Bank sentral dan normalisasi kebijakan negara maju
Situasi inflasi yang mencekam membuat banyak bank sentral dunia gelisah. Ini dikarenakan tugas utamanya adalah menjaga peredaran uang tunai sekaligus mengendalikan inflasi.Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai semestinya bank sentral melakukan pengetatan kebijakan moneter dengan meningkatkan suku bunga serta mengurangi paket stimulus darurat demi mengerem laju inflasi.
Adapun bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) menjadi bank sentral besar pertama yang sudah dua kali mengumumkan kenaikan bunga acuannya. BoE menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Februari dari sebelumnya 0,25 persen menjadi 0,5 persen.
Sementara itu, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) lebih berhati-hati terhadap perubahan kebijakan moneternya. ECB meyakini inflasi di zona Euro akan turun dan stabil di sekitar 2,0 persen.
"Tidak perlu pengetatan kebijakan moneter besar-besaran di zona euro karena inflasi akan menurun dan bisa stabil sebesar 2,0 persen," ujar Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde pada sidang Parlemen Eropa, Senin 8 Februari 2022.
Untuk bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) baru akan menaikkan suku bunga di Maret nanti atau sebanyak tiga kali pada 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan rencana tersebut akan menimbulkan komplikasi pada arus investasi serta modal di pasar keuangan dunia karena diikuti oleh normalisasi kebijakan lantaran menekan pembelian obligasi dan surat berharga.
"Ini akan menimbulkan respons kenaikan suku bunga, makanya muncul tapering. Kita bicara tentang inflasi dunia yang responsnya adalah tapering, yaitu likuiditas global akan diperketat, interest rate akan naik. Ini akan mulai terjadi di Maret nanti," ungkap Sri Mulyani dalam acara BRI Microfinance Outlook.
.jpg)
Ilustrasi logo Federal Reserve/The Fed - - Foto: dok AFP
Dengan begitu, kondisi keuangan global tentu semakin ketat dan berdampak pada pemulihan ekonomi di negara-negara berkembang. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pun siap melakukan penyesuaian kebijakan moneter demi merespons normalisasi kebijakan negara maju tersebut.
Ketika imbal hasil obligasi AS atau US Treasury Yield naik, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) akan turut menyesuaikan demi menarik minat investor. Di sisi lain, bank sentral tetap menjaga suku bunga acuannya (BI 7 Day Reverse Repo Rate) tetap rendah selagi inflasi masih terkendali.
Suku bunga acuan BI masih ditahan di level 3,50 persen untuk periode Februari 2022. Termasuk suku bunga deposit facility di level 2,75 persen dan suku bunga lending facility pada level 4,25 persen.
BI juga akan mengurangi likuiditas secara bertahap, dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Peningkatan pertama sebesar 150 bp untuk bank umum konvensional dan 50 bp untuk bank syariah mulai 1 Maret 2022. Sedangkan kenaikan berikutnya akan berlangsung pada 1 Juni dan 1 September 2022.
"Kami pastikan kenaikan GW tidak mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit maupun pembelian SBN. Alat likuid sangat melimpah karena quantitative easing selama dua tahun kemarin sudah sangat besar. Likuiditas kami kurangi sedikit demi sedikit tanpa mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi maupun pembelian SBN yang dibutuhkan untuk pembiayaan APBN," kata Perry dalam MGN Summit 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News