Gopinath berpandangan eskalasi konflik dan potensi sanksi Barat terhadap Rusia kemungkinan mendorong harga minyak dan gas alam lebih tinggi dan mendorong biaya energi lebih tinggi bagi banyak negara di dunia. "Itu berarti inflasi utama, yang sudah pada tingkat yang sangat tinggi di seluruh dunia, bisa tetap jauh lebih tinggi lebih lama," tuturnya,
Krisis energi
Bukan Putin namanya kalau tak mampu mengantisipasi serangan sanksi yang diberikan kepada sejumlah negara di dunia. Balasannya akan lebih menyakitkan karena pasokan gasnya ke Eropa berpotensi dialihkan. Hal tersebut akan membuat Eropa terjerumus ke krisis energi dan kehilangan tenaga untuk mengakselerasi perekonomiannya.Pada 2020, menurut BP Statistics, gas Rusia yang mengalir ke Eropa mencapai 167,7 miliar meter kubik. Jumlah ini setara 37,5 persen total impor gas alam Eropa. Adapun gas alam ini memasok 20 persen listrik Eropa pada 2020 yang artinya peran gas untuk sumber energi sangat vital bagi Eropa.
Data dari Badan Uni Eropa untuk Kerja Sama Regulator Energi menunjukkan pasokan beberapa negara bisa collapse energi jika terjadi pembekuan atau embargo gas Rusia. Jerman, misalnya, mengimpor sekitar setengah dari gasnya dari Rusia. Kemudian Prancis memperoleh seperempat dari pasokannya dari negara itu.
Italia juga akan menjadi salah satu yang paling terkena dampak karena ketergantungannya mencapai 46 persen pada gas Rusia. Akan tetapi risiko krisis energi ditanggung lebih besar oleh negara-negara yang lebih kecil seperti Makedonia Utara, Bosnia dan Herzegovina, dan Moldova.
Harga gas alam Eropa melonjak setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani perintah untuk mengirim apa yang dia sebut pasukan penjaga perdamaian kedua wilayah separatis Ukraina yang dia akui secara resmi. Gas yang diperdagangkan di Belanda langsung melonjak sebanyak 13 persen, naik bersama komoditas lain seperti minyak dan emas.
"Ini berarti harga gas yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama karena pasar sudah sangat gelisah selama berbulan-bulan. Beberapa sanksi AS (kepada Rusia) dan Uni Eropa kemungkinan akan mengikuti," kata Peneliti Senior Institut Studi Energi Oxford Katja Yafimava.

FOTO: Atet/MI
Pada Jumat, 25 Februari, harga minyak dunia melonjak pada akhir perdagangan Kamis waktu setempat (Jumat pagi WIB), dengan Brent sempat bertengger di atas USD105 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014 sebelum turun kembali. Hal itu terjadi setelah serangan Rusia terhadap Ukraina memperburuk kekhawatiran tentang gangguan pada pasokan energi global.
Sementara itu, beberapa anggota penting OPEC+ melihat tidak perlu ada upaya mempercepat peningkatan produksi. Pasalnya, ketegangan yang memburuk di Ukraina mendorong harga minyak dunia menuju level USD100 per barel.
Irak dan Nigeria mengatakan strategi kelompok untuk meningkatkan produksi secara bertahap sudah cukup guna menyeimbangkan pasar dan kelompok tidak perlu lebih agresif. Banyak delegasi menggemakan pandangan itu secara pribadi dan mengatakan tidak akan ada bedanya jika minyak mentah mencapai tiga digit.
Aliansi 23 negara, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, bertemu berikutnya pada 2 Maret. Aliansi ini memperhitungkan pertumbuhan produksi dari anggota non-OPEC seperti Brasil dan Kanada dan tidak ingin melihat peningkatan dalam minyak yang disimpan secara komersial di seluruh dunia, menurut Menteri Energi Irak Ihsan Abdul Jabbar.
Berdampak ke Indonesia
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto memprediksi konflik Rusia-Ukraina berdampak pada negara-negara lain termasuk Indonesia. Ia menilai pemerintah perlu menyusun langkah mitigasi sejak dini. "Bola salju krisis Ukraina baru benar-benar kita rasakan dampaknya sekitar dua sampai tiga minggu lagi," kata Andi.Andi mengatakan dampak ke Indonesia terbilang cepat lantaran skala konflik sangat besar. Sejumlah negara-negara besar terlibat bahkan memberi sanksi ekonomi pada Rusia seperti yang dilakukan Amerika Serikat. Selain itu, konflik Rusia-Ukraina menyangkut sumber daya strategis seperti gas. Andi mencontohkan pasokan gas ke Eropa Barat yang terganggu.
"Pengaruhnya yang paling segera adalah harga minyak naik dan memberatkan impor BBM," kata dia.
Meski demikian, Andi memprediksi Indonesia memiliki nilai tawar lebih melalui beberapa komoditas. Salah satunya batu bara yang harganya diprediksi ikut terdongkrak. "Trade off seperti itu yang perlu dihitung supaya bisa diantisipasi agar pemulihan ekonomi nasional beradaptasi cepat dengan perkembangan," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News