Ilustrasi komoditas batu bara atau yang kerap dijuluki si emas hitam - - Foto: dok AFP
Ilustrasi komoditas batu bara atau yang kerap dijuluki si emas hitam - - Foto: dok AFP

Kiamat Energi dan Pesona Si Emas Hitam

Desi Angriani • 15 Januari 2022 16:30
BELAKANGAN, pesona logam mulia kalah pamor dengan si emas hitam. Salah satu energi fosil yang terbentuk ratusan juta tahun lalu tersebut kembali diincar oleh banyak negara. Hal ini seiring dengan krisis energi yang melanda dunia imbas meroketnya harga minyak dan gas alam.
 
Pada Oktober 2021 lalu, harga gas alam menyentuh USD6 per million british thermal unit (mmbtu). Begitu pula, harga minyak mentah jenis Brent menembus USD82,75 per barel untuk kontrak pengiriman Maret 2022 dan minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) naik ke USD80,23 per barel untuk kontrak pengiriman Februari 2022. Bahkan, kenaikan harga ini tertinggi dalam tujuh tahun.
 
Waladalah, pabrik-pabrik utilitas listrik dan gas di benua Eropa pun terpaksa tutup lantaran kehabisan pasokan gas alam yang selama ini menjadi penggerak utama energi mereka. Selain itu, terjadi antrean panjang di SPBU Inggris hingga warga Eropa harus mengalami lonjakan tarif listrik tertinggi di tengah musim dingin.

Krisis ini juga menghantam Tiongkok dan India sehingga mereka turut mengurangi aktivitas industrinya. Selain akibat hujan berkepanjangan yang membuat tambang batu bara di negara tersebut kebanjiran, Tiongkok juga dihadapkan pada kontrol yang ketat akan eksplorasi dan eksploitasi industri pertambangan.
 
Belum lagi hubungan dagang yang semakin memburuk antara Tiongkok dan Australia membuat Kanada dan Amerika Serikat (AS) mengalihkan pasokannya ke negara tirai bambu itu. Inilah yang menjadi salah satu penyebab negara Eropa semakin putus asa dalam menghadapi krisis energi.
 
Batu bara pun kembali menjadi pertimbangan lantaran proses ekstraksi komoditas ini relatif mudah dan murah dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Melonjaknya permintaan membuat harga si emas hitam melambung hingga 450 persen dalam satu tahun atau sempat menembus angka USD270 per ton pada awal Oktober 2021.
 
Kenaikan ini sudah pasti menguntungkan negara mengekspor, termasuk Indonesia yang memiliki rata-rata produksi batu bara sebesar 563,73 juta ton per tahun. Terlebih sebagian besar atau 71,8 persen volume batu bara nasional di jual ke negara lain.
 
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batu bara Indonesia kini mencapai USD29,6 miliar atau sekitar Rp420,32 triliun sepanjang Januari-November 2021.
 
Nilai fantastis ini memang menyumbang rekor tertinggi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hingga 10 Desember 2021, setoran sektor minerba ke negara telah mencapai Rp70,05 triliun atau sebesar 179 persen dari target 2021 yang sebesar Rp39,1 triliun.
 
"Ini merupakan pencapaian tertinggi dari realisasi PNBP selama ini," kata Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM Muhammad Wafid dalam sebuah webinar pada Selasa, 21 Desember 2021.

Was-was ekspor batu bara


Krisis energi bisa merembet ke Tanah Air meski Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar komoditas batu bara. Kekhawatiran tersebut mulai tercium oleh pemerintah sejak Agustus hingga Desember tahun lalu.
 
Saat itu, tim Kementerian ESDM melakukan pengecekan ke seluruh unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN (Persero). Rupanya, pasokan batu bara untuk menghidupkan 20 PLTU dengan daya 10.850 megawatt (MW) mulai menipis.
 
Hal ini akan berimbas pada pemadaman listrik di hampir separuh wilayah Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Setelah diusut, 428 perusahaan yang berkegiatan pada penambangan batu bara sama sekali tidak memenuhi pasokan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO).
 
Padahal DMO mewajibkan pengusaha untuk memasok batu bara ke PLN sebesar 25 persen dari total produksi per tahun dengan harga USD70 per metrik ton. Namun, pengusaha batu bara hanya memasok sebesar 350 ribu metrik ton atau sekitar 0,06 persen dari total kebutuhan PLN hingga Desember 2021.
 
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan produksi rerata batu bara per tahun sebanyak 600 juta ton, seperempat di antaranya untuk pemakaian domestik. Angka ini seharusnya didapat jika supplier patuh terhadap ketentuan penjualan batu bara dalam negeri. Karena itu, pemerintah mengambil inisiatif membekukan 490 produsen batu bara dari total 619 produsen batu bara di Indonesia karena mereka tidak memenuhi DMO.
 
 

Menanggapi hal ini, Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) lebih memilih membayar kompensasi ketimbang memenuhi kewajiban penjualan batu bara dalam negeri lantaran tarif DMO batu bara yang dipatok PLN lebih murah dari harga pasaran. Harga DMO untuk pembangkit listrik senilai USD70 per metrik ton, sementara harga pasaran dikisaran USD200 per metrik ton.
 
"Sebenarnya bukan memilih untuk membayar denda, tapi memang dari sisi pemasok (batu bara) melihat adanya disparitas harga yang tinggi," kata Ketua Umum Aspebindo Anggawira dikutip dari Media Indonesia.
 
Hal ini lah yang memicu pemerintah menutup sementara keran ekspor batu bara sejak 1 Januari 2022. Sayangnya, larangan tersebut malah menimbulkan kontroversi dari luar negeri. Setidaknya ada tiga negara yang melakukan protes secara terbuka terhadap kebijakan tersebut yakni Korea, Jepang, dan Filipina.
 
Pada Jumat, 7 Januari 2022, Menteri Perdagangan Korea Selatan Yeo Han-koo diketahui mengadakan pertemuan darurat secara virtual dengan Menteri Perdagangan Indonesia Muhammad Lutfi. Negara Ginseng tersebut panik dan mendesak Indonesia untuk  mengirimkan batu bara karena selama ini berada masuk dalam jajaran sepuluh besar negara pengimpor.
 
Sebelum itu, Jepang juga telah menyatakan keberatan melalui Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji. Ia menyurati Menteri ESDM Arifin Tasrif agar segera mencabut larangan ekspor batu bara, termasuk ke negaranya.
 
Menurut Kenji, keputusan Indonesia yang secara tiba-tiba akan berdampak ke industri manufaktur di negara Sakura itu. Jepang tercatat mengimpor dua juta ton batu bara per bulannya dari Indonesia dan kebutuhan listrik pun semakin meningkat di saat musim dingin.
 
Berikutnya, Filipina juga menyatakan keberatan lantaran perekonomian di negara itu sangat bergantung pada komoditas batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Hampir 70 persen dari 42,5 juta ton pasokan batu bara Filipina berasal dari impor. Pada 2021 negara tersebut memasok 2,3 juta ton per bulan dari Indonesia.
 
Kiamat Energi dan Pesona Si Emas Hitam
Grafik 10 besar negara tujuan ekspor batu bara Indonesia - - Foto: sumber Kementerian ESDM

Akibat protes tersebut, Indonesia pun melunak dan kembali membuka keran ekspor secara bertahap. Sebanyak 37 kapal pengangkut batu bara sudah berlayar ke negara tujuan ekspor mulai 12 Januari lalu terkecuali kapal tongkang.

Perusahaan pertambangan yang dicabut larangan ekspor ini salah satunya berasal dari PT Kideco Jaya Agung (Kideco), anak perusahaan PT Indika Energy Tbk (INDY) yang dipimpin Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid. Kapal MV. CMB Van Dijk milik Kideco diketahui telah memasok batu bara dalam negeri (DMO) di atas 100 persen atau tepatnya 159 persen, sehingga diizinkan ekspor kembali.  
 
Kapal lainnya yang diizinkan berlayar ekspor berasal dari PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Perusahaan ini milik Garibaldi Tohir atau kerap disapa Boy Thohir, kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir. Ada tujuh kapal ADRO yang tercatat telah memenuhi pasokan DMO, yakni di angka 101 persen.

3 syarat perusahaan dibolehkan ekspor:

  1. Telah memenuhi kontrak penjualan kepada PLN dan kewajiban DMO 100 persen di 2021.
  2. Telah memiliki kontrak dengan PLN tapi belum memenuhi kewajiban DMO 2021 sehingga harus membayar denda sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 Tahun 2021.
  3. Perusahaan batu bara yang spesifikasi batu baranya tidak sesuai kebutuhan PLN atau tidak memiliki kontrak dengan PLN pada 2021 juga dikenakan denda.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengaku kapal-kapal itu diperbolehkan berangkat lantaran pasokan batu bara PLN berada dalam angka minimal 15 HOP (Hari Operasi) atau untuk PLTU berjarak jauh dari angka kritis yakni 20 HOP.
 
