untuk negara kita banyak sekali manfaatnya. Manfaat untuk devisa, tenaga kerja di sektor kelapa sawit terus bertambah dari yang sekarang sejumlah 17 juta orang. Nilai tambah juga akan terus kita upayakan, karena kita memproduksi produk-produk yang ramah lingkungan," kata Musdalifah Mahmud.
 
Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengaku praktik sawit berkelanjutan memudahkan pelaku usaha dalam bisnis sawit ke pasar manapun. Ini terbukti dari bisnis sawit perusahaan besar yang telah memiliki berbagai skema keberlanjutan, termasuk sertifikasi ISPO, bisa masuk ke pasar manapun.
 
"Di level perusahaan saya yakin sudah hampir semuanya atau sebagian besar sudah menerapkan kebijakan berkelanjutan atau praktik-praktik berkelanjutan. Bahkan, mereka punya policy yang sangat kuat dalam penerapan berkelanjutan. Buktinya, mereka bisa berbisnis di mana saja. Bisa berbisnis di Eropa, di Amerika. Karena memang market requirement yang mereka minta itu bisa dipenuhi," ucap Joko Supriyono.
 
Tak hanya itu, Vice President Oil and Fats Branch Chinese Cereals and Oils Association (CCOA), Gu Keren menyebutkan peningkatan konsumsi minyak sawit berkelanjutan bersertifikat dapat mengurangi kemiskinan di negara produsen, mencegah kelaparan dunia, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesehatan, serta pendidikan yang baik di negara-negara berkembang.
 
“Sedangkan untuk pasar konsumen termasuk Tiongkok, penerapan strategi berkelanjutan minyak sawit dapat mendorong pengembangan transformasi hijau perusahaan, memenuhi permintaan konsumen akan konsumsi hijau dan peningkatan konsumsi, serta memberikan peluang yang lebih banyak bagi produk untuk masuki ke pasar internasional,” ujar Gu Keren.
 
Sementara, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung menyatakan praktik sawit berkelanjutan sesuai standar Indonesia (ISPO) menjadi impian semua petani sawit. Namun manfaatnya belum mereka rasakan karena tidak ada insentif harga bagi sawit yang sudah mengikuti ISPO. Ini berdampak pada pencapaian ISPO untuk petani sawit rakyat yang baru mencapai 0,24 persen dari 6,87 juta hektare kebun sawit rakyat.
 
"Jujur saja. Kami sepakat untuk ISPO. Bagaimana pun dunia akan semakin dibangun frame 'menjaga lingkungan.' Tetapi satu hal yang paling penting bahwa ISPO itu butuh biaya. Satu hektare bisa menelan biaya Rp1,8 juta. Per tahun diaudit dengan biaya produksi sekitar Rp400 ribu hingga Rp500 ribu. Pertanyaannya, apakah rekan-rekan petani yang sudah ISPO mendapatkan harga tandan buah segar (TBS) lebih baik daripada petani yang tidak ISPO? Sama saja. Jadi yang membuat regulasi itu, termasuk dari kementerian terkait, harus bertanggung jawab membeli TBS petani yang sudah ISPO dengan harga premium," kata Gulat Manurung.
 
Selain meningkatkan produktivitas dan nilai tambah, pengelolaan sawit berkelanjutan juga berdampak positif bagi lingkungan, terutama dalam pengurangan emisi karbon, pencegahan kebakaran dan kerusakan lahan, perlindungan sumber daya air, ketertelusuran, dan kesesuaian dengan tata ruang.
 
(ROS)



LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif