Ilustrasi (Foto: dokumentasi Bank Indonesia)
Ilustrasi (Foto: dokumentasi Bank Indonesia)

Gelisah di Tengah Potensi Melebarnya Defisit Anggaran

Angga Bratadharma • 26 Mei 2016 12:17
medcom.id, Jakarta: Pemerintah harusnya mulai gelisah melihat sejumlah indikator ekonomi Indonesia baik dari sisi penerimaan negara berupa pajak yang belum maksimal, Utang Luar Negeri (ULN) yang semakin membengkak, hingga lambatnya kebijakan pengampunan pajak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
 
Adapun hal yang paling penting perlu diperhatikan ketika beberapa hal itu belum memberikan rapor hijau adalah terkait angka defisit anggaran. Pasalnya, ada perkiraan angka defisit anggaran berpotensi melebar ke arah tiga persen. Apabila angka defisit anggaran mendekati level tiga persen maka bukan tidak mungkin memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian.
 
Baca: Berpotensi Melebar 2,5%, Ini Cara Pemerintah Tutup Defisit

Gelisah di Tengah Potensi Melebarnya Defisit Anggaran
Sumber: Kementerian Keuangan
 
Dalam asumsi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, pemerintah mematok defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di level 2,15 persen atau secara nominal berada di posisi Rp273,2 triliun. Artinya, pemerintah perlu menjaga agar defisit anggaran tidak mencapai angka itu, bahkan melebihinya.
 
Baca: Pelebaran Defisit Anggaran Masih Ditolerensi
 
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dipatok maskimal berada di angka tiga persen dari PDB. Apabila pemerintah lalai dan angka defisit anggaran melebihi angka tiga persen maka bukan tidak mungkin pemerintah telah menyalahi konstitusi yang sudah ditetapkan.
 
Perkiraan membengkaknya defisit anggaran ini diperparah dengan tingkat ULN Indonesia yang kian membesar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto pada akhir triwulan I-2016 tercatat sebesar 36,5 persen, atau mengalami peningkatan dari 36,0 persen pada akhir triwulan IV-2015. Akumulasi utang pemerintah maksimal 60 persen terhadap PDB.
 
Gelisah di Tengah Potensi Melebarnya Defisit Anggaran
Sumber: Bank Indonesia

 
ULN Indonesia pada akhir triwulan I-2016 tercatat USD316,0 miliar atau tumbuh 5,7 persen (yoy) dibandingkan dengan pertumbuhan ULN pada akhir triwulan IV-2015. Berdasarkan jangka waktu asal, ULN jangka panjang tercatat meningkat, sementara ULN jangka pendek menurun.
 
Baca: Utang Luar Negeri Indonesia USD316,0 Miliar di Kuartal I-2016
 
Sementara itu, akumulasi utang pemerintah per Maret 2016 tercatat sebesar Rp3.263,52 triliun. Jumlah ini terdiri dari pinjaman Rp750,16 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp2.513,36 triliun. Adapun tiga kreditor besar yang mendominasi pinjaman luar negeri adalah Bank Dunia, Pemerintah Jepang, dan Bank Pembangunan Asia.
 
Utang luar negeri pemerintah adalah utang yang dimiliki oleh pemerintah pusat, terdiri dari utang bilateral, multilateral, fasilitas kredit ekspor, komersial, leasing dan Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan di luar negeri dan dalam negeri yang dimiliki oleh bukan penduduk.
 
Sedangkan utang luar negeri bank sentral adalah utang yang dimiliki oleh Bank Indonesia, yang diperuntukkan dalam rangka mendukung neraca pembayaran dan cadangan devisa.
 
Sementara itu, utang luar negeri swasta adalah utang luar negeri penduduk kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan atau rupiah berdasarkan perjanjian utang (loan agreement) atau perjanjian lainnya, kas dan simpanan milik bukan penduduk, dan kewajiban lainnya kepada bukan penduduk.
 
Tidak ditampik pemerintah memang harus gelisah. Sebab, selain ULN yang kian membengkak, realisasi penerimaan negara yang didominasi oleh penerimaan pajak masih belum berlari kencang. Bayangkan saja, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat per 31 Maret 2016 penerimaan pajak baru Rp204,7 triliun atau setara 13 persen dari target di APBN 2016 sebesar Rp1.546,7 triliun.
 
Gelisah di Tengah Potensi Melebarnya Defisit Anggaran
Sumber: Kementerian Keuangan

 
Menanggapi penerimaan pajak yang belum maksimal, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro memiliki strategi yang salah satunya mengklaim telah memerintahkan kepada orang nomor satu di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu untuk mempercepat penerimaan pajak pada Juni mendatang.
 
"Saya perintahkan Dirjen Pajak (Ken Dwijugiasteadi) mulai Juni kita tancap gas untuk penerimaan pajak. Jadi kalau perlu pemeriksaan lakukan saja," tegas Bambang, beberapa waktu lalu.
 
Selain tancap gas, strategi lain yang dimiliki Bambang untuk mengoptimalkan penerimaan pajak adalah Rancangan Undanng-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Kebijakan pengampunan pajak ini diharapkan bisa mendongkrak realisasi penerimaan pajak disepanjang 2016. Sayangnya, kebijakan ini masih terganjal di meja parlemen, sampai sekarang ini.
 
Gelisah di Tengah Potensi Melebarnya Defisit Anggaran
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro

 
Raut wajah Menkeu Bambang tampak tidak secerah biasanya ketika mengetahui kebijakan pengampunan pajak harus mandek di meja DPR RI, beberapa waktu yang lalu. Padahal dirinya sangat berharap kebijakan ini bisa disetujui oleh parlemen dan nantinya bisa segera direalisasikan di tahun ini, demi menggenjot penerimaan pajak Rp1.546,7 triliun.
 
Namun demikian, mimik muka mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu itu mulai berbunga-bunga ketika kebijakan pengampunan pajak menemukan titik terang. Sebab, DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) RUU Pengampunan Pajak mulai membahas calon beleid tersebut.
 
Baca: Tax Amnesty Tambah Penerimaan Pajak Rp180 Triliun
 
Adapun dirinya mengklaim penerapan kebijakan pengampunan pajak ini bisa memberikan tambahan pendapatan kurang lebih sebesar Rp200 triliun. Nantinya Bambang memiliki rencana tambahan itu bisa menutup defisit anggaran.
 
Hal ini erat kaitannya karena pemerintah dalam Rancangan APBN Perubahan 2016 mengusulkan tingkat defisit anggaran mengalami kenaikan dari 2,15 persen menjadi 2,5 persen. Kenaikan ini sejalan dengan situasi dan kondisi ekonomi yang berubah, termasuk ketidakpastian ekonomi dunia berimbas terhadap perekonomian Indonesia.
 
Kendati demikian, Pekerjaan Rumah (PR) tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, pemerintah harus menyediakan sejumlah instrumen untuk menampung dana repatriasi itu. Apabila tidak ada maka uang yang masuk tidak bisa dioptimalkan untuk menutup defisit, atau menggerakkan roda perekonomian demi mencapai beberapa asumsi makro di 2016.
 
Baca: 5 Manajer Investasi Disiapkan untuk Tampung Repatriasi Tax Amnesty
 
Gelisah di Tengah Potensi Melebarnya Defisit Anggaran
Sumber: Kementerian Keuangan

 
Dalam APBN 2016, asumsi makro untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dipatok pemerintah mencapai 5,3 persen, tingkat inflasi 4,7 persen, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp13.900 per USD, pengangguran 5,2 persen sampai 5,5 persen, dan gini rasio 0,39.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan