Ilustrasi. Foto: dok MI.
Ilustrasi. Foto: dok MI.

Menuju Transisi Energi, Ongkos Megatriliun Menanti

M Ilham Ramadhan • 02 Agustus 2022 12:29
INDONESIA memastikan komitmen untuk melakukan transisi energi dari fosil ke hijau. Kendati kondisi dunia tak menentu dan bisa menghambat upaya tersebut, keseriusan pemanfaatan energi baru terbarukan merupakan keniscayaan.
 
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan, komitmen Indonesia itu kemudian disampaikan dalam forum G20. Diharapkan, dunia dapat mengikuti langkah Indonesia demi mewujudkan pencapaian energi bersih untuk generasi mendatang.
 
Apalagi negara-negara anggota G20 telah menyatakan komitmen masing-masing untuk beralih dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan. Komitmen tersebut menurutnya harus diimplementasikan agar pencapaian nol emisi karbon dapat terwujud.

Dalam G20 Webinar Series bertajuk Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance, Rabu, 27 Juli 2022, Arifin menyampaikan sejumlah langkah yang telah ditempuh Indonesia dalam peralihan pemanfaatan energi.
 
Peralihan itu dilakukan melalui peta jalan transisi energi demi merengkuh nol emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional. Melalui peta jalan itu, pemerintah menargetkan untuk membangun 600 gigawatt (Gw) pembangkit listrik dari sumber energi baru terbarukan dalam berbagai bauran energi, seperti air, panas bumi (geotermal), dan hidrogen.
 
Dalam jangka pendek, akselerasi energi terbarukan dilakukan dengan menerapkan dekarbonisasi melalui konversi solar menjadi energi bersih yang bermanfaat untuk diterapkan pada pembangkit listrik tenaga diesel di daerah terpencil.
 
"Kami melakukan implementasi pilot project untuk mengurangi karbon. Kami mulai mengubah kendaraan berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik, penggunaan peralatan listrik rumah tangga, serta implementasi perbaikan dan peremajaan awal pembangkit listrik," terang Arifin.
 
Baca juga: Ini 2 Tantangan Transisi Energi di Indonesia

Dari peta jalan Perusahaan Listrik Negara (PLN) selama 2021-2030, perseroan menargetkan penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 51,6 persen atau setara dengan 21 Gw.
 
Indonesia, kata Arifin, juga berencana membangun Nusantara Supergrid untuk menggenjot pengembangan energi terbarukan demi menjaga stabilitas dan keamanan sistem kelistrikan.
 
Indonesia juga turut meningkatkan pemanfaatan teknologi, antara lain dengan pumped storage, smart grid, digitalisasi, hidrogen hijau, serta penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage).
 
Guna mendukung peta jalan itu, pemerintah akan menggunakan sumber mineral seperti nikel, kapur, bauksit, dan mangan untuk memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai serta sebagai penyimpan pembangkit listrik energi terbarukan.
 
Namun, biaya untuk mengimplementasikan komitmen dan peta jalan peralihan energi diakui tidak murah. Indonesia, kata Arifin, membutuhkan investasi sekitar USD1 triliun atau setara Rp14,2 ribu triliun hingga 2060.
 
"Karena itu, Indonesia terus memperkuat kerja sama dengan mitra negara dan lembaga keuangan internasional untuk menemukan mekanisme pendanaan yang inovatif guna memenuhi kebutuhan investasi mendukung transisi energi," terang Arifin.
 
 
 

Butuh biaya besar

Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan peralihan energi mutlak dilakukan oleh Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
 
Dalam periode 2010-2018, tren emisi gas rumah kaca nasional Indonesia meningkat 4,3 persen setiap tahunnya. Sejak 1981 hingga 2018, Indonesia mengalami kenaikan suhu 0,03 persen setiap tahunnya dan berakibat pada naiknya permukaan air laut sebesar 0,8 cm-1,2 cm per tahun. Hal itu berimplikasi sangat serius bagi penduduk karena 65 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir.
 
"Jika semua tren ini berlanjut, Indonesia pasti akan kehilangan PDB ekonomi akibat perubahan iklim yang mencapai 0,6 persen hingga 3,45 persen dari PDB pada 2030 karena perubahan iklim. Jadi, perubahan iklim merupakan ancaman yang sangat serius dan nyata bagi rakyat dan juga ekonomi kita," kata Sri Mulyani.
 
Karena itu, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, atau 41 persen pengurangan emisi gas rumah kaca pada 2030 dengan bantuan internasional.
 
Senada dengan Arifin, Menkeu mengungkapkan pelaksanaan komitmen itu berbiaya tinggi dan fiskal negara tak mampu menanggungnya sendiri.
 
Untuk melaksanakan komitmen tersebut, Indonesia membutuhkan pembiayaan dan teknologi demi mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) sekitar USD247 miliar sampai dengan USD263 miliar atau sekitar Rp3.460 triliun-Rp3.779 triliun. APBN, kata Sri Mulyani, hanya bisa mengantarkan kebutuhan pendanaan sekitar 34 persen dari total kebutuhan tersebut.
 
"Jadi itu adalah penyebab kenapa kita membutuhkan uang yang sangat besar untuk memenuhi kontribusi yang ditentukan secara nasional," jelasnya.
 
Untuk mendapatkan dukungan pendanaan, pemerintah telah merilis Energy Trasition Mechanism (ETM) sebagai wadah anyar untuk menghimpun dukungan pendanaan. Melalui ETM, Indonesia dapat memobilisasi sumber pendanaan komersial maupun nonkomersial secara berkelanjutan.
 
ETM menyambut semua peserta, baik berupa investor lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, ADB, serta lembaga investasi regional dan pembangunan multilateral lainnya.
 
"Hal ini agar kami memastikan sektor swasta, khususnya lembaga keuangan, dapat memberikan komitmen yang kredibel untuk pembiayaan perubahan iklim," jelas Sri Mulyani.
 
 
 

Pacu pembiayaan kreatif

Sedianya pendanaan kreatif untuk mendukung peralihan energi telah dilakukan oleh pemerintah. Penerbitan obligasi hijau (green bond) maupun green sukuk menjadi salah satu upaya untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
 
Dampak dari penerbitan obilgasi hijau tersebut tidak semata memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga manfaat sosial.
 
"Ini diperkirakan secara efektif mengurangi 10,3 juta ton emisi CO2 dari emisi gas rumah kaca. Penerbitan green sukuk tersebut dialokasikan untuk lima sektor hijau yang memenuhi syarat antara lain energi terbarukan, efisiensi energi, peningkatan ketahanan iklim untuk transportasi yang rentan dan berkelanjutan, serta pengelolaan sampah," jelas Sri Mulyani.
 
"Dari sisi manfaat sosial, dengan sukuk hijau ini, kami juga diperkirakan dapat memenuhi pasokan air bersih sebesar 275,5 meter kubik dan bermanfaat bagi lebih dari dua juta rumah tangga menikmati hasil ini," tambahnya.
 
Dalam kesempatan itu pula, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyampaikan instrumen pembiayaan syariah dapat menjadi alternatif pendanaan untuk mendukung peralihan transisi energi. Pasalnya, prinsipprinsip ekonomi dan keuangan syariah amat selaras dengan upaya pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
 
"Salah satu kaidah dalam syariah adalah larangan perusakan di bumi. Pelestarian adalah salah satu tugas yang diemban manusia dalam kehidupan duniawinya. Oleh karena itu, transisi energi berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip syariah," jelas Ma'ruf.
 
Salah satu instrumen syariah yang potensial mendukung peralihan energi ialah wakaf uang. Pada 2018, misalnya, Badan Wakaf Indonesia menyebutkan potensi wakaf uang di Tanah Air dapat menembus Rp180 triliun per tahunnya. Wapres menilai pemanfaatan dana wakaf semestinya dapat diperluas kepada hal yang menyangkut kepentingan masyarakat, alih-alih hanya diorientasikan pada kegiatan keagamaan. (Mediaindonesia.com)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan