Kutipan ini memiliki arti; Aku adalah Garuda, burung milik Wishnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauanmu. Nama tersebut ibarat doa yang mampu membawa burung besi ini terus mengangkasa di langit Indonesia hingga mancanegara.
Bahkan, Garuda memperoleh sejumlah pengakuan internasional pada ajang Skytrax World Airline Awards 2021 dengan menyabet tujuh kategori unggulan pada ajang tersebut. Salah satunya adalah Top 15 World's Best Airline Penghargaan lainnya adalah Top 4 World's Best Airline Cabin Crew, Top 5 World's Best Airport Service, Top 20 World's Best First Class Airlines, Top 20 World's Best Business Class Airlines, Top 10 World's Best Economy Class Airlines, hingga Top 6 Best Airline Staff in Asia.
Namun di usia yang genap 72 tahun, Garuda divonis menderita krisis finansial parah. Penyakit tersebut muncul dari sederetan permasalahan yang membuat Garuda terus merugi hingga akhirnya terlilit utang di atas Rp100 triliun. Jumlah utang ini terus meningkat lebih dari Rp1 triliun setiap bulan karena Garuda terus menunda pembayaran kepada lessor. Tak hanya itu, perusahaan tercatat memiliki arus kas dan ekuitas yang negatif Rp41 triliun.
Berdasarkan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, terdapat tiga penyebab Garuda bangkrut:
1. Masalah lessor
Biaya sewa pesawat ke lessor disebut-sebut sebagai biang kerok membengkaknya utang Garuda. Lessor Garuda memberikan harga sewa selangit atau dua kali lipat lebih tinggi misalnya saja untuk Boeing 777.Harga sewa yang diterima Garuda mencapai USD1,4 juta per bulan atau setara Rp20,02 miliar (kurs Rp14.300 per USD). Padahal, harga sewa rata-rata di pasar cuma sebesar USD750 ribu per bulan atau Rp10 miliar. Artinya, harga yang diterima Garuda hampir dua kali lipat dari harga pasar.
Lessor adalah perusahaan yang menyediakan jasa leasing atau menyewakan barang dalam bentuk guna usaha. Singkatnya, lessor adalah pihak yang menyewakan atau menyediakan jasa leasing, sementara penyewa disebut sebagai lessee.
Garuda pun telah memulangkan 14 pesawat milik Aercap Ireland Limited (Aercap). Sebab, perusahaan lessor yang berbasis di Dublin, Irlandia itu, mencabut gugatan pailit ke Garuda Indonesia karena masalah pembayaran penyewaan. Awalnya Garuda memulangkan sembilan Boeing 737-800 ke perusahaan leasing AerCap. Lalu, jumlah tersebut bertambah lima unit lagi.
"Kami juga mesti jujur, ada lessor yang tidak ikutan dengan kasus itu, tetapi pada hari ini kemahalan karena ya kondisi. Itu yang kami juga harus negosiasi ulang. Nah beban terberat saya rasa itu," jelas Erick.
2. Jenis pesawat
Selain lessor yang mencapai 36, Garuda mengoperasikan banyak jenis pesawat seperti Boeing 737, Boeing 777, Airbus 320, Airbus 330, ATR, Bombardier. Banyaknya jenis pesawat ini membuat maskapai pelat merah kesulitan melakukan efisiensi. Kini perseroan mengoperasikan 125 armada dari sebelumnya total 142 pesawat, yang mencakup pesawat sewa dan pesawat milik Garuda Indonesia. Penurunan jumlah pesawat sewa karena Garuda memulangkan beberapa pesawat kepada lessor atau early termination.Adapun perseroan mengoperasikan enam pesawat jenis A330-300 milik sendiri. Lalu 119 pesawat sewa jenis B737-800 sebanyak 57 pesawat, CRJ1000 ada 18 pesawat, ATR72-600 ada 13 pesawat, B777-300 ada 10 pesawat, A330-300 ada 11 pesawat, A330-200 ada tujuh pesawat, dan A330-900 ada tiga pesawat.
3. Kesalahan model bisnis
Performa Garuda yang memburuk juga dipengaruhi oleh kesalahan model bisnis yakni memaksakan rute penerbangan internasional. Padahal rute penerbangan domestik mendominasi 78 persen dari total penerbangan dengan pendapatan mencapai Rp1.400 triliun. Sementara rute luar negeri hanya mencatatkan 22 persen pendapatan atau Rp300 triliun.Garuda pun mulai memangkas rute penerbangan dari sebelumnya sebanyak 111 pada 2019 menjadi 101 di 2020. Lalu kembali menyusut menjadi sebanyak 73 rute penerbangan pada Juni 2021. Dari total rute tersebut, 59 di antaranya adalah rute domestik dan 14 sisanya rute internasional.