Kekurangan pasokan sebesar 2,1 juta MT untuk PLTU tersebut dipenuhi dari kontrak reguler maupun penugasan khusus dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
 
"Mengingat stok dalam negeri yang sudah dalam kondisi aman berdasarkan laporan dari PLN maka untuk 37 kapal yang sudah melakukan loading per 12 Januari dan sudah dibayarkan oleh pihak pembelinya akan dilepas untuk melakukan ekspor," kata Luhut, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 13 Januari 2022.

Perlukah BLU batu bara?


Wacana pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk DMO batu bara juga menimbulkan pro dan kontra. Sebagian kalangan menilai kebijakan ini kurang tepat dalam mengatasi krisis energi primer jangka panjang. Kelangkaan batu bara sebagai pasokan listrik dalam negeri lebih bijak bila diatasi dengan menaikkan cadangan sumber daya dibandingkan membentuk BLU.
 
Jika menggunakan skema BLU, PLN akan membeli batu bara dengan mekanisme pasar. Namun margin biaya produksi dan harga pasar akan ditarik untuk menutup kompensasi dan subsidi.

Berikut skema BLU batu bara yang ditawarkan:

  1. Nilai harga kontrak akan disesuaikan per tiga atau enam bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku.
  2. PLN membeli batu bara sesuai harga pasar saat ini USD62 per ton untuk kalori 4.700. PLN akan menerima subsidi dari BLU untuk menutup selisih antara harga pasar dengan harga berdasarkan acuan USD70 per ton.
  3. Selisih antara harga yang diberikan PLN dan harga market batu bara akan diberikan oleh BLU melalui iuran yang diterima dari perusahan batu bara. 
  4. Besaran iuran akan disesuaikan secara periodik berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli PLN dan USD70 per ton.
Sayangnya, kendala pungutan tersebut tersandung logika hukum karena akan mencederai konstitusi dan UU Minerba. Sebab, keberadaan BLU batu bara serupa dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang melakukan pungutan atas ekspor berdasarkan pada harga komoditasnya.
 
 

Atas dasar itu, Komisi VII DPR RI menolak rencana pembentukan BLU baru ini. Menurut legislatif, ketentuan DMO sudah cukup jelas dalam pemenuhan stok nasional, karena di dalamnya telah mengatur ketentuan soal harga. Dengan kata lain, pemerintah cukup menambah alokasi setoran DMO dari 25 persen menjadi 30 persen.
 
"Ini perlu kajian mendalam, karakter berbeda jika ini sudah jadi sikap, kalau saya cenderung (aturan) DMO saja jelas tercantum di Undang-undang Minerba," kata Ketua Komisi VII DPR-RI Sugeng Suparwoto dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian ESDM, Kamis, 13 Januari 2022.
 
Kiamat Energi dan Pesona Si Emas Hitam
Ilustrasi pohon perundangan minerba di Indonesia - - Foto: sumber Kementerian ESDM
 
Kementerian ESDM pun lantas merevisi aturan DMO batu bara dengan menghapus beberapa ketentuan demi menjamin pasokan dan menjaga kepatuhan alokasi dari pengusaha tambang.

Ketentuan DMO 2018-2019:

  1. Harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik ditetapkan pemerintah sebesar USD70 per ton.
  2. Kewajiban DMO dikenakan terhadap semua perusahaan.
  3. Persentase minimal kewajiban DMO sebesar 25 persen dari produksi.
  4. Sanksi pengurangan produksi (4x realisasi DMO) bagi yang tidak memenuhi DMO.
  5. Transfer kuota bagi yang tidak bisa memenuhi DMO.
  6. Reward peningkatan produksi bagi yang bisa memenuhi DMO.

Aturan DMO terbaru 2020-2021:

  1. Harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik ditetapkan pemerintah sebesar USD70 per ton.
  2. Kewajiban DMO dikenakan terhadap semua perusahaan.
  3. Persentase minimal kewajiban DMO sebesar 25 persen dari produksi
  4. Perusahaan yang tidak dapat memenuhi, dikenakan kewajiban pembayaran kompensasi DMO dan sanksi tambahan berupa pengurangan produksi sampai dengan pencabutan izin bagi yang melanggar kontrak pasokan dalam negeri.
  5. Transfer kuota bagi yang tidak bisa memenuhi DMO tidak diberlakukan lagi pada 2020-2021
  6. ?Badan usaha yang telah memenuhi DMO dapat menyesuaikan kapasitas produksi sesuai kemampuannya.
Selain memperbaharui aturan DMO, pemerintah mengarahkan PLN untuk mendapat kontrak baru jangka panjang agar perusahaan setrum tersebut menerima kepastian suplai batu bara demi kebutuhan pembangkit listriknya. Bak gayung bersambut, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo pun segera merombak kontrak jual beli batu bara kepada produsen dengan jangka waktu lima tahun.
 
Pembelian batu bara kini akan langsung dipasok dari penambang, bukan lagi melalui penjual. Skema pembelian juga didorong menjadi Cost, Insurance and Freight (CIF) atau membeli batu bara dengan harga sampai di tempat tujuan.
 
"Mengingat operasional PLTU itu bersifat jangka panjang, maka PLN juga perlu mengamankan ketersediaan batu bara dalam jangka panjang," kata Darmawan dalam keterangan resmi.

Sulitnya implementasi energi terbarukan


Mengutip pendapat Direktur Operasi PT ThorCon Power Indonesia Bob S Effendi, Indonesia dapat belajar dari krisis energi dunia agar proyek energi terbarukan tidak terbentur berbagai variabel di masa mendatang.
 
Adapun pelajaran dari krisis energi global yakni ekonomi tidak dapat mengandalkan energi yang bergantung kepada cuaca. Di sisi lain, komponen harga bahan bakar tidak boleh menjadi faktor dominan dalam biaya pokok produksi listrik, smart grid, dan battery storage tidak dapat menjadi solusi intermittency. Kemudian phasing-out energi fosil harus digantikan dengan energi bersih yang memiliki kemampuan, keandalan, dan keekonomian yang setara dengan energi fosil.
 
Ia mencontohkan salah satu negara Eropa yang tidak terlalu terpengaruh dengan krisis energi bahkan masih menjadi net exporter energi kedua terbesar setelah Norwegia, yaitu Prancis. Negara tersebut mengandalkan lebih dari 75 persen bauran energi yang berasal dari nuklir.
 
"Hal ini membuktikan keandalan, nuklir, serta tidak berpengaruh terhadap efek volatilitas bahan bakar," kata Bob dikutip dari Mediaindonesia.com.
 
Di sisi lain, energi nuklir sebaiknya tidak ditempatkan sebagai opsi terakhir dalam pengembangan energi seperti yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Pasalnya, Indonesia masih memiliki potensi energi terbarukan sebesar 418 gigawatt (GW) yang dapat dikembangkan melalui berbagai jenis pembangkit ramah lingkungan.
 
Antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
 
Kiamat Energi dan Pesona Si Emas Hitam
Ilustrasi bauran energi primer di Indonesia masih didominasi oleh komoditas batu bara - - Foto: sumber Kementerian ESDM
 
Menurut perwakilan Koalisi Rakyat Peduli Energi Terbarukan Gita Anindarini, rencana pembangkit nuklir di dalam negeri akan sangat menguras kas negara lantaran pemerintah diwajibkan untuk membangun tempat penyimpanan limbah lestari. Tempat pengelolaan limbah ini bisa memakan biaya USD7,5 miliar denan waktu 40 tahun.
 
"Misalnya, pembangunan tempat penyimpanan limbah radioaktif tingkat tinggi, di Finlandia menelan USD3,4 miliar," ujarnya dalam keterangan tertulis pada Rabu, 6 Oktober 2021.
 
Di dalam pengesahan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT, Pasal 6 menyebutkan sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) menyatakan Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir.
 
Pasal 7 ayat (2) RUU EBT mengatur bahwa pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir.
 
RUU EBT juga memuat pemanfaatan energi berbahan dasar fosil, yaitu batu bara. Ninda bilang gasifikasi batu bara berpotensi menghasilkan emisi dua kali lebih besar dari pembangkit gas alam gasifikasi yang membutuhkan 1.75 ton batu bara.
 
"Koalisi melihat gasifikasi batubara bisa merugikan negara hingga USD377 juta per tahun," ungkap dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(Des)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan