Ilustrasi garam himalaya. Foto: Medcom.id/Achmad Firdaus.
Ilustrasi garam himalaya. Foto: Medcom.id/Achmad Firdaus.

Kaleidoskop Juli: Garam Himalaya Ditarik dari Peredaran

Ade Hapsari Lestarini • 26 Desember 2020 12:36
Jakarta: Juli 2020, pemberitaan saat itu diramaikan oleh produk garam himalaya yang akan ditarik peredaraannya olah Kementerian Perdagangan (Kemendag). Pada 22 Juli 2020, 2,5 ton garam himalaya dimusnahkan lantaran melanggar ketentuan izin, distribusi, dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
 
Kemendag pun menarik seluruh produk dari peredaran, baik toko ritel modern maupun pedagang di toko online Indonesia.
 
"Semua garam himalaya yang ada di toko ritel modern sudah kita tarik dan amankan. Toko daring juga sudah kita minta untuk tidak memperdagangkan garam tersebut," kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Veri Anggrijono kepada Medcom.id, Kamis, 23 Juli 2020 lalu.

Tindakan tegas sebelumnya dilakukan kepada sejumlah pelaku usaha yang mengedarkan produk garam himalaya dalam kemasan. Pemusnahan telah dilakukan untuk 2,5 ton barang bukti garam himalaya.
 
Veri menegaskan bahwa produk garam himalaya yang beredar di Indonesia masuk kategori berbahaya untuk dikonsumsi. Sebab, pelaku usaha yang terlibat mengedarkan tidak melakukan prosedur SNI wajib. "Kita tahu sama sama kalau garam itu dikonsumsi harus diterapkan SNI wajib," tuturnya.
 
Selain SNI wajib, kata Veri, produk garam himalaya juga melanggar izin edar Kemendag. Sejauh ini, impor produk garam yang diperbolehkan peruntukannya khusus untuk bahan baku penolong industri makanan minuman dan kimia.
 
Mendag Agus Suparmanto yang saat itu menjabat mengatakan perdagangan garam himalaya sedianya hanya diperuntukkan sebagai bahan baku industri. Produk tersebut diawasi dan tidak boleh dijual bebas di ritel modern dan toko daring sebagai garam konsumsi.
 
"Kementerian Perdagangan belum pernah menerbitkan izin impor garam himalaya untuk konsumsi, apalagi garam tersebut kemudian dijual sebagai garam konsumsi tanpa dilengkapi SNI," ungkapnya saat itu.
 
 
 

Letter of credit si pembobol kas BNI Rp1,7 triliun

Selain soal garam himalaya, pembobolan kas BNI sebesar Rp1,7 triliun oleh Maria Pauline Lumowa juga menjadi sorotan. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah membawa pulang buronan yang paling dicari selama 17 tahun itu. Ia membobol kas BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif senilai Rp1,7 triliun.
 
Mengutip Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 5/11/PBI/2003 tentang Pembayaran Transaksi Impor, Letter of Credit atau yang disebut L/C adalah janji membayar dari bank penerbit kepada penerima jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Instrumen ini lazim digunakan dalam perdagangan internasional agar transaksi yang dilakukan antara penjual dan pembeli yang terpisah jarak menjadi aman.
 
Dijelaskan pula bahwa bank akan menerbitkan L/C untuk pembayaran transaksi impor atas permintaan importir yang diajukan kepada bank dengan mengisi formulir permohonan penerbitan L/C. Instrumen yang juga disebut sebagai surat kredit ini dapat diterbitkan dengan syarat pembayaran tunai dan atau berjangka.
 
Menukil dokumen Prosedur Penarikan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Pemerintah dengan Menggunakan Letter of Credit yang diunggah Bank Indonesia, transaksi L/C melibatkan sejumlah pihak. Pertama, pemohon kredit (applicant) yaitu importir (pembeli) yang mengajukan aplikasi L/C. Kedua, penerima kredit (beneficiary) yaitu eksportir (penjual) yang menerima L/C. Ketiga, bank penerbit L/C (issuing bank/opening).
 
Keempat, bank yang meneruskan L/C (advising bank), yaitu bank koresponden (agen) yang meneruskan L/C kepada beneficiary. Dalam hal ini bank penerus tersebut hanya bertindak sebagai perantara dan tidak bertanggung jawab atas isi L/C.
 
Kelima, bank yang melakukan konfirmasi atas permintaan issuing bank dan menjamin sepenuhnya pembayaran (confirming bank). Keenam, bank yang secara khusus ditunjuk dalam L/C untuk melakukan pembayaran (paying bank). Terakhir, carrier, yakni perusahaan pengangkut barang yang dikirim.
 
Dalam praktiknya, tata cara pembayaran dengan L/C dilakukan importir dengan meminta kepada bank devisa untuk membuka L/C untuk dan atas nama eksportir. Dalam hal ini, importir bertindak sebagai opener. Bila importir sudah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk impor seperti keharusan adanya surat izin impor, maka bank melakukan kontrak valuta (KV) dengan importir dan melaksanakan pembukaan L/C atas nama importir. Bank dalam hal ini bertindak sebagai opening/issuing bank.
 
Pembukaan L/C ini dilakukan melalui salah satu koresponden bank di luar negeri. Koresponden bank yang bertindak sebagai perantara ini disebut sebagai advising bank atau notifying bank yang kemudian memberitahukan kepada eksportir mengenai pembukaan L/C tersebut.
 
Eksportir menyerahkan barang ke carrier, sebagai gantinya eksportir akan mendapatkan dokumen pengangkutan barang (bill of lading). Lalu eksportir menyerahkan bill of lading tersebut kepada bank untuk mendapatkan pembayaran.
 
Paying bank kemudian menyerahkan sejumlah uang setelah mereka mendapatkan bill of lading tersebut dari eksportir. Bill of lading tersebut kemudian diberikan kepada importir. Lalu, importir menyerahkan bill of lading kepada carrier untuk ditukarkan dengan barang yang dikirimkan oleh eksportir.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan