Ilustrasi Garuda Indonesia terjerat utang - - Foto: dok MI
Ilustrasi Garuda Indonesia terjerat utang - - Foto: dok MI

Senja Kala Garuda Indonesia

Desi Angriani • 12 November 2021 12:22

Rumitnya restrukturisasi Garuda

Merestrukturisasi utang Garuda Indonesia tak semudah BUMN lainnya. Sebab, 70 persen kreditur Garuda berasal dari luar negeri. Sementara kreditur BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, Krakatau Steel (KS), dan Waskita Karya mayoritas berada di Indonesia.
 
Karenanya, restrukturisasi utang Garuda terbilang sangat kompleks sehingga pemerintah tidak dapat menggunakan sistem out of court atau melakukan negosiasi satu per satu dengan kreditur.
 
Adapun opsi paling masuk akal yakni menggunakan sistem in court. Ini merupakan penyelesaian dengan mencari kesepakatan bersama yang mengikat secara hukum. Dengan kata lain, sistem ini memberikan kewenangan hukum (yurisdiksi) dengan kreditur yang tidak hanya berlaku sesuai ketentuan di Indonesia, tetapi juga mengacu dari mana asal negara kreditur.

Sayangnya, in court memiliki risiko besar karena harus melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yakni apabila permohonan perdamaian Garuda tidak disetujui oleh mayoritas kreditur maka Garuda akan pailit.
 
Oleh sebab itu, Kementerian BUMN terus bernegosiasi dengan lessor dan kreditur agar mereka mau menerima pengurangan utang secara signifikan atas kondisi yang menimpa maskapai pelat merah tersebut.
 
"Memang situasinya pelik. Ada waktu yang harus kita percepat, tidak mungkin kita nego one on one dengan 60 kreditur bisa-bisa dua tahun nggak selesai. Di sisi lain ada yurisdiksi yang berbeda dan beda-beda juga proses hukumnya. Ini kita akan upayakan terus, seminggu-sebulan ke depan arahnya ke mana akan kita update, tapi preferensi kita saat ini masuk ke in court," ungkap Wakil Menteri BUMN II.
 

Rumus restrukturisasi utang Garuda versi Kementerian BUMN:

  1. Tidak ada haircut atau penghapusan utang pajak dan karyawan karena secara hukum tidak bisa diterapkan.
  2. Tidak ada pengurangan kreditur secured dengan collateral settlement serta akan disesuaikan dengan nilai collateral yang ada.
  3. Tidak ada pengurangan Obligasi Wajib Konversi (OWK) yang dikonversi penuh menjadi ekuitas.
  4. Penawaran zero coupon bond bagi Himbara, Airnav, Gapura. Sebagian kewajiban Garuda akan di convert menjadi zero coupon bond.
  5. Penerbitan new coupon debt bagi pemegang sukuk, KIK-EBA, LPEI dan bank swasta, hingga AP I dan II selaku sister company.
"Untuk lessor, ada tantangan tersendiri karena jumlahnya yang banyak dan memiliki karakteristik masing-masing. Jadi akan beda rumusan tergantung dari seberapa perlu kita menggunakan pesawatnya," jelas Kartika.
 
Apabila renegosiasi dengan kreditur dan lessor berhasil, pendapatan Garuda diperkirakan tembus USD200 juta pada 2023 karena ada penurunan biaya maskapai penerbangan sebesar USD80 juta di akhir 2022. Perkiraan ini disertai dengan membaiknya kondisi pandemi dan pemulihan pariwisata di dalam dan luar negeri.
 

Opsi terakhir, Garuda digantikan Pelita

Nasib Garuda dapat berakhir di tangan Pelita Air Service (PAS) milik Pertamina jika restrukturisasi yang tengah diupayakan gagal. Opsi ini berhembus setelah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memproses perizinan Sertifikat Operator Udara (AOC) Pelita agar bisa terbang untuk tujuan komersial.
 
Sertifikasi itu akan menentukan nama dan lokasi atau empat usaha utama operator. Berikut, tanggal penerbitan dan masa berlaku penerbangan, hingga jenis pesawat terbang yang diizinkan untuk digunakan. Adapun Pelita Air baru memiliki dua izin, yaitu Surat Izin Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal (SIUAU-NB) dan SIUAU Niaga Tidak Berjadwal atau carter.
 
"Iya, sudah dapat izin niaga berjadwal. AOC masih dalam persiapan dan pengurusan," kata Direktur Utama Pelita Air Albert.
 
Senja Kala Garuda Indonesia
Ilustrasi profil Pelita Air - - Foto: Grafis Medcom
 
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai opsi menggantikan Garuda ke Pelita akan memakan waktu yang lama lantaran harus mempersiapkan banyak aspek untuk menjadi flag carrier. Mulai dari produk, pelayanan penerbangan, strategi bisnis penjualan tiket dan lainnya.
 
Sebab, Pelita Air selama ini beroperasi sebagai maskapai carter atau sewa dalam mengangkut produk sektor minyak dan gas, dengan minim penerbangan berjadwal. Sehingga, anak usaha dari PT Pertamina (Persero) itu perlu mendapatkan perizinan Sertifikat Operator Udara (AOC), agar bisa terbang untuk tujuan komersial.
 
"Itu akan memakan waktu yang panjang. Opsi ini mungkin bisa terjadi, tapi tidak mudah dan tidak bisa cepat. Kalau saya lihat, Pelita Air menggantikan Garuda itu last option (pilihan terakhir)," kata Gerry dikutip dari Mediaindonesia.com.
 
Sementara itu, pengamat penerbangan Alvin Lie menilai opsi penggantian tersebut terlalu dini karena berbagai pihak masih berusaha mengambil opsi terbaik menyelamatkan Garuda.
 
Jika diganti pun, Pelita Air bukan wadah yang tepat. Satu-satunya yang bisa dipertimbangkan yakni Citilink selaku anak usaha Garuda. Citilink dapat menempati posisi sebagai Pool Service. Sementara Pelita Air bisa mengisi kekosongan dari kursi Citilink sebelumnya.
 
"Kalau memang harus diberhentikan, yang lebih berhak melaju dan sesuai pangsa pasar Garuda itu Citilink," ujar Alvin dikutip dari Primetime News Metro TV.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Des)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan