Ilustrasi seorang anak laki-laki memegang perangko Tahun Macan - - Foto: dok Xinhua
Ilustrasi seorang anak laki-laki memegang perangko Tahun Macan - - Foto: dok Xinhua

Ancaman Baru di Tahun Macan Air

Desi Angriani • 12 Februari 2022 17:28
TAHUN Macan Air melambangkan kemakmuran dan kesehatan dalam perhitungan kalender Tiongkok. Namun, tahun yang diharapkan membawa perubahan ke arah positif ini malah terganjal ancaman baru, baik dari sisi ekonomi maupun varian baru covid-19.
 
Negara maju sekelas Amerika Serikat (AS) hingga Uni Eropa mulai dihantam oleh gelombang tinggi inflasi. Sejak akhir tahun lalu, lonjakan inflasi di negara Paman Sam tersebut tak kunjung berhenti.
 
Data badan statistik Amerika Serikat (BLS) mencatat inflasi Oktober meroket ke angka 6,2 persen secara tahunan (year on year) atau mencapai level tertinggi dalam 30 tahun.

Kemudian inflasi November kembali terkerek 0,8 persen ke angka 6,8 persen yoy. Satu bulan kemudian, inflasi AS menembus 7 persen atau tertinggi dalam empat dekade.
 
Dalam pengumuman indeks harga konsumen (IHK) terbaru Kamis, 10 Februari 2022, semua barang konsumsi di AS naik 0,6 persen, sehingga mendorong inflasi tahunan menjadi 7,5 persen.
 
Inflasi rambah Benua Eropa
 
Gelombang tinggi inflasi tersebut merembet ke benua Eropa. Pada bulan yang sama tahun lalu, harga barang konsumen di 19 negara dengan mata uang euro ini melonjak ke level tertinggi dalam 13 tahun terakhir.
 
Rata-rata inflasi di Uni Eropa melaju ke angka lima persen pada Desember 2021 setelah sebelumnya berada di level 4,9 persen. Kenaikan ini mencapai rekor tertinggi sejak 1997 silam. Pada Januari 2022, inflasi di kawasan ini naik ke angka 5,1 persen.
 
Di antara negara-negara besar, kenaikan tertinggi terjadi di Spanyol sebesar 6,7 persen dan Jerman sebesar 5,7 persen. Sebaliknya, harga tetap lebih moderat di Italia dan Prancis.
 
Sementara itu, inflasi melonjak tinggi di negara-negara Baltik dengan tingkat tertinggi dipegang Estonia sebesar 12 persen dan Lithuania dengan 10,7 persen.
 
Bahkan, negara trans benua Turki ikut terseret ke dalam tsunami inflasi, dengan harga konsumen melonjak lebih dari 110 persen pada Januari 2022. Tingkat inflasi di negara itu tercatat 48,7 persen atau naik dari Desember tahun lalu yang berada di level 36,1 persen.
 
Harga energi jadi biang kerok
 
Jika ditelisik, lonjakan inflasi di AS maupun Eropa bermula dari kenaikan harga energi yang melanda dunia pada Oktober 2021 lalu. Hal ini disebabkan oleh terganggunya rantai pasok imbas ketidakpastian pandemi covid-19.
 
Saat itu, harga gas alam menyentuh USD6 per million british thermal unit (mmbtu). Begitu pula, harga minyak mentah jenis Brent menembus USD82,75 per barel untuk kontrak pengiriman Maret 2022 dan minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) naik ke USD80,23 per barel untuk kontrak pengiriman Februari 2022.
 
Mahalnya sumber utama energi global ini membuat pabrik-pabrik di Inggris dan Eropa terpaksa tutup dan menunda investasi baru mereka lantaran kehabisan bahan bakar. Padahal, di saat bersamaan kebutuhan barang-barang seperti komputer, laptop, mobil, alat olahraga hingga perumahan mulai meningkat seiring dengan pulihnya ekonomi dunia.
 
Wajar saja harga barang konsumen menjadi selangit karena permintaan tinggi tapi suplai terbatas ditambah dengan penundaan produksi. Situasi rumit yang bertahan lama ini menyebabkan angka inflasi betah di atas ambang batasnya.
 
"Pemulihan ekonomi dunia ini masih berlanjut meski ada tantangan delta varian dan ada risiko global supply disruption," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers KSSK.
 
 


Gejolak kurs, harga emas, hingga bursa saham

Investor enggan menyimpan aset mereka dalam bentuk uang karena mudah kehilangan nilainya saat inflasi tinggi. Sementara harga emas cenderung stabil dan lebih aman sehingga pasar pun berburu logam mulia.
 
Adapun harga emas berjangka menyentuh level tertinggi pada Jumat, 11 Februari 2022, seiring dengan meroketnya angka inflasi AS dalam 40 tahun. Kontrak emas paling aktif untuk pengiriman April di divisi Comex New York Exchange, terdongkrak 80 sen atau kurang dari 0,1 persen menjadi USD1.837,40 per ons.
 
3 alasan emas dipilih saat terjadi gejolak:
  1. Nilai emas tetap terjaga meski terjadi inflasi atau deflasi.
  2. Nilai emas tetap terjaga meski terjadi krisis ekonomi atau perang.
  3. Permintaan akan emas tidak berkurang seiring dengan ketersediaan emas yang terbatas.

Ancaman Baru di Tahun Macan Air
Ilustrasi emas perhiasan 24 karat - - Foto: dok Xinhua
 
Mengutip laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), stok emas dunia cukup terbatas karena dipasok dari hasil pertambangan maupun daur ulang emas. Thomson Reuters GFMS mencatat ketersediaan emas dunia mencapai 171.300 ton. Sementara versi pendiri Gold Money James Turk, jumlahnya hanya 155.244 ton.
 
Adapun hubungan dolar AS dan emas cenderung negatif. Misalnya, saat kurs USD melonjak,  harga emas biasanya tergerus. Sebaliknya penurunan dolar justru mengerek harga emas. Pada Kamis, 10 Februari 2022, mata uang dolar Amerika Serikat (USD) berfluktuasi lantaran inflasi AS mendorong pengetatan moneter The Fed sedangkan harga emas dunia terus menguat.
 
Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya tercatat menyusut 0,056 persen, dengan euro naik 0,1 persen menjadi USD1,1425. Enam mata uang atau greenback tersebut yakni euro (EUR), yen Jepang (JPY), poundsterling (GBP), dolar Kanada (CAD), krona Swedia (SEK), dan franc Swiss (CHF).
 
Sementara itu, emas dunia tak hanya diperjualbelikan dalam bentuk fisik. Dengan kata lain, ditradingkan di pasar komoditas berjangka dan diperdagangkan dengan harga spot dalam pair XAU/USD. Karena itulah, harga emas dunia maupun dolar bergerak dinamis setiap harinya lantaran investor bisa dengan cepat mengubah posisi mereka untuk membeli emas maupun menjualnya.
 
Di sisi lain, harga emas juga sangat tergantung terhadap kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Kebijakan moneter yang dimaksud adalah kebijakan menaikkan atau menurunkan suku bunga.
 
Kalau The Fed menurunkan suku bunga, harga emas berpotensi naik. Sebab, dolar menjadi tidak menarik sebagai pilihan investasi dan orang-orang cenderung menempatkan uangnya dalam bentuk emas. Begitupun sebaliknya, saat The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga harga emas ikut turun.
 
Lantas bagaimana hubungan inflasi ke harga saham? 
 
Harga emas dunia cenderung negatif terhadap harga saham karena saat inflasi tinggi, investor mengalihkan investasinya ke aset safe haven.  Harga emas umumnya berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian atau bersifat counter-cyclical. 
 
Artinya, saat pasar dan perekonomian bullish (naik), harga emas cenderung stabil. Namun, emas akan dicari ketika terjadi gejolak global. Ini berkebalikan dengan harga saham yang bergerak sesuai dengan kondisi perekonomian dan pasar, yakni naik ketika bullish dan turun ketika bearish.
 
Selama kondisi geopolitik dan inflasi masih tinggi, bursa saham Asia termasuk bursa saham AS (Wall Street) akan terseret aksi jual besar-besaran. Mengutip Xinhua, Sabtu, 12 Februari 2022, indeks Dow Jones Industrial Average turun 503,53 poin atau 1,43 persen menjadi 34.738,06. Sedangkan indeks S&P 500 melemah sebanyak 85,44 poin atau 1,90 persen menjadi 4.418,64. Indeks Komposit Nasdaq turun 394,49 poin atau 2,78 persen menjadi 13.791,15.
 
 
 

Bank sentral dan normalisasi kebijakan negara maju

Situasi inflasi yang mencekam membuat banyak bank sentral dunia gelisah. Ini dikarenakan tugas utamanya adalah menjaga peredaran uang tunai sekaligus mengendalikan inflasi. 
 
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai semestinya bank sentral melakukan pengetatan kebijakan moneter dengan meningkatkan suku bunga serta mengurangi paket stimulus darurat demi mengerem laju inflasi.
 
Adapun bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) menjadi bank sentral besar pertama yang sudah dua kali mengumumkan kenaikan bunga acuannya. BoE menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Februari dari sebelumnya 0,25 persen menjadi 0,5 persen.
 
Sementara itu, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) lebih berhati-hati terhadap perubahan kebijakan moneternya. ECB meyakini inflasi di zona Euro akan turun dan stabil di sekitar 2,0 persen.
 
"Tidak perlu pengetatan kebijakan moneter besar-besaran di zona euro karena inflasi akan menurun dan bisa stabil sebesar 2,0 persen," ujar Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde pada sidang Parlemen Eropa, Senin 8 Februari 2022.
 
Untuk bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) baru akan menaikkan suku bunga di Maret nanti atau sebanyak tiga kali pada 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan rencana tersebut akan menimbulkan komplikasi pada arus investasi serta modal di pasar keuangan dunia karena diikuti oleh normalisasi kebijakan lantaran menekan pembelian obligasi dan surat berharga.
 
"Ini akan menimbulkan respons kenaikan suku bunga, makanya muncul tapering. Kita bicara tentang inflasi dunia yang responsnya adalah tapering, yaitu likuiditas global akan diperketat, interest rate akan naik. Ini akan mulai terjadi di Maret nanti," ungkap Sri Mulyani dalam acara BRI Microfinance Outlook.
 
Ancaman Baru di Tahun Macan Air
Ilustrasi logo Federal Reserve/The Fed - - Foto: dok AFP
 
Dengan begitu, kondisi keuangan global tentu semakin ketat dan berdampak pada pemulihan ekonomi di negara-negara berkembang. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pun siap melakukan penyesuaian kebijakan moneter demi merespons normalisasi kebijakan negara maju tersebut.
 
Ketika imbal hasil obligasi AS atau US Treasury Yield naik, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) akan turut menyesuaikan demi menarik minat investor. Di sisi lain, bank sentral tetap menjaga suku bunga acuannya (BI 7 Day Reverse Repo Rate) tetap rendah selagi inflasi masih terkendali.
 
Suku bunga acuan BI masih ditahan di level 3,50 persen untuk periode Februari 2022. Termasuk suku bunga deposit facility di level 2,75 persen dan suku bunga lending facility pada level 4,25 persen.
 
BI juga akan mengurangi likuiditas secara bertahap, dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Peningkatan pertama sebesar 150 bp untuk bank umum konvensional dan 50 bp untuk bank syariah mulai 1 Maret 2022. Sedangkan kenaikan berikutnya akan berlangsung pada 1 Juni dan 1 September 2022.
 
"Kami pastikan kenaikan GW tidak mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit maupun pembelian SBN. Alat likuid sangat melimpah karena quantitative easing selama dua tahun kemarin sudah sangat besar. Likuiditas kami kurangi sedikit demi sedikit tanpa mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi maupun pembelian SBN yang dibutuhkan untuk pembiayaan APBN," kata Perry dalam MGN Summit 2022.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan