Kesemuanya menjadi sentimen buruk bagi investor dan untuk awal berdampak langsung terhadap pasar keuangan termasuk menerpa pasar modal di Indonesia. Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian serius para investor di pasar saham agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan guna meminimalkan terjadinya kerugian saat berinvestasi di pasar modal.
Meski diwarnai sejumlah faktor buruk dari eksternal, namun dari domestik terbilang cukup banyak berita positif. Hal itu sejalan dengan Pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin yang gencar melakukan pemulihan ekonomi di saat pandemi covid-19 masih 'betah' di Tanah Air, termasuk tetap menggenjot pembangunan infrastruktur.
Menjelang dua tahun kepemimpinan Jokowi, tak ditampik sejumlah prestasi sudah ditorehkan dan salah satunya berimbas terhadap terus membaiknya industri pasar modal di Indonesia. Hal itu sejalan dengan perbaikan dan dorongan untuk mengoptimalkan pembangunan sektor ekonomi di hampir seluruh lini di Tanah Air.
Optimalisasi pembangunan itu berdampak terhadap terus tumbuhnya geliat ekonomi dan industri. Kian kokohnya fundamental pasar modal di Tanah Air juga bisa terlihat dari jumlah investor di pasar saham yang terus bertambah dari waktu ke waktu, terutama saat pandemi covid-19 dan minat perusahaan untuk melantai di pasar modal.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat investor baru di pasar modal bertambah sekitar 2,3 juta selama satu setengah tahun masa pandemi covid-19 berlangsung, sehingga kini menjadi 6,1 juta investor. Data tersebut berdasarkan Single Investor Identification (SID) yang dimiliki investor

Anggota DK OJK Bidang Edukasi & Perlindungan Konsumen Tirta Segara menuturkan pertambahan investor baru di pasar modal tersebut pada umumnya berasal dari kelompok milenial, khususnya generasi X dan generasi Y. Momentum tingginya usia produktif yang berpartisipasi dalam pasar modal dan kegiatan ekonomi apapun harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Tirta berpandangan besarnya pangsa penduduk usai produktif yakni 15-64 tahun di Indonesia menjadi keyakinan bahwa Indonesia akan segera menuju masa keemasannya. "Sehingga, hal ini tidak hanya menjadikan besarnya peran investor milenial di pasar modal, tetapi dari banyaknya anak-anak muda yang memotori unicorn yang berkembang pesat saat ini," terang dia.
Pada periode 27 September hingga 1 Oktober 2021, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di akhir pekan terpantau di level 6.228,845 atau meningkat sebanyak 1,37 persen dari posisi 6.144,815 pada penutupan pekan sebelumnya. Rata-Rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) selama sepekan naik 48,20 persen menjadi Rp18,898 triliun, dari Rp12,752 triliun pada pekan lalu.
Peningkatan sebesar 17,22 persen terjadi pada rata-rata volume transaksi harian bursa yang berada pada angka 24,834 miliar saham dari 21,18 miliar saham pada pekan sebelumnya. Sementara itu rata-rata frekuensi harian bursa meningkat 9,21 persen menjadi 1.503.334 transaksi dari 1.376.543 transaksi pada pekan yang lalu.
Nilai kapitalisasi pasar Bursa tercatat sampai dengan pekan ini berada pada nominal Rp7.644,414 triliun dari Rp7.538,707 triliun pada pekan lalu atau mengalami peningkatan sebesar 1,40 persen. Investor asing pada Jumat, 1 Oktober mencatatkan nilai jual bersih Rp10,515 triliun dan sepanjang 2021 investor asing mencatatkan beli bersih sebesar Rp15,994 triliun.
Dana IPO terbesar sepanjang sejarah
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat penghimpunan dana melalui aksi penawaran umum perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) tahun ini terbesar sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, per 16 September 2021 telah terkumpul dana IPO sebesar Rp32,14 triliun dari 38 perusahaan.
"Nilai tersebut merupakan perolehan dana terbesar yang dihimpun perusahaan melalui IPO sejak Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada 1977," kata Nyoman.
Nyoman menjelaskan sebelumnya penghimpunan dana terbesar tercatat pada 2010. Saat itu total dana yang dihimpun melalui aksi IPO sebesar Rp29,67 triliun yang diperoleh dari 23 perusahaan. Sedangkan hingga 28 September 2021, OJK mencatat jumlah penawaran umum yang dilakukan emiten mencapai 134, dengan total penghimpunan dana Rp264,5 triliun.
Dari jumlah penawaran umum tersebut, 37 di antaranya dilakukan oleh emiten baru. Dalam pipeline saat ini terdapat 73 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran Rp35,72 triliun.
.jpg)
Seorang investor sedang memantau pergerakan pasar saham. FOTO: MI/ROMMY PUJIANTO
Berangkat dari angin segar itu, BEI optimistis kegiatan penawaran saham perdana oleh perusahaan akan lebih banyak di tahun depan. Keyakinan tersebut dengan melihat beberapa indikator pasar tumbuh positif sepanjang 2021, seperti RNTH dan jumlah investor pasar modal.
Per 13 September 2021, bursa mencatat RNTH tembus 13,07 triliun. Sementara jumlah investor pasar modal sudah mencapai 6,1 juta dari sisi SID. "Kami optimistis kegiatan IPO di tahun depan akan lebih menjanjikan," kata I Gede Nyoman Yetna.
Menguat di tengah ketidakpastian
Tak hanya pasar modal yang terus memamerkan keseksiannya. Rupiah juga memperlihatkan taringnya. Pasalnya, kurs rupiah mampu menguat di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang belum sepenuhnya mereda. Nilai tukar rupiah pada 20 September 2021 menguat 0,94 persen secara rerata dan 0,18 persen secara point to point ketimbang level Agustus 2021.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan penguatan nilai tukar rupiah didorong oleh persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik, terjaganya pasokan valas domestik, dan langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia. Dengan perkembangan tersebut, rupiah sampai dengan 20 September 2021 masih mencatat depresiasi sebesar 1,35 persen (ytd).
Depresiasi itu dibandingkan dengan level akhir 2020 atau relatif lebih rendah dibandingkan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand. Perry menegaskan Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.
"Dan bekerjanya mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar," tuturnya.
Tak hanya dari aspek moneter. Area fiskal juga mampu memberikan hadiah berupa sentimen positif dari rencana pemerintah yang kembali berencana menggelar program pengampunan pajak jilid kedua atau tax amnesty. Rencana itu memberikan kekuatan bagi rumah untuk menyalip dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan akhir pekan lalu.
Dengan rencana tax amnesty, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan kepada negara. Kebijakan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang sudah selesai tahap satu.
Adapun RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan tersebut sudah diparaf oleh berbagai pihak terkait dan telah disepakati DPR untuk dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan. Pengampunan pajak tersebut akan berlaku pada 1 Januari 2022.
Dalam draft tersebut dijelaskan bahwa wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak (DJP) belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
Adapun harta yang dapat diungkapkan itu merupakan nilai harga dikurangi nilai utang. Hal itu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Harta yang dimaksud tepatnya adalah aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Sementara, harta bersih dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.
Kondisi Indonesia membaik
Namun, faktor terbesar terkait kondisi ekonomi Indonesia terutama bagi industri pasar modal dan nilai tukar rupiah yakni terkendalinya pandemi covid-19 di Tanah Air. Patut disyukuri, kini kasus virus mematikan itu terus turun angkanya dan jumlah vaksinasi semakin meningkat dari waktu ke waktu.
"Rumah-rumah sakit tak lagi disesaki pasien covid-19, pusat-pusat isolasi mandiri di berbagai kota di Tanah Air mulai melonggar," ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam akun Instagram-nya @jokowi.
Jokowi menyampaikan beberapa daerah telah mengalami penurunan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kondisi tersebut diikuti adanya pelonggaran aktivitas masyarakat. "Pusat perbelanjaan, rumah ibadah, tempat wisata, mulai dibuka, dan sekolah-sekolah mulai melaksanakan pembelajaran tatap muka," jelasnya.
Kepala Negara menilai kondisi tersebut diraih berkat kegiatan vaksinasi massal dan penerapan protokol kesehatan secara disiplin. Ia menyebut Indonesia harus siap untuk hidup berdampingan dengan covid-19. "Menyambut pandemi ini sebagai endemi, karena covid-19 tak kan hilang dari muka bumi dalam waktu yang lama," kata Jokowi.
Stabilitas sistem keuangan terjaga
Lebih lanjut, OJK menilai stabilitas sistem keuangan masih terjaga, ditunjukkan dengan perbaikan fungsi intermediasi domestik di tengah pemulihan perekonomian nasional yang terus berjalan. Hal ini didukung dengan mulai terkendalinya pandemi diikuti peningkatan aktivitas perekonomian nasional.
Namun demikian perkembangan global masih perlu dicermati, terutama tren peningkatan inflasi akibat penyebaran varian Delta, pengetatan kebijakan moneter global yang lebih cepat dari estimasi awal, serta dampak pengetatan regulasi di Tiongkok.
OJK mencatat, di sektor perbankan, kredit pada Agustus 2021 tercatat tumbuh sebesar 1,16 persen yoy atau 1,91 persen ytd. Secara sektoral, kredit sektor rumah tangga mencatatkan kenaikan terbesar secara mtm sebesar Rp4,8 triliun. Sementara, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 8,81 persen yoy atau 5,91 persen ytd.
Perbankan tercatat akomodatif dalam penyaluran kredit untuk mendukung produk dan komoditas berorientasi ekspor yang tumbuh sebesar 4,92 persen ytd, sehingga turut mendorong surplus neraca perdagangan Indonesia. Perbankan juga berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional dengan terus menurunkan suku bunganya.
Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Agustus 2021 terus turun, seiring penurunan komponen harga pokok dana dan biaya overhead masing-masing 16 bps dan 10 bps. Penurunan SBDK telah diteruskan pada penurunan suku bunga kredit ke level yang cukup kompetitif, antara lain suku bunga kredit modal kerja yang telah turun di bawah level 9,00 persen ke level 8,92 persen.
Industri asuransi mencatatkan penghimpunan premi asuransi pada Agustus 2021 sebesar Rp20,9 triliun dengan rincian asuransi jiwa sebesar Rp13,6 triliun, asuransi umum dan reasuransi sebesar Rp7,3 triliun. Fintech P2P lending pada Agustus 2021 mencatatkan outstanding pembiayaan sebesar Rp26,09 triliun atau tumbuh 115,1 persen yoy.
"Piutang perusahaan pembiayaan pada Agustus 2021 masih terkontraksi sebesar 8,5 persen yoy," kata Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo.
Sementara itu, profil risiko lembaga jasa keuangan pada Agustus 2021 masih relatif terjaga dengan rasio NPL gross tercatat sebesar 3,35 persen (NPL net: 1,08 persen). Rasio nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level yang rendah terkonfirmasi dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) Agustus 2021 sebesar 2,09 persen, jauh di bawah ambang batas ketentuan 20 persen.
Sementara itu, likuiditas berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per Agustus 2021 terpantau masing-masing pada level 149,72 persen dan 32,67 persen, di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Permodalan lembaga jasa keuangan sampai saat ini terjaga dengan pada level yang memadai. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan tercatat sebesar 24,41 persen. Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing tercatat sebesar 633,6 persen dan 336,8 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen.
Begitupun gearing ratio perusahaan pembiayaan yang sebesar 1,96 kali, jauh di bawah batas maksimum 10 kali. Anto mengatakan OJK akan terus mendukung kebijakan pemerintah untuk mendorong sektor usaha yang berdampak bagi pemulihan ekonomi nasional.
"OJK juga akan memperkuat koordinasi dengan para stakeholder dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya dalam mengantisipasi risiko tapering di advanced economies," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News