Presiden Rusia Vladimir Putin. FOTO: AFP
Presiden Rusia Vladimir Putin. FOTO: AFP

Invasi Rusia dan Ancaman Krisis Energi

Angga Bratadharma • 01 Maret 2022 13:10
PRESIDEN Rusia Vladimir Putin benar-benar tak hanya menggertak sambal menyerang Ukraina. Nyatanya, negara berjuluk Beruang Merah itu benar-benar melakukan invasi usai Putin menyetujui adanya operasi militer khusus di timur negara tersebut. Operasi tersebut ditegaskan bertujuan untuk demiliterisasi dan tidak menduduki Ukraina.
 
Sebelum Putin mendeklarasikan dimulainya operasi militer khusus di Ukraina, ketegangan di antara kedua negara terus terjadi. Keduanya saling bergesekan keras dan saling melontar ancaman. Namun, konflik kian memanas ketika Ukraina memberikan sinyal keras untuk bergabung dengan NATO. Kesabaran Putin habis. Deklarasi perang pun digaungkan.
 
Deklarasi operasi militer khusus yang diizinkan Putin dilakukan pada Kamis, 24 Februari 2022. Hal itu mengacu pada pernyataan Kremlin bahwa militer Ukraina mengancam Rusia dan dijalankan oleh neo-Nazi. Putin juga bertindak usai menerima permohonan bantuan dari para pemimpin wilayah separatis Ukraina yang didukung Rusia.

"Saya telah mengambil keputusan untuk melakukan operasi militer khusus. Tujuannya adalah untuk membela orang-orang yang selama delapan tahun menderita penganiayaan dan genosida oleh rezim Kiev," kata Putin, dilansir dari New York Times, akhir Februari 2022.
 
"Untuk ini kami akan bertujuan untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina, serta membawa ke pengadilan mereka yang melakukan berbagai kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk warga negara Federasi Rusia. Rencana kami tidak termasuk menduduki wilayah Ukraina," tegasnya.
 
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy langsung mengumumkan situasi darurat militer dan mengaku akan melawan agresi Rusia sampai menang. Meski di awal terlihat garang merespons serangan yang dilakukan negara tetangganya itu, namun makin ke sini sikap Zelenskyy mulai melunak dan membuka lebar perdamaian dengan Putin.
 
Sebenarnya sikap Zelenskyy yang mencair dan mulai 'patuh' dengan Putih bukan tanpa sebab. Pasalnya, negara dengan kekuatan militer nomor dua itu sudah mengepung Ukraina dari berbagai macam wilayah. Tak tanggung-tanggung, kabar terbaru, Putin memerintahkan komando militernya dalam kondisi siaga keamanan termasuk menyiagakan tinggi pasukan nuklirnya.
 
Invasi Rusia dan Ancaman Krisis Energi
Merdekanya dua wilayah di Ukraina memicu konflik Rusia dan Ukraina. Sumber: Medcom.id
 
Sikap tegas dari Putin itu sebagai balasan pernyataan agresif oleh para pemimpin Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan sanksi ekonomi terhadap Moskow. "Seperti yang Anda lihat, tidak hanya negara-negara Barat mengambil tindakan tidak bersahabat terhadap negara kita dalam dimensi ekonomi," kata Putin.
 
Sedangkan Ukraina bersiap mengadakan pembicaraan dengan Rusia di perbatasannya dengan Belarusia yang berdekatan dengan Chernobyl. Rencana pembicaraan ini disepakati setelah panggilan telepon antara Presiden Volodymyr Zelensky dan pemimpin Belarus Alexander Lukashenko.
 
"Para politisi sepakat bahwa delegasi Ukraina akan bertemu dengan delegasi Rusia tanpa prasyarat di perbatasan Ukraina-Belarus, dekat Sungai Pripyat," kata kantor Zelensky.

Gempuran sanksi

Namun, keputusan Putin untuk menginvasi Ukraina tak berjalan mulus begitu saja. Pasalnya, dunia internasional mengecam dan mengutuk tindakan tersebut. Bahkan, sejumlah negara yang 'dikomporin' oleh Presiden AS Joe Biden ramai-ramai menggempur negara Beruang Merah itu dengan sanksi.
 
Paling baru, Amerika Serikat, Inggris, Eropa, dan Kanada memutuskan untuk memblokir akses Rusia ke sistem pembayaran internasional SWIFT. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari putaran sanksi lain terhadap Moskow saat negara itu melanjutkan serangannya terhadap Ukraina.
 
 

SWIFT atau Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication beroperasi di seluruh dunia sebagai financial messaging network. SWIFT melakukan pengiriman pesan transaksi atau perintah secara aman antarlembaga keuangan bank atau nonbank.
 
"Kami akan meminta pertanggungjawaban Rusia dan secara kolektif memastikan perang ini adalah kegagalan strategis bagi Putin," tulis para pemimpin Komisi Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Inggris Raya, Kanada, dan Amerika Serikat.
 
Selain itu, Presiden AS Joe Biden mengumumkan negara Paman Sam akan bergabung dengan Jerman dalam menjatuhkan sanksi pada proyek pipa gas alam Nord Stream 2 Rusia. Hal itu sebagai pembalasan atas tekanan militer Moskow yang meningkat terhadap Ukraina.
 
Meski digempur terus menerus oleh sanksi dari sejumlah negara, namun Putin terlihat tak takut sama sekali dan seperti bersiap hidup berdampingan dengan sanksi. Sikap Putin dengan tangan besinya itu bukan tanpa dasar. Pasalnya, Rusia memiliki struktur perekonomian yang kuat dan menjadi negara dengan pemasok energi utama dunia.
 
Rusia adalah negara produsen utama minyak dunia dan menjadi pemimpin koalisi sekutu OPEC yang dikenal dengan sebutan OPEC+. Mengutip data BP Global Company, Rusia memiliki cadangan minyak 107,8 miliar barel (6,22 persen). Sedangkan menurut BP Statistical Review of World Energy disebutkan Rusia adalah negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia.
 
Invasi Rusia dan Ancaman Krisis Energi
FOTO: AFP
 
Berdasarkan laporan BP Statistical Review of World Energy di 2020, cadangan gas alam terbesar terletak di Rusia, yakni 37,4 triliun meter kubik. Cadangan gas alam di Rusia setara dengan 19,9 persen dari totalnya di dunia. Sedangkan cadangan gas alam di dunia mencapai 188,1 triliun meter kubik pada 2020.
 
Tak hanya itu, serangan sanksi juga tidak dapat segera merusak perekonomian Rusia karena memiliki cadangan mata uang USD643 miliar. Bahkan, negara yang juga berjuluk berekonomi 'benteng' itu mampu mencetak surplus transaksi berjalan sebesar lima persen dari PDB tahunan dan rasio utang terhadap PDB hanya 20 persen, termasuk yang terendah di dunia.
 
Sementera itu, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memandang konflik yang meningkat antara Rusia dan Ukraina kemungkinan semakin meningkatkan biaya energi dan harga komoditas bagi banyak negara. Kondisi itu pada akhirnya membuat tingkat inflasi utama di angka yang tinggi berlangsung lebih lama.
 
Wakil Direktur Pelaksana Pertama Gita Gopinath mengatakan situasinya sekarang jauh berbeda dari 2014, ketika Rusia mencaplok wilayah Krimea di Ukraina dan harga energi turun cukup tajam di tengah rendahnya permintaan dan pasokan gas serpih yang cukup.
 
"Kali ini jika konflik terjadi, Anda akan melihat kenaikan harga energi," kata Gopinath.
 
IMF mencatat krisis saat ini berlangsung di musim dingin dan cadangan gas alam jauh lebih rendah di Eropa. Harga komoditas lain yang diekspor oleh Rusia juga naik, dan dapat memicu peningkatan yang lebih besar dan luas dalam harga komoditas jika konflik meningkat.
 
IMF mencatat ekonomi Rusia mengalami kontraksi sebesar 3,7 persen pada 2015 karena jatuhnya harga minyak dan sanksi internasional yang diberlakukan setelah aneksasi Krimea. IMF saat ini memperkirakan ekonomi Rusia akan tumbuh 2,8 persen pada 2022. "Tetapi perkiraan itu tidak termasuk kekhawatiran tentang konflik," kata Gopinath.
 
 

Gopinath berpandangan eskalasi konflik dan potensi sanksi Barat terhadap Rusia kemungkinan mendorong harga minyak dan gas alam lebih tinggi dan mendorong biaya energi lebih tinggi bagi banyak negara di dunia. "Itu berarti inflasi utama, yang sudah pada tingkat yang sangat tinggi di seluruh dunia, bisa tetap jauh lebih tinggi lebih lama," tuturnya,

Krisis energi

Bukan Putin namanya kalau tak mampu mengantisipasi serangan sanksi yang diberikan kepada sejumlah negara di dunia. Balasannya akan lebih menyakitkan karena pasokan gasnya ke Eropa berpotensi dialihkan. Hal tersebut akan membuat Eropa terjerumus ke krisis energi dan kehilangan tenaga untuk mengakselerasi perekonomiannya.
 
Pada 2020, menurut BP Statistics, gas Rusia yang mengalir ke Eropa mencapai 167,7 miliar meter kubik. Jumlah ini setara 37,5 persen total impor gas alam Eropa. Adapun gas alam ini memasok 20 persen listrik Eropa pada 2020 yang artinya peran gas untuk sumber energi sangat vital bagi Eropa.
 
Data dari Badan Uni Eropa untuk Kerja Sama Regulator Energi menunjukkan pasokan beberapa negara bisa collapse energi jika terjadi pembekuan atau embargo gas Rusia. Jerman, misalnya, mengimpor sekitar setengah dari gasnya dari Rusia. Kemudian Prancis memperoleh seperempat dari pasokannya dari negara itu.
 
Italia juga akan menjadi salah satu yang paling terkena dampak karena ketergantungannya mencapai 46 persen pada gas Rusia. Akan tetapi risiko krisis energi ditanggung lebih besar oleh negara-negara yang lebih kecil seperti Makedonia Utara, Bosnia dan Herzegovina, dan Moldova.
 
Harga gas alam Eropa melonjak setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani perintah untuk mengirim apa yang dia sebut pasukan penjaga perdamaian kedua wilayah separatis Ukraina yang dia akui secara resmi. Gas yang diperdagangkan di Belanda langsung melonjak sebanyak 13 persen, naik bersama komoditas lain seperti minyak dan emas.
 
"Ini berarti harga gas yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama karena pasar sudah sangat gelisah selama berbulan-bulan. Beberapa sanksi AS (kepada Rusia) dan Uni Eropa kemungkinan akan mengikuti," kata Peneliti Senior Institut Studi Energi Oxford Katja Yafimava.
 
Invasi Rusia dan Ancaman Krisis Energi
FOTO: Atet/MI
 
Pada Jumat, 25 Februari, harga minyak dunia melonjak pada akhir perdagangan Kamis waktu setempat (Jumat pagi WIB), dengan Brent sempat bertengger di atas USD105 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014 sebelum turun kembali. Hal itu terjadi setelah serangan Rusia terhadap Ukraina memperburuk kekhawatiran tentang gangguan pada pasokan energi global.
 
Sementara itu, beberapa anggota penting OPEC+ melihat tidak perlu ada upaya mempercepat peningkatan produksi. Pasalnya, ketegangan yang memburuk di Ukraina mendorong harga minyak dunia menuju level USD100 per barel.
 
Irak dan Nigeria mengatakan strategi kelompok untuk meningkatkan produksi secara bertahap sudah cukup guna menyeimbangkan pasar dan kelompok tidak perlu lebih agresif. Banyak delegasi menggemakan pandangan itu secara pribadi dan mengatakan tidak akan ada bedanya jika minyak mentah mencapai tiga digit.
 
Aliansi 23 negara, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, bertemu berikutnya pada 2 Maret. Aliansi ini memperhitungkan pertumbuhan produksi dari anggota non-OPEC seperti Brasil dan Kanada dan tidak ingin melihat peningkatan dalam minyak yang disimpan secara komersial di seluruh dunia, menurut Menteri Energi Irak Ihsan Abdul Jabbar.

Berdampak ke Indonesia

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto memprediksi konflik Rusia-Ukraina berdampak pada negara-negara lain termasuk Indonesia. Ia menilai pemerintah perlu menyusun langkah mitigasi sejak dini. "Bola salju krisis Ukraina baru benar-benar kita rasakan dampaknya sekitar dua sampai tiga minggu lagi," kata Andi.
 
Andi mengatakan dampak ke Indonesia terbilang cepat lantaran skala konflik sangat besar. Sejumlah negara-negara besar terlibat bahkan memberi sanksi ekonomi pada Rusia seperti yang dilakukan Amerika Serikat. Selain itu, konflik Rusia-Ukraina menyangkut sumber daya strategis seperti gas. Andi mencontohkan pasokan gas ke Eropa Barat yang terganggu.
 
"Pengaruhnya yang paling segera adalah harga minyak naik dan memberatkan impor BBM," kata dia.
 
Meski demikian, Andi memprediksi Indonesia memiliki nilai tawar lebih melalui beberapa komoditas. Salah satunya batu bara yang harganya diprediksi ikut terdongkrak. "Trade off seperti itu yang perlu dihitung supaya bisa diantisipasi agar pemulihan ekonomi nasional beradaptasi cepat dengan perkembangan," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan