Tahun ini, Tiongkok telah menyatakan komitmen membeli 1 juta ton produk sawit dan turunannya dari Tanah Air. Komitmen tersebut diwujudkan melalui penandatanganan nota kesepahaman antara pengusaha Indonesia dengan Tiongkok.
Kesepakatan kontrak dagang ditandatangani pada 11 November 2022 di Kantor Kementerian Perdagangan RI, yaitu oleh China Chamber of Commerce for Import and Export for Foodstuffs, Native Produce & Animal By-Products (CFNA) dengan empat asosiasi pelaku usaha kelapa sawit Indonesia dan turunannya, serta empat asosiasi pelaku usaha produk perikanan Indonesia. Asosiasi pelaku usaha kelapa sawit terdiri dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Gabungan Minyak Nabati Indonesia (GIMMI), Asosiasi Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN).
Menangkap Sinyal Permintaan Produk Kelapa Sawit Berkelanjutan dari Tiongkok
Untuk menegaskan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, Tiongkok baru-baru ini mengumumkan akan mencapai puncak emisi karbon pada tahun 2030 dan netralitas karbon pada tahun 2060.
Sejak 2018, Tiongkok telah mengirimkan sinyal kesiapan menyongsong industri yang lebih hijau berdasarkan konsep “ecological civilization,” atau sering disebut sebagai pembangunan berkelanjutan dengan karakteristik Tiongkok.
PAN Jiahua, profesor ekonomi dari Chinese Academy of Social Sciences University, menyebutkan "ecological civilization" atau peradaban ekologis dalam arti luas mencakup tidak hanya menghormati alam dan berbagi nilai-nilai kemakmuran bersama dengan alam, tetapi juga mencakup metode produksi, landasan ekonomi dan suprastruktur, yaitu sistem kelembagaan yang dikembangkan di bawah bimbingan nilai-nilai tersebut, yang menciptakan suatu bentuk peradaban sosial yang ditandai dengan kemajuan manusia dan alam secara harmonis, produktivitas yang sangat maju, perkembangan budaya yang menyeluruh, dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.
Dengan kesiapan menyongsong industri yang lebih hijau tersebut, Tiongkok aktif mendorong pengadaan produk ramah-hutan, dan menerapkan praktik yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Berbagai inisiatif telah dilakukan dalam empat tahun terakhir untuk menciptakan iklim industri sawit hijau, yaitu meluncurkan Aliansi Minyak Sawit Berkelanjutan Tiongkok 2018. Pada tahun 2020, telah diajukan proposal kebijakan rantai nilai hijau dari China Council for Internatsional Cooperation of Environment and Development (CCICED), salah satu badan penasehat tingkat tinggi pemerintahan Tiongkok. Selain itu juga dilakukan pengembangan panduan konsumsi minyak sawit berkelanjutan oleh China Chamber of Commerce of Foodstuffs and Native Produce (CFNA) pada tahun 2022.
Sinyal hijau kelapa sawit berkelanjutan yang digaungkan Tiongkok, ditangkap oleh Indonesia. Pemerintah Indonesia mulai mendorong industri sawit berkelanjutan selaras dengan keinginan Tiongkok untuk mengedepankan industri kelapa sawit yang ramah lingkungan.
Pada tahun 2021, pemerintah tetap berkomitmen untuk melakukan peremajaan (replanting) sebanyak 180 ribu hektare kebun kelapa sawit milik petani. Upaya ini dilakukan dengan tujuan dapat meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat dengan umur tanaman tua yang produktivitasnya kurang dari 3-4 ton/ha.
Replanting dilakukan dengan penggunaan bibit unggul dan penerapan Good Agriculture Practices (GAP), sehingga terjadi peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatannya secara optimal.
“Pengembangan industri hilir juga merupakan upaya strategis untuk meningkatkan nilai tambah industri kelapa sawit agar tidak hanya terkonsentrasi pada bahan baku, tetapi perlu terus didorong ke industri hilir bahkan sampai produk akhir. Dengan upaya ini, nilai tambah tentunya akan berada di dalam negeri,” tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Tak hanya itu, perkebunan berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari inovasi teknologi dan keterampilan dari SDM yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut. Oleh karena itu peningkatan keterampilan dan pelatihan bagi petani kecil juga dibutuhkan untuk mewujudkan produksi yang berkelanjutan.
“Penguatan perkebunan dan industri kelapa sawit perlu didukung dengan program penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit dari hulu hingga hilir untuk meningkatkan pengetahuan tentang budidaya, pengolahan hasil, industri, pasar, dan nilai produk perkebunan serta potensi pengembangan usaha,” jelas Menko Airlangga.
Pemerintah juga berupaya meningkatkan keberterimaan minyak sawit Indonesia dengan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO menegaskan komitmen Indonesia dalam penurunan deforestasi dan emisi gas rumah kaca dari sektor kelapa sawit.
Selain itu, Pemerintah telah menerapkan beberapa kerangka peraturan lainnya dan mendorong kerja sama multipihak di sektor kelapa sawit melaui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) 2019-2024, dan melalui pengadaan Program Strategis Nasional tentang Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
Masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan industri sawit yang berkelanjutan dan menjawab sinyal hijau dari Tiongkok, di antaranya melanjutkan penguatan dan keberterimaan ISPO secara nasional.
Data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tahun 2021 menyebutkan jumlah sertifikat ISPO yang diterbitkan telah mencapai sekitar 760 sertifikat dengan total luas areal wilayah cakupan 5,8 juta hektare. World Resources Institute Indonesia (WRI) memberikan catatan agar Indonesia mampu memanfaatkan momentum yang sedang terjadi untuk mendorong penerimaan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dari Indonesia di dalam perdagangan sawit dunia.
MSPO telah diakui oleh Tiongkok sebagai bagian dari standar sertifikasi pangan hijau mereka. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk memperkuat ISPO agar dapat diakui oleh Tiongkok, dan bahkan bisa menjadi acuan negara lain. Dialog terbuka dan langkah yang telah diambil oleh pemerintah untuk membangun aliansi dengan pelaku bisnis di pasar-pasar utama Asia perlu didukung untuk mempercepat kesepakatan standar SPO yang akan digunakan bersama.
Tak hanya itu, juga diperlukan keselarasan ISPO dengan standar global untuk memperkuat komitmen No Deforestation, No Peat, No Exploitation atau NDPE. NDPE telah dijalankan oleh sejumlah perusahaan sawit dalam upaya mengurangi deforestasi di rantai pasok secara global.
Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat membuat Indonesia lebih siap ketika Tiongkok benar-benar menuntut produk turunan kelapa sawit impor yang berkelanjutan, sehingga hubungan perdagangan komoditas antara Tiongkok dan Indonesia bisa terus berlanjut dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id