Alhasil, bank sentral mengeluarkan amunisi utama untuk mendinginkan inflasi yang panas yakni dengan menaikkan suku bunga acuan. Hal itu yang kini terlihat di The Fed yang sudah beberapa kali menaikkan suku bunga. Kondisi tersebut lantaran kebijakan fiskal di negara Paman Sam belum berhasil menjinakkan inflasi yang kini tingginya dalam empat dekade.
Jika ditelisik sedikit ke belakang, Federal Reserve sudah mengumumkan kenaikan suku bunga paling agresif dalam hampir 30 tahun yakni menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75 poin persentase pada Rabu, 15 Juni, karena sedang berjuang melawan lonjakan inflasi. Kenaikan sebesar 0,75 poin persentase datang karena The Fed berada di bawah tekanan kuat untuk mengekang melonjaknya harga gas dan makanan.
Ketua Fed Jerome Powell mengatakan kenaikan itu penting untuk menurunkan inflasi, dan pembuat kebijakan memiliki alat yang dibutuhkan dan tekad yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas harga atas nama keluarga Amerika. Tujuannya jelas yaitu untuk mencapai itu tanpa menggelincirkan ekonomi AS, tetapi mengakui selalu ada risiko karena melangkah terlalu jauh.
Komite Pasar Terbuka Federal yang menetapkan kebijakan Fed menaikkan suku bunga pinjaman acuan ke kisaran 1,5 persen hingga 1,75 persen, naik dari nol pada awal tahun. Itu adalah kenaikan 75 basis poin pertama sejak November 1994. "Langkah itu (menaikkan suku bunga) sangat besar. Namun saya tidak berharap langkah sebesar ini menjadi hal biasa," kata Powell.
Baca: Mulai Longgar, Kewajiban Masuk Mal Pakai PeduliLindungi Bakal Diperketat |
"Dari perspektif hari ini, kenaikan 50 basis poin atau 75 basis poin tampaknya paling mungkin terjadi pada pertemuan kami berikutnya. Sangat penting kita menurunkan inflasi jika kita ingin memiliki kondisi pasar tenaga kerja kuat yang menguntungkan semua orang," tambah Powell.
Sedangkan Presiden AS Joe Biden mendukung upaya The Fed dan berharap untuk sukses karena Partai Demokratnya menghadapi kemungkinan kehilangan kendali Kongres dalam pemilihan paruh waktu utama pada November. Dia menyalahkan oposisi Partai Republik karena memblokir tagihan yang dimaksudkan untuk membantu menurunkan biaya dan mengurangi kendala pasokan.

Presiden European Central Bank Christine Lagarde. FOTO: Éric Piermont/AFP
Sementara itu, Presiden European Central Bank (ECB) Christine Lagarde juga berancang-ancang untuk menaikkan suku bunga, bahkan dengan lebih cepat jika inflasi terus bergerak naik. Zona euro diperkirakan melihat tingkat inflasi utama sebesar 6,8 persen di tahun ini atau jauh di atas target ECB sebesar dua persen. Ini terjadi pada saat para ekonom menilai apakah zona euro akan lolos dari resesi di tahun ini atau tidak.
Kawasan ini telah mengalami tingkat pertumbuhan yang memburuk di tengah krisis energi, sanksi terhadap Rusia, dan kerawanan pangan. "Kami telah secara nyata merevisi turun perkiraan kami untuk pertumbuhan dalam dua tahun ke depan. Tapi kami masih mengharapkan tingkat pertumbuhan positif karena penyangga domestik terhadap hilangnya momentum pertumbuhan," kata Lagarde.
Bank sentral Eropa mengadakan pertemuan darurat awal bulan ini untuk mengumumkan alat baru yang ditujukan guna mengatasi risiko fragmentasi di zona euro. Namun, pelaku pasar dibiarkan bertanya-tanya tentang waktu dan besarnya mekanisme tersebut. Investor khawatir tentang inflasi yang tinggi dan telah melacak dengan cermat apa yang dikatakan dan dilakukan ECB.
Investor juga mewaspadai tingginya tingkat utang di Eropa, khususnya di Italia, dan bagaimana kembalinya ke kebijakan moneter yang lebih ketat dapat menjadi kendala keuangan bagi perekonomian ini. "Jika prospek inflasi tidak membaik, kami akan memiliki informasi yang cukup untuk bergerak lebih cepat. Komitmen ini, bagaimanapun, bergantung pada data," kata Lagarde.
Sementara itu, bank sentral Australia diperkirakan membahas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 25 atau 50 basis poin (bps) pada pertemuan kebijakan Juli, mengecilkan kemungkinan kenaikan yang lebih besar. Langkah itu diyakini bakal ditempuh guna menjaga agar inflasi berada di level yang aman.
Gubernur Reserve Bank of Australia (RBA) Philip Lowe mengatakan harga pasar untuk suku bunga tunai 0,85 persen saat ini untuk mencapai setinggi 4,0 persen pada akhir tahun akan menjadi pengetatan paling agresif dalam catatan. "Ada beberapa spekulasi bahwa RBA dapat menaikkan suku bunga 75 bps pada Juli atau Agustus, mengingat lonjakan inflasi dan kenaikan besar-besaran (suku bunga acuan) baru-baru ini oleh The Fed," tutur Lowe.
Tak hanya itu, bank sentral Swiss dan bank sentral Inggris juga menaikkan suku bunga. Langkah tersebut sebagai efek berantai dari kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve guna meredam inflasi yang kian melonjak dari waktu ke waktu. Adapun inflasi yang memanas tentu menjadi risiko besar karena berdampak panjang terhadap masyarakat.
Mempertahankan suku bunga
Namun bagi Indonesia, situasi dan kondisi itu belum membuat Bank Indonesia (BI) ikut tren suku bunga tinggi sejalan dengan tingkat inflasi yang sampai saat ini terkendali di level yang aman. Posisi terakhir, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen. Keputusan ini diambil berdasarkan asesmen dan proyeksi berbagai indikator ekonomi global dan dalam negeri.Baca: Kartu Prakerja Gelombang 35 Dibuka, Ini Cara Daftarnya |
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Juni 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis, 23 Juni 2022.
Kebijakan mempertahankan suku bunga acuan ini juga diikuti dengan langkah bank sentral untuk mempertahankan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen. Selain itu, suku bunga lending facility tetap dipertahankan sebesar 4,25 persen. Ke depan ketidakpastian ekonomi global masih akan tinggi seiring dengan munculnya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi global.
Hal itu termasuk sebagai akibat dari semakin meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan yang ditempuh oleh berbagai negara. "Untuk itu, Bank Indonesia terus menempuh berbagai langkah penguatan bauran kebijakan," kata dia.
Adapun BI memperkirakan perkembangan harga hingga minggu keempat Juni 2022 mengalami inflasi 0,50 persen. Hal ini berdasarkan Survei Pemantauan Harga yang dilakukan bank sentral pada minggu keempat Juni 2022. Inflasi pada bulan ini disumbang oleh kenaikan harga cabai merah dan cabai rawit merah. Selain itu, inflasi juga datang dari bawang merah, telur ayam, hingga tomat.
"Penyumbang utama inflasi Juni 2022 sampai dengan minggu IV yaitu cabai merah sebesar 0,17 persen (mtm) dan cabai rawit sebesar 0,11 persen (mtm)," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono.
Komoditas bawang merah menyumbang inflasi sebesar 0,08 persen (mtm), telur ayam ras 0,05 persen sebesar (mtm), tomat sebesar 0,04 persen (mtm), air kemasan, nasi dengan lauk, dan angkutan udara masing-masing sebesar 0,02 persen (mtm), kangkung, bayam, sabun detergen bubuk/cair, dan rokok kretek filter masing-masing sebesar 0,01 persen (mtm).
Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode ini yaitu minyak goreng sebesar 0,05 persen (mtm), daging ayam ras sebesar 0,04 persen (mtm), angkutan antar kota sebesar 0,03 persen (mtm), serta daging sapi, bawang putih, udang basah, dan emas perhiasan masing-masing sebesar 0,01 persen (mtm).
"Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait dan terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut," kata dia.
Pemulihan ekonomi berlanjut
Di sisi lain, lembaga pemeringkat Fitch menilai pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut didukung kinerja sektor jasa yang membaik dan ekspor yang kuat. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diprediksi mencapai 5,6 persen. "Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 diperkirakan tumbuh 5,6 persen dan meningkat menjadi 5,8 persen pada 2023," tulis laporan Fitch.Baca: Catat! Vaksin Booster Jadi Syarat untuk Aktivitas Masyarakat hingga Perjalanan |
Pada sisi eksternal, Fitch memperkirakan, transaksi berjalan akan mencatat defisit yang rendah yaitu sebesar 0,4 persen dari PDB pada 2022 dan meningkat menjadi satu persen dari PDB pada 2023. Terkait perkembangan harga, Fitch melihat adanya risiko kenaikan tekanan, meski meyakini inflasi masih akan tetap terjaga dalam kisaran sasaran tiga sampai dengan empat persen.
Dalam jangka menengah, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,8 persen pada 2024, didukung oleh dampak positif dari implementasi UU Cipta Kerja terhadap kenaikan investasi, serta komitmen pembangunan infrastruktur yang terus berlanjut.
Pada sisi fiskal, Fitch melihat komitmen dari pemerintah untuk menurunkan defisit fiskal menjadi di bawah tiga persen pada 2023 akan tercapai. Sedangkan proyeksi defisit fiskal 2022 diperkirakan turun menjadi 4,3 persen dari PDB, dibandingkan dengan defisit fiskal pada 2021 sebesar 4,6 persen dari PDB.
Sementara itu, Fitch kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB (investment grade) dengan outlook stabil, pada 28 Juni 2022. Fitch sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dengan outlook stabil pada 22 November 2021.
Perry Warjiyo menilai afirmasi peringkat Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil menunjukkan kepercayaan internasional terhadap stabilitas serta proyeksi ekonomi Indonesia ke depan. "Pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News