Peran petani swadaya ini penting untuk mendorong sawit berkelanjutan karena mereka mengelola 41 persen lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021 yang dirilis Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menunjukkan pada 2021 dari total estimasi 16,3 juta hektare (ha) perkebunan sawit, sebanyak 55,84 persen atau 8,42 juta ha dikelola oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS). Menyusul Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 40,32 persen atau 6,08 juta ha, serta Perkebunan Besar Negara (PBN) sebesar 3,84 persen atau 579,6 ribu ha.
Indonesia sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar dunia harus beradaptasi dengan perubahan menuju minyak sawit berkelanjutan. Sebab, dari total produksi minyak sawit sebagian besar untuk konsumsi ekspor. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total konsumsi lokal plus ekspor minyak sawit Indonesia pada 2021 sebanyak 52,65 juta ton. Dari angka total tersebut proporsi minyak sawit untuk konsumsi lokal sebanyak 35 persen, dan 65 persen untuk ekspor ke sejumlah negara, di antaranya Tiongkok, India, Eropa, dan Amerika.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Indonesia telah memiliki kebijakan nasional yang mendukung perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo untuk mengakselerasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
ISPO dikembangkan oleh pemerintah Indonesia yang dilaksanakan melalui Kementerian Pertanian (Kementan) dalam upaya menjadikan usaha perkebunan kelapa sawit layak ekonomi, layak sosial budaya, dan ramah lingkungan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta meningkatkan daya saing produk kelapa sawit industri untuk pasar internasional.
"Pasar ekspor terbesar kita untuk kelapa sawit yaitu Tiongkok, India, Uni Eropa, dan bahkan sebetulnya juga Amerika. Mereka sudah mulai mengakui bahwa ISPO ini menjadi salah satu standar internasional dalam hal keberlanjutan kelapa sawit hijau," kata Direktur Perlindungan Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian Baginda Siagian pada wawancara dengan Metro TV, Desember 2022.
Baginda Siagian mengakui ISPO saat ini menghadapi tantangan keberterimaan di pasar luar negeri. Oleh karena itu sosialisasi dan diplomasi pasar akan terus dilakukan, termasuk penguatan ISPO dengan insentif seperti klasifikasi harga sawit ke pasar tujuan ekspor.
Hingga akhir tahun 2022, sertifikasi ISPO untuk perkebunan rakyat baru mencapai 1-2 persen dari 7,6 juta hektare lahan sawit rakyat. Kementerian Pertanian bersama stakeholder terkait terus berjibaku mengupayakan agar sertifikasi wajib ini bisa menjangkau seluruh petani sawit swadaya pada 2025.
"Ini yang akan kita coba sosialisasikan lebih masif lagi supaya dunia internasional terkait dengan perkelapasawitan ini mengetahui bahwa ISPO adalah salah satu yang bisa dijadikan acuan standar berkelanjutan," kata Baginda Siagian.
Usaha pemerintah Indonesia mengupayakan ISPO dimiliki petani sawit swadaya tersebut didorong oleh terjadinya perubahan tren pasar sawit Asia yang mengutamakan praktik sawit berkelanjutan. Apalagi pekebun sawit swadaya menguasai 41 persen perkebunan sawit dan menyumbang dengan estimasi 33,8 persen produksi CPO asal Indonesia. Jumlah itu menjadikan petani swadaya memiliki posisi strategis dalam menjamin pasokan minyak sawit Indonesia secara berkelanjutan.
Para petani swadaya tersebut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Papua Barat. Untuk menuju minyak sawit berkelanjutan, pemerintah maupun stakeholder terkait telah mengupayakan berbagai cara, di antaranya melalui pendampingan petani sawit swadaya. Sejumlah petani sawit di Sumatera Utara telah mengikuti pendampingan dalam standar pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan untuk mendapatkan sertifikat internasional atau Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Untuk menuju minyak sawit berkelanjutan, pemerintah maupun stakeholder terkait telah mengupayakan berbagai cara, di antaranya melalui pendampingan petani sawit swadaya. Sejumlah petani sawit di Sumatera Utara mengikuti pendampingan dalam standar pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan untuk mendapatkan sertifikat internasional atau Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Dalam hal ini kami banyak mengetahui manfaat dari pendampingan asosiasi kepada petani swadaya. Sekarang, kami sudah mengetahui bagaimana standar yang ditetapkan oleh organisasi internasional. Misalnya, cara merawat kelapa sawit, cara menanam bibit kelapa sawit yang baik, sehingga dengan adanya sekolah lapangan ini kami mendapatkan ilmu,” kata Raino, petani sawit swadaya.
Sementara, untuk sertifikasi berkelanjutan standar Indonesia (ISPO) terdapat sejumlah kendala dalam pengurusan Surat Tanda Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STDB).
STDB penting dimiliki petani sawit karena menjamin legalitas kepemilikan kebun dan memudahkan petani menjual hasil panen ke pabrik pengolahan kelapa sawit. Pembinaan dari pemerintah, akses terhadap bibit bersertifikat, dan subsidi pupuk juga terbuka jika petani swadaya memperoleh dokumen STDB.
STDB pun bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit yang mengelola lahan di bawah 25 hektare. Sayangnya, meski regulasi yang mengatur STDB telah terbit sejak 2018, pelaksanaan di lapangan masih minim. Banyak faktor yang menjadi kendala, mulai dari lemahnya pendataan, hingga keterbatasan anggaran dan sumber daya daerah.
"Kita masih ke arah sertifikasi RSPO. Untuk ISPO yang merupakan mandatory, tahun 2025 pemerintah belum siap dalam pengurusan STDB," ucap Ketua Perkumpulan Petani Sawit, Sugiyarto.
Sementara itu Kepala Sekretariat Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) Rukaiyah Rafik mengatakan panggilan hijau dari pasar Tiongkok akan memacu petani sawit swadaya untuk meningkatkan tata kelola dan praktik sawit berkelanjutan, tetapi pemenuhan standar tersebut membutuhkan waktu dan proses panjang serta dukungan seluruh pemangku kepentingan sawit.
"Kolaborasi itu penting. Tidak bisa dibiarkan perusahaan atau petani melakukannya sendiri. Pemerintah juga harus terlibat karena di dalam indikator untuk sustainability itu juga ada bagian-bagian pemerintah. Semua orang harus bertanggung jawab untuk itu, berkolaborasi memastikan kelapa sawit dihasilkan dari praktik-praktik berkelanjutan," ucap Rukaiyah Rafik.