Ilustrasi grafik surplus neraca perdagangan RI - - Foto: dok MI
Ilustrasi grafik surplus neraca perdagangan RI - - Foto: dok MI

Fenomena Semu Surplus Neraca Perdagangan RI

Desi Angriani • 13 Oktober 2021 17:54
Jakarta: Munculnya pandemi covid-19 ibarat dua sisi mata uang bagi perekonomian nasional. Meskipun konsumsi dalam negeri anjlok, justru ekspor kian melesat.
 
Bahkan, kontribusi ekspor terhadap total produk domestik bruto (PDB) mencapai 17 persen pada Agustus 2021. Hal inilah yang mendorong neraca perdagangan mencatat rekor USD4,74 miliar, atau tertinggi sejak Desember 2006.
 
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, surplus neraca perdagangan RI terjadi secara beruntun selama 16 bulan sejak Mei tahun lalu. Jika dirunut ke belakang, defisit neraca perdagangan terakhir terjadi pada April 2020. Tepat sebulan setelah pandemi dinyatakan masuk ke Indonesia, neraca perdagangan langsung mengalami surplus USD2,09 miliar.

Apakah ini fenomena semu yang tidak akan berlangsung lama? Berikut catatan surplus neraca perdagangan RI yang dihimpun oleh Medcom.id.
 
Mei 2020
 
Surplus USD2,09 miliar karena ekspor naik 13,40 persen secara bulanan (mom) tapi turun 28,95 persen secara tahunan (yoy). Sementara impor naik 32,65 persen mom dan turun 42,20 persen yoy.
 
Juni 2020
 
Surplus USD1,27 miliar karena ekspor naik 15,09 persen mom atau 2,28 persen yoy. Sementara impor naik 27,56 persen mom dan turun 6,36 persen yoy.
 
Juli 2020
 
Surplus USD3,26 miliar karena ekspor meningkat 14,33 persen mom atau naik 9,90 persen yoy. Sementara impor turun 2,73 persen mom dan turun 32,55 persen yoy.
 
Agustus 2020
 
Surplus USD2,33 miliar karena ekspor turun 4,6 persen mom dan turun 8,36 persen yoy. Sementara impor naik 2,6 persen mom tapi anjlok 24,19 persen yoy.
 
September 2020
 
Surplus USD2,44 miliar karena ekspor naik 6,97 persen mom dan turun tipis 0,51 persen yoy. Sementara impor juga naik 7,71 persen mom dan terkontraksi 18,8 persen yoy.
 
Oktober 2020
 
Surplus USD3,61 miliar karena ekspor naik 3,09 mom dan  turun 3,29 persen. Sementara impor turun 6,79 mom dan merosot tajam 26,93 persen yoy.
 
November 2020
 
Surplus USD2,61 miliar karena ekspor naik 6,36 persen mom dan merangkak 9,54 persen yoy. Sementara impor turut naik 17,40 persen mom tapi masih turun 17,46 persen yoy.
 
Desember 2020
 
Surplus USD2,1 miliar karena ekspor meningkat 8,39 persen mom dan melonjak 14,63 persen yoy. Sementara impor juga meningkat 14 persen mom dan turun tipis 0,47 persen yoy.
 
Januari 2021
 
Surplus USD1,96 miliar karena ekspor turun 7,48 persen mom tapi melonjak 12,24 persen yoy. Sementara impor turun 7,59 persen mom dan turun 6,49 persen yoy.
 
Februari 2021
 
Surplus USD2 miliar karena ekspor terkoreksi 0,19 persen mom tapi meningkat 8,56 persen yoy. Sementara impor turun 0,49 persen mom dan masih 14,86 persen yoy.
 
Maret 2021
 
Surplus USD1,57 miliar karena nilai ekspor naik 20.31 persen mom dan naik 30,47 persen yoy. Sementara nilai impor masih naik 26,55 persen mom dan juga naik 25,73 persen yoy.
 
April 2021
 
Surplus USD2,19 miliar karena nilai ekspor naik 0,69 persen mom dan meroket hingga 51,94 persen yoy. Sementara impor turun 2,98 persen mom tapi naik 29,93 persen yoy.
 
Mei 2021
 
Surplus USD2,36 miliar karena ekspor bulanan turun 10,25 persen mom tapi melonjak 58,76 persen yoy. Sementara impor turun 12,16 persen mom tapi masih naik 68,68 persen yoy.
 
Juni 2021
 
Surplus USD1,32 miliar karena ekspor bulanan naik 9,52 persen mom dan meroket 54,46 persen yoy. Sementara impor masih naik 21,03 persen mom dan secara tahunan juga naik 60,12 persen yoy.
 
Juli 2021
 
Surplus USD2,59 miliar karena ekspor turun 4,53 persen mom tapi naik sebesar 29,32 persen yoy. Sementara impor turun 12,22 persen mom tapi bertambah 44,44 persen yoy.
 
Agustus 2021
 
Surplus USD4,74 miliar karena ekspor merangkak naik 20,95 persen mom dan melesat 64,1 persen yoy. Sementara impor turun 15,95 persen mom tapi naik 1,54 persen yoy.
 
Fenomena Semu Surplus Neraca Perdagangan RI
Grafis neraca perdagangan sepanjang Juni-Juli - - Foto: dok Bank Indonesia
 
Berdasarkan data tersebut, hampir semua segmen ekspor mencetak pertumbuhan positif baik secara bulanan maupun tahunan sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang surplus. Sayangnya, surplus ini lebih banyak dipengaruhi oleh berkurangnya impor akibat pandemi.
 
Sementara lonjakan ekspor dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia. Jika ekonomi nasional dan global pulih, maka impor akan kembali normal. Kemudian harga komoditas juga akan turun sehingga neraca perdagangan kembali defisit.
 
"Surplus ini bisa kembali beralih jadi negatif kembali kalau harga komoditas menurun, dan pandemi sudah berakhir impor kita kembali normal," kata ekonom CORE Indonesia kepada Medcom.id, Kamis, 16 September 2021.
 
Hal serupa disampaikan oleh Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kemenko Perekonomian Ferry Irawan. Ia khawatir rekor surplus neraca perdagangan selama 1,5 tahun ini tak akan berlangsung lama.
 
Pasalnya, ekspor Indonesia ke negara tujuan masih berbasis komoditas dengan porsi di atas 50 persen dari total ekspor. Sisanya baru diikuti produk yang memiliki nilai tambah (value added) dari industri manufaktur.
 
"Dalam konteks quality of growth (kualitas pertumbuhan ekspor) jadi tantangan, karena kalau kita lihat dari komponen terbesar memberikan surplus diekspor, itu mostly adalah komoditi base, atau resources base. Bagaimana ke depan bisa meningkatkan daya saing sehingga kita bisa ubah struktur ke yang lebih value added base," jelas Ferry dalam sebuah diskusi virtual.
 

Ketergantungan ekspor komoditas


Selama ini Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas nonmigas dengan porsi yang mencapai lebih dari 90 persen terhadap total ekspor. Bahkan ketergantungan ini sudah terjadi sejak 1970 melalui ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan batu bara.
 
 

10 komoditas nonmigas yang paling banyak diekspor:

  1. Lemak dan minyak hewan/nabati
  2. Bahan bakar mineral
  3. Besi dan baja
  4. Mesin dan perlengkapan elektrik
  5. Logam mulia, perhiasan/permata
  6. Kendaraan dan bagiannya
  7. Karet dan barang dari karet
  8. Mesin dan peralatan mekanis
  9. Alas kaki
  10. Kertas, karton dan barang dari karton

10 produk utama dan negara tujuan ekspor:
 
Udang

Jepang, Hong Kong, Tiongkok, Singapura, Malaysia, Australia, Taiwan, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, AS, Belgia, dan Inggris.

Kopi

Brasil, Spanyol, Italia, Turki, Argentina, AS, Inggris, India, Tiongkok, Thailand, Jepang, Vietnam, Pakistan, Malaysia, dan Hong Kong

Minyak kelapa sawit

Brasil, Spanyol, Italia, Turki, Argentina, AS, Inggris, India, Tiongkok, Thailand, Jepang, Vietnam, Pakistan, Malaysia, dan Hong Kong.

Kakao

Malaysia, Singapura, Thailand, Tiongkok, India, Jepang, Filipina, Taiwan, Sri Lanka, AS, Brasil, Kanada, Jerman, Belanda, Rusia, Swis, Belgia, dan Inggris.

Karet dan produk karet

Jepang, Malaysia, Filipina, Australia, Thailand, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Sri Lanka, Korea Selatan, AS, Inggris, Jerman, Belgia, Italia, Belanda, Kanada, Arab Saudi, dan Mesir.

Tekstil dan produk tekstil

AS, Inggris, Jerman, Panama, Italia, Kanada, Meksiko, Belanda, Spanyol, Prancis, Sri Lanka, Korea Selatan, dan Arab Saudi.

Alas kaki

AS, Belgia, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Meksiko, Spanyol, Kanada, Chili, Panama, Meksiko, Turki, Jepang, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Australia, Tiongkok, dan Hong Kong.

Elektronika

AS, Belgia, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Meksiko, Spanyol, Kanada, Chili, Panama, Meksiko, Turki, Jepang, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Australia, Tiongkok, dan Hong Kong.

Komponen kendaraan bermotor

AS, Prancis, Inggris, Jerman, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Australia, Hong Kong, Jepang, Singapura, Thailand, Sri Lanka, India, Pakistan, Filipina, AS, Kanada, dan Arab Saudi.

Furnitur dan produk mebel

AS, Prancis, Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
 
Fenomena Semu Surplus Neraca Perdagangan RI

Grafik struktur neraca perdagangan yang dipengaruhi kenaikan ekspor komoditas - - Foto: dok Bank Indonesia
 
Struktur ekspor yang bergantung pada komoditas ini membuat ekonomi dalam negeri rentan terhadap perlambatan yang terjadi di negara mitra dagang. Beruntungnya, ekonomi negara mitra dagang terbesar Indonesia yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok pulih tak lama setelah pandemi melanda.
 
Pemulihan ini pun mendorong tingginya permintaan akan sejumlah komoditas dari Indonesia. Tercatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke negara tirai bambu naik 21,94 persen atau mencapai USD97,06 miliar pada semester I-2021. Sementara raihan ekspor ke AS mencapai USD11,51 miliar atau meningkat 34,22 persen diperiode yang sama.
 
Kemudian ekspor nonmigas ke Jepang juga meningkat 21,31 persen atau mencapai USD7,6 miliar. Lalu negara-negara Asia Tenggara secara keseluruhan tembus 19,87 miliar atau meningkat 28,43 persen.
 
Selain itu, aktivitas produksi sektor manufaktur RI pun ikut terkerek. Bahkan PMI manufaktur Indonesia berada di level ekspansif yakni rata-rata capaian indeks berada di atas 50. Angka ini menandakan bahwa pelaku industri kembali optimistis.

Berikut catatan PMI manufaktur RI sepanjang 2021:

  1. PMI Januari: 52,2

  2. PMI Februari: 50,9

  3. PMI Maret: 53,2

  4. PMI April: 54,6

  5. PMI Mei: 55,3

  6. PMI Juni: 53,5

  7. PMI Juli: 40,1

  8. PMI Agustus: 43,7

  9. PMI September: 52,2

Adapun PMI Indonesia pada September 2021 melampaui capaian negara Asia lainnya seperti Tiongkok (50) dan Jepang (51,5). Capaian ini juga menjadi yang tertinggi di antara negara ASEAN lainnya seperti Singapura (52,1), Malaysia (48,1), Thailand (48,9), Filipina (50,9), maupun Vietnam (40,2).
 
Menanggapi hal ini, Kepala Ekonom dari Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menyebut ketergantungan akan ekspor komoditas layaknya mengidap penyakit ekonomi Belanda (Dutch Disease), yakni mengandalkan hasil sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi di periode 2000-2012.
 
Hal ini akan menjadi bumerang bagi stabilitas perekonomian dalam negeri dalam jangka panjang. Sebab, harga komoditas selalu berfluktuasi dan dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi. Sewaktu-waktu, harga komoditas dapat terjun bebas dan memukul kinerja ekspor.
 
"Jadi, yang namanya commodity boom itu buat Indonesia sering tidak terlalu baik hasilnya, terutama dalam jangka panjang. Kalau ini terus berlangsung, insentif kita untuk membangun sektor-sektor yang lainnya akan berkurang dan menyebabkan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang tidak akan berkembang dengan sepenuhnya, seperti yang diinginkan," jelas Yose dikutip dari Mediaindonesia.

 

Bukan indikator pemulihan ekonomi?

Surplus neraca perdagangan secara beruntun tidak bisa menjadi indikator pemulihan ekonomi. Apalagi surplus lebih banyak dipengaruhi oleh berkurangnya impor, meskipun kinerja ekspor juga mengalami peningkatan.
 
Di sisi lain, hampir 80 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia didorong oleh konsumsi dan investasi bukan kontribusi ekspor.
 
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan surplus neraca perdagangan tidak bisa menjadi acuan bahwa ekonomi sudah pulih dari dampak pandemi. Sebab, surplus ini masih terjadi ketika ekonomi Indonesia mengalami resesi pada tahun lalu.
 
"Surplus neraca perdagangan bukan indikator pulihnya ekonomi. Tahun lalu saat kita resesi, ekspor sudah mulai naik dan kita surplus. Jadi surplus tidak berarti ekonomi sudah pulih," kata Piter.
 
Sementara itu, pemerintah menilai surplus neraca perdagangan akan menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Kenaikan ekspor menjadi sinyal pemulihan permintaan dunia yang akan berimplikasi pada percepatan pemulihan ekonomi Indonesia.
 
Bahkan, surplus neraca perdagangan tersebut berkontribusi positif dalam menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia. "Surplus ini diharapkan turut menjadi motor perekonomian Indonesia ke depan," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam sebuah webinar.
 
Dari sisi pelaku ekonomi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani meminta agar pemerintah tak cepat puas. Sebab, penetrasi pasar ASEAN untuk menggenjot masih terbuka lebar. Begitu pula pasar Australia yang sudah memiliki perjanjian perdagangan dengan Indonesia.
 
"Optimistis, harus bisa. Karena potensi kesempatannya ada. Jadi di Indonesia dianggap mata dunia makin baik reputasinya dari sisi delivery, harga mulai kompetitif, kualitas juga bagus," kata Haryadi.


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan