Mengutip laman resmi BI, Selasa, 24 November 2020, tidak hanya suku bunga acuan, BI juga memotong suku bunga deposit facility 25 bps menjadi 3,00 persen, dan suku bunga lending facility 25 bps menjadi 4,50 persen. Keputusan ini dengan perkiraan inflasi tetap rendah, stabilitas eksternal terjaga, dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Dengan latar belakang tersebut, keputusan BI memangkas suku bunga acuan menjadi yang terendah dalam sejarah panjang moneter Indonesia. "Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung penyediaan likuiditas, termasuk dukungan Bank Indonesia kepada pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN 2020," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Tidak hanya suku bunga, kebijakan moneter lain yang ditempuh yakni melanjutkan kebijakan stabilisasi rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar, memperkuat strategi operasi moneter untuk mendukung stance kebijakan moneter akomodatif, dan memperkuat kebijakan makroprudensial untuk mendorong pembiayaan inklusif, khususnya kepada UMKM.
Kemudian mempercepat pengembangan pasar valas domestik melalui penguatan pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong pendalaman pasar keuangan sebagai implementasi Blueprint Pengembangan Pasar Uang (BPPU) 2025, dan mendukung pemulihan ekonomi melalui kebijakan sistem pembayaran.
Peran bank sentral mengawal ekonomi Indonesia agar tidak kembali jatuh akibat pandemi covid-19 bisa dibilang membuahkan hasil. Pasalnya, sejumlah kebijakan yang sudah ditempuh ditambah sinergi dengan fiskal dan pihak terkait mampu membuat sektor jasa keuangan di Indonesia tetap kuat dan berdaya saing.
Menurut hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode November 2020 terungkap ketahanan sistem keuangan tetap terjaga, meskipun risiko dari berlanjutnya dampak covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan triwulan III-2020 tetap tinggi yakni 23,41 persen.
Kemudian rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) tetap rendah yakni 3,15 persen (bruto) dan 1,07 persen (neto). Namun demikian, fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi covid-19.
Pertumbuhan kredit pada triwulan III-2020 tercatat sebesar 0,12 persen (yoy) sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat 12,88 persen (yoy). Perkembangan terkini menunjukkan pertumbuhan kredit terkontraksi 0,47 persen (yoy) pada Oktober 2020, sedangkan DPK tumbuh 12,12 persen (yoy).
Ke depan, intermediasi perbankan diperkirakan mulai membaik sejalan dengan prospek pemulihan ekonomi nasional. Kinerja korporasi membaik, tercermin pada peningkatan indikator penjualan dan kemampuan bayar di mayoritas dunia usaha pada triwulan III-2020, dan diperkirakan berlanjut didorong oleh perbaikan ekonomi domestik dan global.
Bank Indonesia akan melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif, dengan senantiasa memperkuat sinergi dan koordinasi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas keuangan lainnya, untuk mendorong pemulihan kinerja intermediasi perbankan dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi.
Selain itu, sinergi ekspansi moneter Bank Indonesia dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional terus diperkuat. Bank Indonesia melanjutkan komitmen untuk pendanaan APBN Tahun 2020 melalui pembelian SBN dari pasar perdana dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2020.
Sampai dengan 17 November 2020, Bank Indonesia telah membeli SBN di pasar perdana melalui mekanisme pasar sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada 16 April 2020, sebesar Rp72,49 triliun, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO), dan private placement.
Sementara itu, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan public goods dalam APBN 2020 oleh Bank Indonesia melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada 7 Juli 2020, berjumlah Rp270,03 triliun.
Kembali pangkas suku bunga acuan
Lebih lanjut, guna memaksimalkan laju pertumbuhan ekonomi di masa pemulihan di tengah pandemi termasuk usai pandemi, BI diyakini punya ruang kembali memangkas suku bunga acuan. Perkiraan itu seperti diungkapkan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. CORE memandang BI berpeluang kembali menurunkan suku bunga acuan maksimum 50 bps.
Pemangkasan itu akan membawa suku bunga acuan ke level 3,5 persen. Angka ini lagi-lagi bakal menjadi yang terendah sepanjang sejarah kebijakan moneter di Indonesia jika BI benar-benar memutuskan untuk memotong kembali suku bunga acuan, yang tentunya demi mengakselerasi pemulihan ekonomi.
"Dengan kondisi rupiah yang stabil didukung inflasi yang masih akan stabil rendah, membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan kebijakan moneter yang longgar dengan suku bunga acuan yang lebih rendah," ungkap CORE Indonesia dalam rilis CORE Economic Outlook 2021.
Kebijakan moneter dan fiskal di banyak negara maju yang bersifat ekspansif dengan suku bunga rendah, bahkan hampir mendekati nol persen diramal memicu mata uang Garuda menguat di 2021 meski perekonomian global masih dalam proses pemulihan. Kondisi tersebut tentu memberikan gambaran untuk BI mengkaji kembali gerak suku bunga acuan.
Adapun kebijakan moneter dan fiskal di banyak negara maju yang bersifat ekspansif itu pada akhirnya bisa menyebabkan likuiditas global masih akan terus berlimpah. Adanya ekspektasi bahwa pandemi akan bisa berakhir pada 2021 juga berpotensi mendorong aliran modal mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Dengan demikian, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah secara bertahap berpotensi menguat dibandingkan dengan tahun ini," tegas CORE Indonesia.
Perbankan diminta turunkan suku bunga
Dengan suku bunga acuan kembali dipangkas dan berada di level terendah maka sewajarnya penurunan tersebut diikuti oleh industri perbankan untuk menurunkan suku bunga kreditnya. Turunnya suku bunga kredit perbankan diyakini menjadi stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat, yang notabene merupakan salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Gubernur BI Perry Warjiyo meminta industri perbankan menurunkan suku bunga kredit. Sebab bank sentral sudah memangkas suku bunga acuan. "Kami tidak segan-segannya mengharapkan perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit, sehingga itu bisa mendorong pemulihan ekonomi," ujar Perry.
Perry menjelaskan suku bunga kredit perbankan dipengaruhi tiga faktor. Pertama, biaya dana yang berkaitan dengan penurunan suku bunga acuan. Tahun ini Bank Indonesia sudah menurunkan sebanyak 125 basis poin, kondisi tersebut telah mendorong penurunan suku bunga pasar uang.
"Kemudian juga sudah mendorong biaya dana. Suku bunga dana yang menjadi faktor pertama ini mestinya bisa menurunkan suku bunga kredit," paparnya.
Kedua, biaya administrasi. Perry mengungkapkan adanya pandemi covid-19 membuat digitalisasi layanan perbankan melonjak drastis. Kondisi ini tentu saja membuat biaya administrasi mengalami penurunan. Ketiga, premi risiko kredit perbankan. Dengan menurunnya aktivitas perekonomian maka risiko kredit meningkat.
Sebab perbankan juga perlu meningkatkan kebutuhan pencadangannya terhadap risiko kredit yang akan terjadi ke depan. "Faktor-faktor ini lah yang menjadi penyebab suku bunga kredit perbankan masih belum turun," ucap Perry.
Lebih lanjut, Perry menebar pandangan positif kepada industri perbankan dan dunia usaha bahwa perbaikan ekonomi berlanjut seiring dengan membaiknya kondisi korporasi besar, dengan ekspor juga mengalami perbaikan. Ia berharap perbankan dan dunia usaha membangun optimisme agar pemulihan ekonomi terus berlanjut.
"Sudah saatnya penyaluran kredit terus didorong, sudah saatnya kita membangun optimisme, sudah saatnya kita meningkatkan ekonomi. Pemerintah, BI, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), telah begitu banyak melakukan sinergi kebijakan dan berkomitmen untuk menempuh langkah-langkah lanjutan," kata Perry.
Kunci utama pemulihan ekonomi
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memandang ekonomi nasional akan mulai pulih di kuartal pertama 2021. Ia menekankan kunci utama dari pemulihan ekonomi Indonesia terletak pada perbaikan konsumsi rumah tangga. Menurut Chatib, selama masih ada pandemi, Indonesia tidak bisa berharap dari faktor eksternal untuk memulihkan perekonomian nasional.
Sebab, kondisi global pun masih tertekan oleh adanya pandemi covid-19. Pandemi ini membuat pendapatan masyarakat tergerus. Bahkan pekerja informal banyak yang kehilangan pendapatan. Implikasinya yakni pada kemampuan daya beli yang menurun dan berimbas pada pelemahan konsumsi yang selama ini menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Chatib mengatakan berdasarkan simulasi yang ia buat menunjukkan mendorong konsumsi lebih efektif ketimbang mendorong produksi di masa sekarang. Sebab produksi tanpa adanya permintaan akan percuma. Hal itu sebenarnya bisa terlihat dari gambaran walaupun tingkat bunga telah diturunkan, namun tidak ada pihak yang berminat meminjam uang dari bank.
"Kenapa saya pinjam uang dari bank kalau permintaannya enggak ada," kata Chatib.
Ia mengatakan apabila konsumsi yang didorong artinya akan membuat permintaan bergairah. Implikasinya akan mendorong dunia usaha untuk kembali meningkatkan investasi dan produksi. Tentunya membuat roda ekonomi berputar kembali.
Chatib mengatakan kunci utama untuk memperbaiki konsumsi ada pada pemberian stimulus fiskal dari pemerintah terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (lower middle income group) dalam bentuk cash transfer. "Pemerintah hanya bisa berharap sumber pertumbuhannya datang dari stimulus," ucap Chatib.
Di sisi lain, Chatib yang juga ekonom ini menyebutkan makin membengkaknya stimulus fiskal yang harus diberikan pemerintah sebagai bantalan sosial akan berimbas ke alokasi pendanaan untuk program dan kegiatan pemerintah di sektor lain, salah satunya pembangunan infrastruktur.
Pasalnya, kata dia, pandemi covid-19 membuat penerimaan pajak anjlok hingga 13 persen. Bahkan di Mei lalu pertumbuhan penerimaan pajak minus hingga 35 persen. Sedangkan pemerintah harus mengurangi defisit anggaran di bawah tiga persen di 2023.
Artinya di tahun-tahun ke depan, defisit mulai harus direm sehingga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak makin lebar. Apabila dilanjutkan, pembangunan infrastruktur harus dituntut yang paling efisien. Sebab pemerintah tidak mungkin membiayai semua program yang telah disusun dengan beban anggaran seperti saat ini.
Chatib mengatakan kemungkinan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk proyek-proyek infrastruktur terbatas dan akan lebih mengandalkan peran serta kerja sama swasta. "Pembangunan infrastruktur ini sangat dibutuhkan, tetapi kita memang harus melihat mana prioritas yang harus dilakukan ketika burden dari anggaran begitu berat," pungkas Chatib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id