10 komoditas nonmigas yang paling banyak diekspor:
- Lemak dan minyak hewan/nabati
- Bahan bakar mineral
- Besi dan baja
- Mesin dan perlengkapan elektrik
- Logam mulia, perhiasan/permata
- Kendaraan dan bagiannya
- Karet dan barang dari karet
- Mesin dan peralatan mekanis
- Alas kaki
- Kertas, karton dan barang dari karton
10 produk utama dan negara tujuan ekspor:
Udang
Jepang, Hong Kong, Tiongkok, Singapura, Malaysia, Australia, Taiwan, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, AS, Belgia, dan Inggris.
Kopi
Brasil, Spanyol, Italia, Turki, Argentina, AS, Inggris, India, Tiongkok, Thailand, Jepang, Vietnam, Pakistan, Malaysia, dan Hong KongMinyak kelapa sawit
Brasil, Spanyol, Italia, Turki, Argentina, AS, Inggris, India, Tiongkok, Thailand, Jepang, Vietnam, Pakistan, Malaysia, dan Hong Kong.Kakao
Malaysia, Singapura, Thailand, Tiongkok, India, Jepang, Filipina, Taiwan, Sri Lanka, AS, Brasil, Kanada, Jerman, Belanda, Rusia, Swis, Belgia, dan Inggris.Karet dan produk karet
Jepang, Malaysia, Filipina, Australia, Thailand, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Sri Lanka, Korea Selatan, AS, Inggris, Jerman, Belgia, Italia, Belanda, Kanada, Arab Saudi, dan Mesir.Tekstil dan produk tekstil
AS, Inggris, Jerman, Panama, Italia, Kanada, Meksiko, Belanda, Spanyol, Prancis, Sri Lanka, Korea Selatan, dan Arab Saudi.Alas kaki
AS, Belgia, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Meksiko, Spanyol, Kanada, Chili, Panama, Meksiko, Turki, Jepang, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Australia, Tiongkok, dan Hong Kong.Elektronika
AS, Belgia, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Meksiko, Spanyol, Kanada, Chili, Panama, Meksiko, Turki, Jepang, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Australia, Tiongkok, dan Hong Kong.Komponen kendaraan bermotor
AS, Prancis, Inggris, Jerman, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Australia, Hong Kong, Jepang, Singapura, Thailand, Sri Lanka, India, Pakistan, Filipina, AS, Kanada, dan Arab Saudi.Furnitur dan produk mebel
AS, Prancis, Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Grafik struktur neraca perdagangan yang dipengaruhi kenaikan ekspor komoditas - - Foto: dok Bank Indonesia
Struktur ekspor yang bergantung pada komoditas ini membuat ekonomi dalam negeri rentan terhadap perlambatan yang terjadi di negara mitra dagang. Beruntungnya, ekonomi negara mitra dagang terbesar Indonesia yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok pulih tak lama setelah pandemi melanda.
Pemulihan ini pun mendorong tingginya permintaan akan sejumlah komoditas dari Indonesia. Tercatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke negara tirai bambu naik 21,94 persen atau mencapai USD97,06 miliar pada semester I-2021. Sementara raihan ekspor ke AS mencapai USD11,51 miliar atau meningkat 34,22 persen diperiode yang sama.
Kemudian ekspor nonmigas ke Jepang juga meningkat 21,31 persen atau mencapai USD7,6 miliar. Lalu negara-negara Asia Tenggara secara keseluruhan tembus 19,87 miliar atau meningkat 28,43 persen.
Selain itu, aktivitas produksi sektor manufaktur RI pun ikut terkerek. Bahkan PMI manufaktur Indonesia berada di level ekspansif yakni rata-rata capaian indeks berada di atas 50. Angka ini menandakan bahwa pelaku industri kembali optimistis.
Berikut catatan PMI manufaktur RI sepanjang 2021:
-
PMI Januari: 52,2
-
PMI Februari: 50,9
-
PMI Maret: 53,2
-
PMI April: 54,6
-
PMI Mei: 55,3
-
PMI Juni: 53,5
-
PMI Juli: 40,1
-
PMI Agustus: 43,7
-
PMI September: 52,2
Adapun PMI Indonesia pada September 2021 melampaui capaian negara Asia lainnya seperti Tiongkok (50) dan Jepang (51,5). Capaian ini juga menjadi yang tertinggi di antara negara ASEAN lainnya seperti Singapura (52,1), Malaysia (48,1), Thailand (48,9), Filipina (50,9), maupun Vietnam (40,2).
Menanggapi hal ini, Kepala Ekonom dari Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menyebut ketergantungan akan ekspor komoditas layaknya mengidap penyakit ekonomi Belanda (Dutch Disease), yakni mengandalkan hasil sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi di periode 2000-2012.
Hal ini akan menjadi bumerang bagi stabilitas perekonomian dalam negeri dalam jangka panjang. Sebab, harga komoditas selalu berfluktuasi dan dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi. Sewaktu-waktu, harga komoditas dapat terjun bebas dan memukul kinerja ekspor.
"Jadi, yang namanya commodity boom itu buat Indonesia sering tidak terlalu baik hasilnya, terutama dalam jangka panjang. Kalau ini terus berlangsung, insentif kita untuk membangun sektor-sektor yang lainnya akan berkurang dan menyebabkan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang tidak akan berkembang dengan sepenuhnya, seperti yang diinginkan," jelas Yose dikutip dari Mediaindonesia.