“Semakin banyak jumlah penduduk di suatu negara, makin besar pula kesempatan memiliki sekumpulan orang kompeten di bidang sepak bola dengan kualitas di atas rata-rata.”
Teori tersebut berlaku untuk negara-negara yang berada di Benua Eropa dan Amerika. Buktinya sudah ada banyak. Brasil, Argentina, dan Amerika Serikat yang memiliki populasi besar punya prestasi bagus di bidang sepak bola dibanding negara-negara kecil di Benua Amerika seperti Panama dan Jamaika.
Hal serupa terjadi di Eropa. Pencapaian Italia, Prancis, Jerman, dan Belanda jauh lebih mentereng dari negara kecil seperti San Marino, Wales, atau Latvia.
Jika menilik dari teori itu, Indonesia harusnya berada di jajaran elite sepak bola dunia. Sebab, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di muka bumi. Berdasarkan sensus 2011, tak kurang dari 236 juta jiwa berdiam di negara ini.
Fakta bahwa sepak bola sangat digemari di negeri ini seharusnya membuat kans memiliki timnas kuat dan orang-orang kompeten yang menggerakkan roda organisasi PSSI membesar.
Mirisnya, keinginan untuk melihat Indonesia punya timnas kuat, kompetisi domestik yang kompetitif, serta pengurus organisasi yang mumpuni hanya mimpi di siang bolong pada saat ini.
Publik sudah lelah melihat Tim Merah Putih gagal menancapkan kuku di level internasional. Bahkan, Indonesia kini mulai kesulitan untuk sekadar berbicara di level Asia Tenggara. Parameternya bisa dilihat di Piala AFF 2014. Ketika itu, Indonesia gagal lolos ke fase knock-out gara-gara hanya menempati peringkat ketiga babak penyisihan di bawah Vietnam dan Filipina!
Antipati publik terhadap sepak bola nasional bisa jadi makin membesar dalam sebulan terakhir. Maklum, PSSI diguncang kabar buruk setelah sang Ketua Umum, La Nyalla Mattalitti ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana hibah. La Nyalla diduga menggunakan dana itu untuk membeli saham Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim. Dana hibah itu sebesar Rp5 miliar pada 2012.
Anehnya, La Nyalla seakan tak mau lengser dari kursi Ketum PSSI meski sudah ditetapkan sebagai dalam daftar pencarian orang (DPO). Ia masih teguh menjalankan tugas karena merasa mendapat dukungan dari Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI.
Situasi makin mengherankan karena Komite Eksekutif PSSI juga secara ‘heroik’ meklaim status DPO tak membuat tugas La Nyalla sebagai ketum tertanggu.
Kejadian seperti ini bukan kali pertama terjadi di persepakbolaan Indonesia. Pada medio 2000-an, roda organisasi PSSI juga pernah dipimpin oleh sosok yang bermasalah dengan hukum. Bahkan, Nurdin Halid yang ketika itu menjadi ketum tidak dipecat walau sedang berada di balik jeruji besi.
Berkaca dari Jepang dan Korsel
Rasanya saya sudah lelah menceritakan polemik di persepakbolaan Indonesia. Bisa jadi, seluruh pencinta sepak bola di negeri ini juga sudah muak mendapati kenyataan pahit tersebut.
Prestasi Indonesia begitu kontras dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang. Padahal, soal jumlah penduduk yang berkorelasi dengan potensi sepak bola, kedua negara itu jauh berada di bawah Indonesia. Bayangkan saja, jumlah penduduk Korsel pada 2015 diperkirakan hanya 51 juta jiwa.
Akan tetapi, Korsel dan Jepang bisa menjadi salah satu kekuatan sepak bola terdepan. Gaya main mereka yang khas menjadi buah bibir. Tak sedikit yang akhirnya jatuh cinta dengan permainan agresif dan kombinasi permainan cantik Eropa daratan milik kedua negara tersebut.
Tentu prestasi yang dibuat Jepang dan Korsel tidak terjadi begitu saja. Kedua negara memiliki paradigma yang bisa kita contoh. Mereka tidak mementingkan hasil ketika mulai mengembangkan program pembinaan usia dini. Tapi tetap dilakukan setepat mungkin.
Berbekal paradigma itu, Korsel dan Jepang akhirnya tidak melulu mengajarkan para youngster soal kemenangan. Mereka malah lebih ditekankan untuk melakukan teknik dasar sepak bola dengan benar. Lambat laun buahnya sangat baik. Para pemain asal kedua negara sangat menguasai teknik sehingga mampu bermain baik.
Mungkin Indonesia bisa introspeksi melihat paradigma itu dalam memandang sepak bola. Persepakbolaan Indonesia sangat rumit dan membebani. Belum apa-apa sudah bicara trofi. Ketika baru memulai sesuatu, pemain sudah dibebani target untuk menang. Padahal jika ditelisik, teknik mengumpan atau menendang para pemain kita saja belum tentu tepat.
Jangan muluk membicarakan soal menang dan kalah. Ada baiknya PSSI sudi menata persepakbolaan Indonesia dan mengikis semua ego yang selama ini muncul.
Ingat, populasi Indonesia sangat besar. Jika dikelola dengan baik, rasanya tak akan sulit menemukan 11 pemain yang bisa diandalkan untuk tim nasional. Jika mendapatkan 11 orang masih terasa berat, mungkin bisa dimulai dengan mencari satu sosok yang tidak berurusan dengan hukum apalagi berstatus DPO untuk ditugaskan sebagai ketua umum PSSI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ACF)