Penurunan rute penerbangan Garuda Indonesia diikuti dengan melorotnya jumlah frekuensi pesawat yang beroperasi tiap hari. Apalagi pandemi covid-19 memaksa Garuda melakukan grounded atau tidak menerbangkan sebanyak 70 persen dari total armadanya.
Pada Mei 2020, Garuda mencatat penurunan frekuensi penerbangan hampir 90 persen dari kondisi sebelum pandemi. Adapun sepanjang semester I-2021, jumlah penumpang Garuda hanya sekitar 870 ribu orang atau merosot 73,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang sebanyak 3,22 juta penumpang.
Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengaku mendapat paksaan soal pembukaan rute penerbangan meski tidak membawa keuntungan bagi maskapai. Salah satu rute penerbangan yang ditutup Garuda ialah Bandar Udara Internasional Juwata di Tarakan, Kalimantan Utara.
Begitu pun dengan rute internasional, seperti penerbangan ke Amsterdam, Belanda, lalu ke London, Inggris juga sudah ditutup sementara rutenya oleh Garuda akibat sepi penumpang. Sementara, Tiongkok, Australia dan negara lainnya masih dibuka karena dianggap menguntungkan perusahaan.
"Soal business plan, pertama Garuda harus untung. Kita tahu bikin untung, enggak usah gaya-gayaan, kita tahu. Tapi, selama ini kita terdesak bikin kami enggak untung karena ada banyak tekanan membuka rute," ungkapnya saat Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, di Kompleks Senayan, Selasa, 10 November 2021.
Apakah Garuda masih bisa diselamatkan?
Berkaca pada bisnis maskapai dunia, permasalahan yang membelit Garuda pernah dialami oleh empat maskapai di ASEAN.1. Philippine Airlines (PAL)
Pada 3 September 2021, Philippine Airlines mengajukan kebangkrutan di Chapter 11, Amerika Serikat untuk memangkas utang sebesar USD2 miliar. Melansir AFP, maskapai penerbangan Filipina itu yakin pengajuan tersebut akan memungkinkan perusahaan untuk merestrukturisasi kontrak dan memangkas utang setidaknya USD2 miliar sembari mendapatkan USD655 juta modal baru.
PAL juga mengurangi armadanya sebesar 25 persen dan menegosiasikan ulang kontrak untuk mengurangi pembayaran sewa. Wakil Presiden Senior dan Kepala Keuangan PAL, Nilo Thaddeus Rodriguez dalam pesan video saat itu mengatakan Philippine Airlines akan melanjutkan operasi bisnis seperti biasa sambil menyelesaikan restrukturisasi jaringan, armada, dan organisasi perusahaan.
2. Malaysian Airlines
Pada awal tahun ini Malaysian Airlines juga berjuang meraih kesepakatan dengan lusinan kreditur terbesarnya untuk merestrukturisasi utang sekitar USD3,99 miliar.
3. Thai Airways
Pada 15 Juni 2021, perusahaan penerbangan asal Thailand ini menyatakan diri bangkrut setelah para kreditur setuju atas skema restrukturisasi atas utang senilai 245 miliar baht Thailand. Pengadilan kepailitan Thailand pun menyetujui skema pembayaran utang sebagai bagian dari program restrukturisasi perusahaan setelah mengalami kesulitan keuangan.
4. Singapore Airlines (SIA)
Singapore Airlines juga mengalami tekanan keuangan akibat pandemi covid-19. Pada akhir Maret 2021, Singapore Airlines tercatat memiliki utang 11,5 miliar dolar Singapura atau naik dari 9,95 miliar dolar Singapura pada tahun lalu.
Meski demikian, pemerintah Singapura meluncurkan langkah-langkah signifikan untuk membantu sektor penerbangan, termasuk mendanai 75 persen sebesar 4.600 dolar Singapura gaji bulanan pekerja penerbangan dan memberikan 350 juta dolar Singapura untuk operasional maskapai penerbangan. Tak hanya itu, pemerintah Singapura juga menyuntikkan dana talangan hingga 19 miliar dolar Singapura untuk membantu maskapai tersebut bertahan.
Lantas bagaimana upaya pemerintah menyelamatkan Garuda Indonesia. Melansir dokumen Kementerian BUMN, ada sejumlah opsi yang ditetapkan usai pemerintah melakukan penolak ukuran (benchmarking).
Berikut 4 opsi penyelamatan Garuda:
1. Memberikan pinjaman ekuitasOpsi ini merujuk pada praktik restrukturisasi pemerintah Singapura terhadap salah satu penerbangan nasional negara setempat yakni, Singapore Airlines. Namun dalam catatan pemegang saham, pemerintah berpotensi meninggalkan maskapai penerbangan pelat merah itu dengan utang warisan yang besar.
2. Menggunakan legal bankruptcy
Opsi ini untuk merestrukturisasi kewajiban Garuda seperti, utang, sewa, dan kontrak kerja sebagaimana penyelamatan Latam Airlines milik Malaysia. Dalam catatan pemerintah, opsi tersebut masih mempertimbangkan Undang-Undang (UU) kepailitan. Apakah regulasi memperbolehkan adanya restrukturisasi.
3. Melakukan restrukturisasi
Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi dengan mulai mendirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda. Bahkan, menjadi national carrier di pasar domestik.
4. Likuidasi
Dalam opsi ini, pemerintah akan mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara. Misalnya dengan pajak bandar udara (bandara) atau subsidi rute yang lebih rendah. Jika, opsi terakhir menjadi pilihan pemerintah, maka Indonesia secara resmi tidak lagi memiliki national flag carrier.

Ilustrasi grafis penyelamatan Garuda Indonesia - - Foto: Medcom.id
Dari sejumlah opsi tersebut, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menegaskan upaya penyelamatan Garuda melalui suntikan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) bukan pilihan utama dari pemerintah. Fokus penyelamatan akan dilakukan melalui upaya negosiasi intens dengan para lessor.
Namun, kementerian yang dipimpin oleh Erick Thohir tersebut terus bernegosiasi dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk mencairkan Investasi Pemerintah Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) sebesar Rp7,5 triliun untuk penyelamatan bisnis Garuda Indonesia.
Pada awal 2020, Garuda sudah mengajukan sebesar RP8,5 triliun dari PEN, tetapi baru cair Rp1 triliun. Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan rencana negosiasi dengan Kemenkeu ini, karena parameter pencairan PEN tahun lalu tidak bisa dipenuhi.
Oleh karenanya, Garuda akan menyiapkan persyaratan dan parameter, seperti perbaikan kinerja perusahaan. Jika nanti cair, dana sebesar USD90 juta akan dipakai untuk proses hukum langkah restrukturisasi Garuda.
Tiko sapaannya berujar, kreditur ingin di awal proses penyelesaian utang ada semacam token dari pemerintah sebagai komitmen menyelesaikan permasalahan tersebut. "Kami sedang negosiasi bagaimana bisa manfaatkan rekening IP-PEN yang sudah disbursement tapi belum dimanfaatkan ini. Kami akan negosiasi dengan Kemenkeu soal Rp7,5 triliun ini," ungkapnya saat Rapat Kerja dengan Komisi VI di Gedung DPR.
Di sisi lain, Serikat Karyawan Garuda Indonesia pun mendesak pemerintah agar segera menyuntik dana ke maskapai tersebut. Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda Tommy Tampatty berpendapat ada dua permasalahan besar yang dialami Garuda Indonesia, yaitu dampak dari pandemi covid-19 dan dampak dari beban utang yang timbul karena salah kelola di masa lalu.
Secara teknikal Garuda memang bangkrut lantaran ekuitasnya negatif hingga USD2,8 miliar atau sekitar Rp40 triliun. Pandemi pun memperburuk kondisi bisnis Garuda dengan menambah utang USD100 juta-USD150 juta atau Rp1,5 triliun-Rp2 triliun setiap bulannya.
"Maka dari itu sudah sewajarnya pemerintah sebagai pemilik 60,54 persen saham (Garuda) harus membantu memberikan pinjaman modal kerja untuk kelangsungan kegiatan operasional," ungkap Tommy dalam keterangan resmi, Rabu, 3 November 2021.
Sementara itu, pengamat investasi global dan pasar modal Edhi Pranasidhi menilai pemerintah wajib menyelamatkan Garuda karena mayoritas kepemilikan saham dikuasai oleh negara. Dengan porsi lebih dari 60 persen, pemerintah akan merugi jika membiarkan Garuda bangkrut.
Salah satu bentuk kerugiannya, yakni, menghilangkan kepercayaan investor asing kepada pemerintah Indonesia. Bila kepercayaan investor hilang, ke depannya akan menambah country risk investment bagi Indonesia.
"Jadi, risiko berinvestasi di Indonesia bisa meningkat di mata investor asing. Selain itu, akan menimbulkan multiplier effect kepada industri di dalam negeri. Sebab, Garuda bukan hanya punya utang kepada lessor (prinsipal sewa pesawat), tapi juga ke sejumlah BUMN," ujar Edhi dalam keterangan tertulis, Senin, 8 November 2021.
Beberapa skema penyelamatan Garuda versi pengamat:
1. Garuda menerbitkan obligasi (bond) dengan tenor 30 tahunNilai obligasinya berkisar Rp20 triliun-Rp30 triliun. Dari jumlah ini, 50 persen digunakan untuk membayar utang dan sisanya keperluan biaya operasional Garuda. Penerbitan obligasi bisa dilakukan bertahap dengan kupon satu persen per tahun. Tapi, pemerintah harus memberikan grace period atau masa tenggang lima tahun bagi Garuda untuk membayar cicilan dan kupon obligasi.
Dengan adanya grace period, Garuda bisa memperbaiki kinerjanya selama lima tahun. Setelah lima tahun, baru Garuda mulai mencicil pembayaran dan kupon obligasi yang diterbitkan.
2. Penerapan mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi
Misalnya, ditetapkan harga MCB Rp500 dengan jangka waktu selama tujuh tahun dan bunga sebesar enam persen. Tentu, MCB dibeli kreditur. Setelah jatuh tempo, obligasi dikonversi dengan saham Garuda. MCB tersebut bisa mengurangi beban utang Garuda hingga Rp10 triliun, serta bisa digunakan untuk membayar utang-utang short term. Hal ini akan membuat ekuitas Garuda menjadi positif sehingga memengaruhi pergerakan harga saham Garuda di pasar modal.
3. Right issue besar-besaran
Misalnya dana yang dibutuhkan Garuda sebanyak Rp20 triliun, maka harus dihitung berapa jumlah saham yang harus dilepas dalam right issue. Lalu, berapa harga saham right issue tersebut.
Saat ini jumlah saham Garuda sekitar 25,9 miliar saham. Dampak right issue tersebut akan membuat kepemilikan saham existing akan terdilusi. Namun tidak semua pemegang saham Garuda akan setuju sahamnya terdilusi. Apalagi, jika harga saham rights issue Garuda di bawah harga saat mereka membeli saham Garuda di pasar modal.
Atas dasar itu, Edhi menyebut opsi yang paling tepat untuk penyelamatan Garuda, yakni menerbitkan obligasi. Dengan skema obligasi, pemerintah bisa sharing dengan BI membeli surat utang yang diterbitkan Garuda. Jika lewat right issue, BI tidak bisa ikut membeli saham Garuda.
“Dengan berbagai skema penyelamatan seperti itu, lessor harusnya akan bersikap kooperatif, ketimbang piutangnya tidak dibayar sama sekali. Tapi, pemerintah juga harus memperbaiki dan merombak manajemen Garuda, dengan figur manajemen yang bersih dan punya visi bagus untuk membangun Garuda ke depan," terang Edhi.
Rumitnya restrukturisasi Garuda
Merestrukturisasi utang Garuda Indonesia tak semudah BUMN lainnya. Sebab, 70 persen kreditur Garuda berasal dari luar negeri. Sementara kreditur BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, Krakatau Steel (KS), dan Waskita Karya mayoritas berada di Indonesia.Karenanya, restrukturisasi utang Garuda terbilang sangat kompleks sehingga pemerintah tidak dapat menggunakan sistem out of court atau melakukan negosiasi satu per satu dengan kreditur.
Adapun opsi paling masuk akal yakni menggunakan sistem in court. Ini merupakan penyelesaian dengan mencari kesepakatan bersama yang mengikat secara hukum. Dengan kata lain, sistem ini memberikan kewenangan hukum (yurisdiksi) dengan kreditur yang tidak hanya berlaku sesuai ketentuan di Indonesia, tetapi juga mengacu dari mana asal negara kreditur.
Sayangnya, in court memiliki risiko besar karena harus melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yakni apabila permohonan perdamaian Garuda tidak disetujui oleh mayoritas kreditur maka Garuda akan pailit.
Oleh sebab itu, Kementerian BUMN terus bernegosiasi dengan lessor dan kreditur agar mereka mau menerima pengurangan utang secara signifikan atas kondisi yang menimpa maskapai pelat merah tersebut.
"Memang situasinya pelik. Ada waktu yang harus kita percepat, tidak mungkin kita nego one on one dengan 60 kreditur bisa-bisa dua tahun nggak selesai. Di sisi lain ada yurisdiksi yang berbeda dan beda-beda juga proses hukumnya. Ini kita akan upayakan terus, seminggu-sebulan ke depan arahnya ke mana akan kita update, tapi preferensi kita saat ini masuk ke in court," ungkap Wakil Menteri BUMN II.
Rumus restrukturisasi utang Garuda versi Kementerian BUMN:
- Tidak ada haircut atau penghapusan utang pajak dan karyawan karena secara hukum tidak bisa diterapkan.
- Tidak ada pengurangan kreditur secured dengan collateral settlement serta akan disesuaikan dengan nilai collateral yang ada.
- Tidak ada pengurangan Obligasi Wajib Konversi (OWK) yang dikonversi penuh menjadi ekuitas.
- Penawaran zero coupon bond bagi Himbara, Airnav, Gapura. Sebagian kewajiban Garuda akan di convert menjadi zero coupon bond.
- Penerbitan new coupon debt bagi pemegang sukuk, KIK-EBA, LPEI dan bank swasta, hingga AP I dan II selaku sister company.
Apabila renegosiasi dengan kreditur dan lessor berhasil, pendapatan Garuda diperkirakan tembus USD200 juta pada 2023 karena ada penurunan biaya maskapai penerbangan sebesar USD80 juta di akhir 2022. Perkiraan ini disertai dengan membaiknya kondisi pandemi dan pemulihan pariwisata di dalam dan luar negeri.
Opsi terakhir, Garuda digantikan Pelita
Nasib Garuda dapat berakhir di tangan Pelita Air Service (PAS) milik Pertamina jika restrukturisasi yang tengah diupayakan gagal. Opsi ini berhembus setelah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memproses perizinan Sertifikat Operator Udara (AOC) Pelita agar bisa terbang untuk tujuan komersial.Sertifikasi itu akan menentukan nama dan lokasi atau empat usaha utama operator. Berikut, tanggal penerbitan dan masa berlaku penerbangan, hingga jenis pesawat terbang yang diizinkan untuk digunakan. Adapun Pelita Air baru memiliki dua izin, yaitu Surat Izin Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal (SIUAU-NB) dan SIUAU Niaga Tidak Berjadwal atau carter.
"Iya, sudah dapat izin niaga berjadwal. AOC masih dalam persiapan dan pengurusan," kata Direktur Utama Pelita Air Albert.

Ilustrasi profil Pelita Air - - Foto: Grafis Medcom
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai opsi menggantikan Garuda ke Pelita akan memakan waktu yang lama lantaran harus mempersiapkan banyak aspek untuk menjadi flag carrier. Mulai dari produk, pelayanan penerbangan, strategi bisnis penjualan tiket dan lainnya.
Sebab, Pelita Air selama ini beroperasi sebagai maskapai carter atau sewa dalam mengangkut produk sektor minyak dan gas, dengan minim penerbangan berjadwal. Sehingga, anak usaha dari PT Pertamina (Persero) itu perlu mendapatkan perizinan Sertifikat Operator Udara (AOC), agar bisa terbang untuk tujuan komersial.
"Itu akan memakan waktu yang panjang. Opsi ini mungkin bisa terjadi, tapi tidak mudah dan tidak bisa cepat. Kalau saya lihat, Pelita Air menggantikan Garuda itu last option (pilihan terakhir)," kata Gerry dikutip dari Mediaindonesia.com.
Sementara itu, pengamat penerbangan Alvin Lie menilai opsi penggantian tersebut terlalu dini karena berbagai pihak masih berusaha mengambil opsi terbaik menyelamatkan Garuda.
Jika diganti pun, Pelita Air bukan wadah yang tepat. Satu-satunya yang bisa dipertimbangkan yakni Citilink selaku anak usaha Garuda. Citilink dapat menempati posisi sebagai Pool Service. Sementara Pelita Air bisa mengisi kekosongan dari kursi Citilink sebelumnya.
"Kalau memang harus diberhentikan, yang lebih berhak melaju dan sesuai pangsa pasar Garuda itu Citilink," ujar Alvin dikutip dari Primetime News Metro TV.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
                    Google News
                
             Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
 
   
	 
                 
                 
                 
                 
                