Butuh biaya besar
Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan peralihan energi mutlak dilakukan oleh Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.Dalam periode 2010-2018, tren emisi gas rumah kaca nasional Indonesia meningkat 4,3 persen setiap tahunnya. Sejak 1981 hingga 2018, Indonesia mengalami kenaikan suhu 0,03 persen setiap tahunnya dan berakibat pada naiknya permukaan air laut sebesar 0,8 cm-1,2 cm per tahun. Hal itu berimplikasi sangat serius bagi penduduk karena 65 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir.
"Jika semua tren ini berlanjut, Indonesia pasti akan kehilangan PDB ekonomi akibat perubahan iklim yang mencapai 0,6 persen hingga 3,45 persen dari PDB pada 2030 karena perubahan iklim. Jadi, perubahan iklim merupakan ancaman yang sangat serius dan nyata bagi rakyat dan juga ekonomi kita," kata Sri Mulyani.
Karena itu, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, atau 41 persen pengurangan emisi gas rumah kaca pada 2030 dengan bantuan internasional.
Senada dengan Arifin, Menkeu mengungkapkan pelaksanaan komitmen itu berbiaya tinggi dan fiskal negara tak mampu menanggungnya sendiri.
Untuk melaksanakan komitmen tersebut, Indonesia membutuhkan pembiayaan dan teknologi demi mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) sekitar USD247 miliar sampai dengan USD263 miliar atau sekitar Rp3.460 triliun-Rp3.779 triliun. APBN, kata Sri Mulyani, hanya bisa mengantarkan kebutuhan pendanaan sekitar 34 persen dari total kebutuhan tersebut.
"Jadi itu adalah penyebab kenapa kita membutuhkan uang yang sangat besar untuk memenuhi kontribusi yang ditentukan secara nasional," jelasnya.
Untuk mendapatkan dukungan pendanaan, pemerintah telah merilis Energy Trasition Mechanism (ETM) sebagai wadah anyar untuk menghimpun dukungan pendanaan. Melalui ETM, Indonesia dapat memobilisasi sumber pendanaan komersial maupun nonkomersial secara berkelanjutan.
ETM menyambut semua peserta, baik berupa investor lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, ADB, serta lembaga investasi regional dan pembangunan multilateral lainnya.
"Hal ini agar kami memastikan sektor swasta, khususnya lembaga keuangan, dapat memberikan komitmen yang kredibel untuk pembiayaan perubahan iklim," jelas Sri Mulyani.