SWIFT atau Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication beroperasi di seluruh dunia sebagai financial messaging network. SWIFT melakukan pengiriman pesan transaksi atau perintah secara aman antarlembaga keuangan bank atau nonbank.
"Kami akan meminta pertanggungjawaban Rusia dan secara kolektif memastikan perang ini adalah kegagalan strategis bagi Putin," tulis para pemimpin Komisi Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Inggris Raya, Kanada, dan Amerika Serikat.
Selain itu, Presiden AS Joe Biden mengumumkan negara Paman Sam akan bergabung dengan Jerman dalam menjatuhkan sanksi pada proyek pipa gas alam Nord Stream 2 Rusia. Hal itu sebagai pembalasan atas tekanan militer Moskow yang meningkat terhadap Ukraina.
Meski digempur terus menerus oleh sanksi dari sejumlah negara, namun Putin terlihat tak takut sama sekali dan seperti bersiap hidup berdampingan dengan sanksi. Sikap Putin dengan tangan besinya itu bukan tanpa dasar. Pasalnya, Rusia memiliki struktur perekonomian yang kuat dan menjadi negara dengan pemasok energi utama dunia.
Rusia adalah negara produsen utama minyak dunia dan menjadi pemimpin koalisi sekutu OPEC yang dikenal dengan sebutan OPEC+. Mengutip data BP Global Company, Rusia memiliki cadangan minyak 107,8 miliar barel (6,22 persen). Sedangkan menurut BP Statistical Review of World Energy disebutkan Rusia adalah negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia.

FOTO: AFP
Berdasarkan laporan BP Statistical Review of World Energy di 2020, cadangan gas alam terbesar terletak di Rusia, yakni 37,4 triliun meter kubik. Cadangan gas alam di Rusia setara dengan 19,9 persen dari totalnya di dunia. Sedangkan cadangan gas alam di dunia mencapai 188,1 triliun meter kubik pada 2020.
Tak hanya itu, serangan sanksi juga tidak dapat segera merusak perekonomian Rusia karena memiliki cadangan mata uang USD643 miliar. Bahkan, negara yang juga berjuluk berekonomi 'benteng' itu mampu mencetak surplus transaksi berjalan sebesar lima persen dari PDB tahunan dan rasio utang terhadap PDB hanya 20 persen, termasuk yang terendah di dunia.
Sementera itu, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memandang konflik yang meningkat antara Rusia dan Ukraina kemungkinan semakin meningkatkan biaya energi dan harga komoditas bagi banyak negara. Kondisi itu pada akhirnya membuat tingkat inflasi utama di angka yang tinggi berlangsung lebih lama.
Wakil Direktur Pelaksana Pertama Gita Gopinath mengatakan situasinya sekarang jauh berbeda dari 2014, ketika Rusia mencaplok wilayah Krimea di Ukraina dan harga energi turun cukup tajam di tengah rendahnya permintaan dan pasokan gas serpih yang cukup.
"Kali ini jika konflik terjadi, Anda akan melihat kenaikan harga energi," kata Gopinath.
IMF mencatat krisis saat ini berlangsung di musim dingin dan cadangan gas alam jauh lebih rendah di Eropa. Harga komoditas lain yang diekspor oleh Rusia juga naik, dan dapat memicu peningkatan yang lebih besar dan luas dalam harga komoditas jika konflik meningkat.
IMF mencatat ekonomi Rusia mengalami kontraksi sebesar 3,7 persen pada 2015 karena jatuhnya harga minyak dan sanksi internasional yang diberlakukan setelah aneksasi Krimea. IMF saat ini memperkirakan ekonomi Rusia akan tumbuh 2,8 persen pada 2022. "Tetapi perkiraan itu tidak termasuk kekhawatiran tentang konflik," kata Gopinath.