Ilustrasi. FOTO: MI/ANGGA YUNIAR
Ilustrasi. FOTO: MI/ANGGA YUNIAR

PR Panjang saat Keluar dari Resesi

Angga Bratadharma • 10 Agustus 2021 13:56
SENYUM sumringah terlihat di wajah beberapa pejabat negara saat mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2021 meroket 7,7 persen secara tahun ke tahun (yoy). Tak salah jika kebahagiaan muncul karena pertumbuhan tersebut sekaligus membuat Indonesia keluar dari resesi ekonomi usai terhantam keras pandemi covid-19.
 
Berdasarkan data yang dihimpun Medcom.id, Selasa, 10 Agustus 2021, sebelumnya Indonesia menderita resesi usai mengalami pertumbuhan minus berturut-turut di kuartal II dan kuartal III di 2020 yakni masing-masing minus 5,32 persen secara yoy dan negatif 3,49 persen secara yoy. Penyebabnya pandemi covid-19 merusak tatanan aktivitas ekonomi di Tanah Air.
 
Namun, 'gelar' resesi yang melekat di Indonesia kini sudah tak ada lagi. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan berbagai macam kelebihan dan kekurangannya mampu menggerakkan roda perekonomian. Alhasil, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi di Tanah Air pada kuartal II-2021 tembus 7,07 persen secara yoy.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia meroket setelah pada periode sama di tahun lalu mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen. Berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada kuartal II-2021 mencapai Rp4.175,8 triliun dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) mencapai Rp2.772,9 triliun.
 
Secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan di kuartal I-2021 tumbuh 3,31 persen. Sedangkan secara kumulatif dari Januari sampai Juni 2021 terhadap Januari-Juni 2020 perekonomian Indonesia tumbuh 3,10 persen.
 
BPS mencatat sebesar 84,93 persen PDB Indonesia pada kuartal II tahun ini berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi. Di kuartal II-2021 ini, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93 persen, dan investasi tumbuh 7,54 persen. Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) tercatat naik 4,12 persen dan konsumsi pemerintah naik 8,06 persen.
 
PR Panjang saat Keluar dari Resesi
 
Untuk konsumsi rumah tangga pertumbuhannya didorong kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menjadi 104,42. Penjualan eceran tumbuh sebanyak 11,62 persen pada periode tersebut. Sementara pertumbuhan investasi didukung oleh realisasi belanja modal pemerintah yang tumbuh 45,56 persen serta realisasi investasi di BKPM yang tumbuh 16,21 persen secara yoy.
 
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan mengklaim peningkatan belanja negara melalui berbagai macam bantuan sosial (bansos) menjadi pendorong tumbuhnya konsumsi masyarakat sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi di kuartal II.
 
Hingga akhir Juni 2021, realisasi belanja bantuan sosial (bansos) mencapai Rp75,98 triliun atau sekitar 48,57 persen dari pagunya. Realisasi tersebut dimanfaatkan untuk penyaluran program-program bansos reguler maupun tambahan untuk pemulihan dampak covid-19.
 
Sederet stimulus ini diberikan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 9,9 juta KPM, bantuan pangan melalui kartu sembako kepada 15,93 juta KPM, dan bantuan tunai melalui Program Bantuan Sosial Tunai (BST) kepada 10,46 juta KPM.
 
Pemerintah juga menyalurkan program kartu prakerja sebesar Rp9,9 triliun bagi 2,82 juta peserta, serta pembayaran selisih kurang antara pemakaian riil dengan rekening minimum dan pembebasan biaya beban atau abonemen tagihan listrik sebesar Rp1,19 triliun untuk 1,14 juta pelanggan listrik penerima bantuan.
 
Selain itu, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa kepada keluarga miskin atau tidak mampu di desa yang tidak menerima program bansos. Realisasi BLT Desa mencapai Rp4,99 triliun bagi lima juta KPM di 67.236 desa.
 
 

Berbagai stimulus yang diberikan pemerintah ini belum termasuk belanja pemerintah lainnya yang bisa berdampak positif terhadap perekonomian. Misalnya saja pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan pensiunan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI/Polri, maupun pensiunan.
 
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2021 lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara tetangga atau beberapa negara sekitar. Negara-negara itu seperti India di kuartal II hanya tumbuh 1,6 persen, Vietnam 6,6 persen, Korsel 5,69 persen, dan Jepang justru minus 1,6 persen.
 
Ekonomi RI masih belum pulih
 
Meski banyak pihak bersuka cita karena Indonesia keluar dari resesi, namun bukan berarti ekonomi Indonesia sudah kembali cerah. Semua pihak harus menyadari bahwa perekonomian di Tanah Air masih belum pulih. Peringatan itu pun turut disuarakan Kepala BPS Margo Yuwono beberapa waktu lalu saat mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2021.
 
"Secara teknis kalau keluar dari resesi itu ya, resesi itu kan kalau dua kuartal itu tumbuhnya negatif. Namun catatan saya tadi meski sudah tumbuh positif, sudah ada perbaikan, namun itu belum kembali pada kondisi ekonomi sebelum pandemi covid. Artinya tumbuh tiga persen (secara kuartalan), kalau sebelum covid itu empat persenan," kata Margo.
 
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia juga mengeluarkan nada kehati-hatian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini. Menurutnya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air untuk 2021 belum final. Pasalnya, meski mencatat pertumbuhan 7,07 persen di kuartal II namun masih ada sisa paruh kedua.
 
"Kalau saya analogikan seperti olimpiade, kita ini belum babak final, karena hasil satu tahun pertumbuhan itu nanti Desember. Saya katakan ini belum final. Setiap negara belum punya strategi. Kalau bicara kecepatan harus di atas dua digit, kita belum maksimal. Dan pertumbuhan yang ada sekarang 7,07 persen itu di April, Mei, Juni. Jadi jangan salah persepsi," tuturnya.
 
PR Panjang saat Keluar dari Resesi
 
Sementara itu, Ekonom Bhima Yudhistira memberikan kritik bahwa kualitas tingkat serapan kerja diperkirakan masih rendah sepanjang tahun ini walaupun perekonomian Indonesia berhasil tumbuh positif mencapai 7,07 persen (yoy) pada triwulan II-2021.
 
"Untuk kualitas pertumbuhan di kuartal ke II sebenarnya rendah meski pertumbuhan sampai tujuh persen," ujar Bhima.
 
Baginya, kualitas pertumbuhan, yakni hubungan antara pertumbuhan dengan serapan tenaga kerja lebih penting dibandingkan dengan kualitas tingkat serapan kerja. Dia menyampaikan bahwa berbagai sektor yang bertumbuh justru pada sektor non-tradable atau yang tak menghasilkan barang, seperti jasa keuangan, transportasi, perhotelan, dan perdagangan.
 
Sementara pada sektor tradable yang serapan tenaga kerjanya besar, disebutkan hanya sektor pertanian yang bertumbuh 0,38 persen yoy dan sektor industri sebesar 6,58 persen. "Di kuartal ketiga, tantangan lebih berat lagi untuk sektor produktif, khususnya yang pasarnya dalam negeri," jelas dia.
 
Bahkan, tambahnya, permasalahan angkatan kerja baru akan meningkatkan persaingan kerja karena ada penambahan 2-3 juta orang per tahun. Proyeksi tingkat pengangguran pada Agustus 2021 diperkirakan mencapai angka 7-7,5 persen atau meningkat dua persen sebelum pandemi di Agustus 2019.
 
Sementara itu, Bhima berpendapat cara untuk meredam terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengangguran adalah mendorong apapun yang berorientasi ekspor. Bagi yang terimbas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maka perlu didukung dari berbagai sektor.
 
 

Pertama, pemberian bantuan sosial tunai minimal Rp1 juta-Rp1,5 juta per keluarga penerima dengan jumlah keluarga penerima bantuan ditambah menjadi 15-25 juta. Kedua, bantuan uang sewa untuk pengusaha kecil di pusat perbelanjaan, minimum 30-40 persen dari biaya sewa selama satu bulan hingga Agustus.
 
Ketiga, pemerintah dapat menyediakan subsidi internet gratis satu GB di pukul 08.00 pagi hingga 18.00 sore teruntuk UMKM yang beralih ke jual beli daring. Keempat, pemberian subsidi ongkos kirim bagi produk lokal di pasar daring. Kelima perpanjangan restrukturisasi pinjaman bagi pelaku usaha UMKM yang kesulitan membayar cicilan pokok dan bunga.
 
"Terakhir, Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebaiknya memasukkan pekerja sektor informal yang sebagian tidak memiliki akun BPJS Ketenagakerjaan aktif," tuturnya.
 
Tumbuh paling lambat
 
Sementara itu, kritikan keras keluar dari mulut Ekonom Senior Faisal Basri. Menurutnya Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling lambat. "Kalau kurangi pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2021 dengan 2020, Indonesia tergolong paling lambat,” kata Faisal.
 
Faisal menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebaiknya tidak hanya dibandingkan dengan triwulan sebelumnya atau triwulan pertama. Indonesia harus membandingkan dengan negara lain. "Nomor satu paling tinggi itu Singapura. Lalu, Uni Eropa, Filipina, Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan negara lain yang datanya belum keluar," jelas Faisal.
 
Namun, dirinya tak menampik pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam. Namun, negara dengan julukan The Land of Blue Dragon itu tidak pernah mengalami resesi saat pandemi. Adapun perbandingan dilakukan pada triwulan II-2021 dengan triwulan II-2020 dikarenakan semua negara tengah mengalami kemerosotan ekonomi.
 
PR Panjang saat Keluar dari Resesi
 
Hingga kini, kecepatan perbaikan ekonomi Indonesia hanya mencapai angka sekitar 14 persen. Angka ini disebut masih jauh tertinggal dari negara Asia lain, yaitu Singapura yang telah mampu mencapai angka 27 persen.
 
Di sisi lain, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya berkisar empat persen. Hal itu disebabkan oleh pembatasan aktivitas masyarakat yang kembali dilakukan pemerintah pada Juli lalu untuk mengurangi penyebaran virus covid-19 varian delta.
 
"Mungkin kita sulit mencapai lima persen. Pertumbuhan kita ada pada kisaran sedikit di bawah empat persen atau empat persen lebih sedikit," kata Chatib.
 
Ia mengungkapkan dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi sekarang ini cukup sulit karena terdapat satu variabel yang tidak bisa diprediksi yaitu pandemi. Dia bilang, saat ini pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada pengendalian pandemi.
 
"Karena ada satu variabel yang tidak bisa kita prediksi yaitu pandemi. Jadi ini akan sangat tergantung. Kalau varian mutan terjadi mau tidak mau pemerintah harus mengetatkan mobilitas," tuturnya.
 
Namun jika mengacu pada perbaikan ekonomi di kuartal II-2021, Chatib melanjutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal berikutnya akan membentuk kurva W. Pada kuartal III-2021 pertumbuhan ekonomi akan kembali melambat. Lalu pada kuartal IV akan kembali meningkat.
 
"Jadi polanya W. Semuanya tergantung dari kemampuan kita meng-addres pandemi," ucapnya.
 
Untuk mengendalikan pandemi tersebut, Chatib menegaskan, pembentukan kekebalan kelompok secara nasional harus benar-benar dilakukan sehingga tidak mengganggu jalannya mobilitas ekonomi. "Karenanya saya katakan vaksin itu menjadi sangat penting. Kalau kekebalan kelompok dapat. Kalau kena efeknya tidak akan terlalu mengganggu mobilitas," tutupnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ABD)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan