KETIKA pertama kali melihat Simon McMenemy, di tahun 2010, seorang teman sesama jurnalis sempat berseloroh. "Dia masih muda. Apakah pernah jadi pemain atau langsung jadi pelatih?" Saat itu, usianya baru 32 tahun, McMenemy sudah melatih Filipina di Piala AFF.
Tapi, begitu mendapat kesempatan bertanya dalam konferensi pers, penulis lupa seloroh dari teman tadi. Sekarang, pertanyaan itu kiranya masih patut untuk disampaikan. Tanpa berpengalaman sebagai pemain, mampukah pelatih meracik timnya dengan baik?
Irfan Bachdim dkk mengunci klasemen sementara pada posisi terbawah. Hanya menggaet semua kemenangan dalam sisa enam matchday yang membuat Indonesia dapat bangkit dari kuburan Grup G zona Asia kualifikasi Piala Dunia 2022. Tapi itu ambisi yang mustahil semata.
Kehilangan Angka
Setelah dua kali kalah, tim nasional senior akan menghadapi Uni Emirat Arab di laga ketiga. Saat ini, para pemain telah beradaptasi di Dubai, kandang lawan.
Baguslah tidak terbersit rasa pesimis dari skuat Garuda. Meski dalam hitungan realistis tampaknya kita akan kehilangan angka lagi.
UEA menempati posisi di peringkat 66 dunia FIFA; Indonesia 167. Jauh amat selisihnya.
Dari sebelas kali berlaga selama tahun ini, UEA baru sekali kalah, sisanya tujuh kali menang dan tiga imbang. Sementara kita menjalani lima pertandingan pada 2019 dengan dua kemenangan serta menderita tiga kekalahan.
Menjalani adaptasi menjelang pertandingan pada Kamis 10 Oktober 2019, sejumlah kejanggalan masih ditunjukkan. Hanya untuk sekali bertanding ke kandang lawan, McMenemy membawa 25 pemain! Tidak jelas alasannya memberangkatkan punggawa sebanyak ini. Soalnya akan lebih banyak yang menganggur daripada yang berjibaku di atas lapangan.
Latihan pertama kemudian mereka lakoni di bawah cuaca panas terik 39 derajat Celcius. Berolahraga di cuaca panas memberi tekanan ekstra pada tubuh pemain. Jika tidak berhati-hati saat berolahraga dalam cuaca panas, pemain berisiko penyakit serius.
Baik olahraga itu sendiri maupun suhu dan kelembaban udara dapat meningkatkan suhu inti tubuh kita. Guna membantu mendinginkan diri sendiri, tubuh biasanya mengirimkan lebih banyak darah untuk bersirkulasi melalui kulit.
Benarkah berlatih di panas terik? Tidak adakah pemain yang terdampak dengan risiko sakit?
Tim tuan rumah UEA malah diketahui tidak berlatih di saat titik kulminasi udara. Mereka pasti mempertimbangkan pengaruh buruknya bagi kesehatan.
Mengapa timnas bukan latihan pada pukul 7:00 pagi waktu setempat kala suhu terendah di sana? Bukankah laga dijadwalkan kick-off pukul 19:00 di kala suhu berkisar 33-34C bukannya temperatur tertinggi?
Tidak Serius
Faktor pemain yang diberangkatkan terlalu banyak dan langsung berlatih dalam cuaca panas itu menunjukkan sesuatu yang aneh. Sesungguhnya Coach Simon terkesan sudah tidak serius lagi mempersiapkan rencana timnas kita untuk memberikan perlawanan.
Kelihatannya asal-alasan saja. Soalnya dia tentu mengerti, posisinya sebagai pelatih sedang disorot tajam oleh publik sepak bola Tanah Air. Ia bagaikan telur di ujung tanduk, yang sewaktu-waktu rentan jatuh lalu pecah. Kekalahan dari UEA akan menamatkan kariernya dari timnas senior kita.
Penulis jadi teringat dengan pelatih lokal yang namanya sering digadang-gadang telah pantas untuk membesut timnas senior. Ia ragu kalau memang diberi kepercayaan itu, karena seperti diakuinya sendiri bahwa di luar Asia Tenggara, daya saing pemain kita sangat lemah.
Apalagi berkompetisi di benua Asia, reputasi Merah-Putih sudah tenggelam sejak lama. Ketimbang menangani timnas senior yang kerap dibulan-bulani lawan, dia memilih tidak mau menduduki kursi panas sebagai pelatih Indonesia. Ia tegas tidak menginginkan timnas senior. Kendati keengganan itu sering dia katakan kepada media secara diplomatis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(KAH)