Bagi seorang trader dan investor di pasar saham, 2021 yang awalnya digadang-gadang menjadi tahun pemulihan ternyata tidak berjalan sesuai ekspektasi. Pasalnya, Indonesia sempat mengalami beberapa ledakan covid-19 dan akhirnya berimbas terhadap perekonomian serta ujungnya kepada bursa saham Tanah Air.
Untungnya pemerintah tak tinggal diam dan memberlakukan pembatasan mobilitas guna memutus penyebaran covid-19. Alhasil, puncak ledakan covid-19 yang terjadi di pertengahan tahun kemarin bisa mereda dan perlahan aktivitas ekonomi berangsur membaik. Meski demikian, bagi pasar saham, volatilitas terus terjadi secara signifikan dan belum meningkat tajam.
Sebenarnya, para analis sudah mencium sinyal window dressing sebelum memasuki Desember 2021. Hal itu terlihat dari gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menunjukkan taringnya yang salah satunya didorong lonjakan harga komoditas seiring terus tingginya permintaan di level global. kondisi itu bisa diterjemahkan sebagai window dressing dimulai.
Menurut Investopedia, window dressing adalah strategi yang digunakan oleh perusahaan reksa dana dan manajer portofolio lainnya untuk meningkatkan penampilan kinerja reksa dana sebelum disajikan kepada klien atau pemegang saham. Hal itu biasa dilakukan menjelang akhir tahun yang berimbas terhadap melonjaknya bursa saham.
Dengan kata lain, window dressing adalah strategi mempercantik portofolio dan biasanya dilakukan oleh perusahaan atau manajer investasi. Tujuannya meyakinkan investor untuk berinvestasi. Namun perlu diketahui, window dressing dilakukan menggunakan kaidah akuntansi dan standar yang berlaku.
Head of Investment Information Team Mirae Asset Sekuritas Roger menjelaskan jika dilihat dari aktivitas transaksi di September dan Oktober 2021, terlihat sudah mengalami peningkatan signifikan. Pada dua bulan terakhir itu, nilai transaksi tercatat menembus Rp15 ribu triliun per hari.
"Artinya ada optimisme dari pelaku pasar terhadap IHSG," kata Roger, pada Oktober 2021.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menegaskan gerak IHSG di September dan Oktober 2021 cenderung terapresiasi karena ada euforia kenaikan harga komoditas yang salah satunya adalah batu bara. Hal itu yang juga membuat pelaku pasar memanfaatkan dengan melakukan akumulasi saham.
Namun, ia tidak menampik, window dressing tidak akan mulus begitu saja. Dirinya berpandangan akan ada konsolidasi terlebih dahulu. Pasalnya, para pelaku pasar bakal melihat terlebih dahulu mengenai sejumlah permasalahan seperti Evergrande dan lain sebagainya, apakah bisa diselesaikan tanpa memberikan efek negatif domino atau lain sebagainya.
"Jadi memang terjadi konsolidasi terlebih dahulu. Tapi nanti akan ditopang sekali oleh aksi window dressing. Ini juga berkaitan dengan adanya faktor psikologis dengan pelaku pasar atau investor meningkatkan investasi di pasar modal sehingga sangat positif juga untuk IHSG sampai di Desember," jelasnya.
Tumbuh positif
Terlepas dari itu, pasar saham di sepanjang 2021 tumbuh positif, tercermin dari kinerja IHSG yang telah mencapai level 6.600,68 pada 29 Desember 2021 (meningkat 10,4 persen dari posisi Desember 2020). Pertumbuhan IHSG tersebut bahkan sempat menembus rekor baru, yakni di level 6.723,39 pada 22 November 2021, melampaui IHSG sebelum terjadinya pandemi.Sementara itu, kapitalisasi pasar pada 29 Desember 2021 mencapai Rp8.277 triliun atau naik hampir 18 persen dibandingkan dengan posisi akhir 2020 yakni Rp6.970 triliun. Sementara itu, aktivitas perdagangan turut membukukan kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) tercatat di Rp13,39 triliun atau naik 45 persen lebih dari posisi akhir tahun lalu yakni Rp9,2 triliun. Selanjutnya, frekuensi transaksi harian mencapai angka 1,29 juta kali transaksi atau naik 91 persen dibandingkan dengan akhir 2020 dan merupakan nilai tertinggi ketimbang di kawasan ASEAN sepanjang tiga tahun terakhir.
Pertumbuhan signifikan juga tercermin pada rata-rata volume transaksi harian yang telah mencapai 20,6 miliar saham atau naik lebih dari 80 persen dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Adapun 2021 turut diramaikan oleh minat perusahaan untuk memobilisasi dana jangka panjang melalui pasar modal.
Hingga 30 Desember 2021, telah terdapat 54 perusahaan tercatat yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dan mencatatkan sahamnya di PT Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga sebanyak 766 perusahaan telah mencatatkan sahamnya di BEI.
Total fund raised IPO saham mencapai Rp62,61 triliun atau naik 1.022,35 persen ketimbang 2020 dan merupakan nilai penggalangan dana tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. Indonesia pun masih menjadi bursa dengan jumlah IPO terbanyak di Kawasan ASEAN selama tiga tahun berturut-turut sejak 2019.
Pencapaian positif turut tercermin dari meningkatnya minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia. Total jumlah investor di pasar modal Indonesia per 29 Desember 2021 telah meningkat 92,7 persen menjadi 7,48 juta investor dari sebelumnya 3,88 juta investor per akhir Desember 2020.
Jumlah ini meningkat hampir tujuh kali lipat dibandingkan dengan 2017. Secara khusus, pertumbuhan investor ritel pada 2021 ditopang oleh kalangan milenial (kelahiran 1981-1996) dan Gen-Z (kelahiran 1997–2012) atau rentang usia ≤ 40 tahun sebesar 88 persen dari total investor ritel baru (per November 2021).
Lonjakan pertumbuhan jumlah investor ritel turut berdampak terhadap dominasi investor ritel terhadap aktivitas perdagangan harian di BEI yang mencapai 56,2 persen dari tahun sebelumnya sebesar 48,4 persen.
Luar biasa
Ciamiknya kinerja pasar modal Indonesia juga dirasakan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) Wimboh Santoso. Menurutnya kinerja pasar modal Indonesia selama 2021 di luar ekspektasi. Pasalnya meski dalam situasi pandemi, capaian di pasar modal justru terbilang luar biasa."Pasar modal ini di luar dugaan, ini jauh dari ekspektasi kita semula. Indeks kita sudah 6.581,48," kata dia.
Dengan kinerja indeks tersebut maka perkiraan keuntungan investasi yang akan didapat sekitar 10,8 persen atau termasuk dari jajaran yang terbaik di antara negara-negara lain di kawasan Asia. Hal itu juga didukung jumlah investor yang ada di pasar modal terus meningkat signifikan dari 3,8 juta pada 2020 menjadi 7,5 juta pada 2021.
"Ini menunjukkan banyak investor-investor, terutama investor ritel. Ini dapat kami sampaikan, milenial ini yang tadinya banyak konsumsi sekarang banyak nabung terutama di saham dan juga di tabungan," ungkapnya.
Tak hanya itu, penghimpunan dana di pasar modal mencapai Rp363,3 triliun dari 194 emiten, lebih tinggi dari 2020 sebesar Rp118 triliun. Ini bersumber dari sektor teknologi dan sektor keuangan yang diharapkan menjadi engine growth ke depan.
"Bahkan ini luar biasa dalam sejarh rising fund di pasar modal itu lebih tinggi dari pertumbuhan kredit. Kredit selama 2021 hanya Rp228 triliun. Mudah-mudahan ini tanda yang bagus untuk investasi kita ke depan," tutur dia.
Dengan dasar yang positif itu, Wimboh berpandangan kinerja pasar modal Indonesia akan tetap tumbuh positif di 2022. Hal ini tak terlepas dari kinerja pasar modal pada 2021 yang di luar ekspektasi. Keseluruhan 2021 menunjukkan kepercayaan investor kepada pasar modal yang terus meningkat. Momentum pertumbuhan ekonomi diyakini memperkuat pasar modal.
"Ini mempunyai momentum yang besar karena PDB kita di 2022 berdasarkan asumsi APBN akan 5,2 persen. Ini adalah menambah keyakinan kita ke depan," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News