.jpg)
Saya masih ingat bagaimana Liga Inggris mulai masuk Indonesia di tahun 1990-an. Ketika itu AN-tv menjadi stasiun televisi yang membeli hak siarnya. Namun ketika itu pamornya jauh di bawah Serie A Italia yang ditayangkan oleh RCTI.
Dibutuhkan waktu yang panjang bagi Football Association untuk memiliki kompetisi yang bergengsi. Sepak bola Inggris harus menurunkan egonya dengan membuka pintu bagi pemain asing untuk bisa berlaga di kompetisi mereka.
Kehadiran "Enfant terrible" atau tukang onar dari Prancis, Eric Cantona membuat orang mulai mau melirilk Liga Inggris. Cantona merupakan pribadi penuh kontroversi. Tindakan yang tidak pernah terlupakan oleh para pecinta sepak bola adalah ketika ia melepaskan tendangan kungfu kepada pendukung Crystal Palace yang dianggap mengejek dirinya.
Setelah peristiwa itu, Cantona bukan hanya kemudian menjadi ikon Manchester United dan dijuluki "King Eric", tetapi pamor Liga Inggris makin mengkilat. Apalagi Cantona mampu "mendidik" bintang muda MU seperti David Beckham, Ryan Giggs, Gary Neville dan membawa klub itu merebut tiga gelar pada satu musim, juara Liga Inggris, juara Piala FA, dan juara Piala Champions pada musim kompetisi 1998/1999.
Keberhasilan Liga Inggris menjadi kompetisi termahal di dunia merupakan buah dari konsistensi mereka melakukan pembinaan jangka panjang. Itu merupakan hasil kolaborasi dari kerja keras Pemerintah Inggris, FA, klub, dan pecinta sepak bola Inggris.
Peran pemerintah adalah sebagai pembina. Pemerintah wajib mendampingi pengurus sepak bola, pemilik klub, dan pecinta sepak bola agar tumbuh menjadi komponen yang mampu memberikan kontribusi positif bagi kemajuan sepak bola. Bahkan pemerintah wajib menyediakan infrastruktur bagi terbangunnya bangsa yang sehat.
Pengurus sepak bola berperan membuat peraturan yang memungkinkan bergulirnya kompetisi yang sehat. Klub berperan menjadi ujung tombak pembinaan dari para pemain muda. Sementara penonton menjadi pilar bagi tumbuhnya klub yang profesional melalui dukungan moral maupun finansial.
Sudahkah berkolaborasi?
Melihat pengalaman negara-negara lain, tentu menjadi pertanyaan bagaimana kompetisi sepak bola yang kita miliki? Harus kita katakan, kita masih dalam proses untuk memiliki kompetisi yang bermutu.
Kompetisi yang kita gelar setiap tahun masih jauh dari sempurna. Namun kita melihat bahwa ada upaya perbaikan yang terus diupayakan. Bahkan kita melihat cikal bakal pengelolaan yang lebih profesional.
Apa ukurannya? Niatan dari korporasi besar atau pengusaha ternama untuk ikut menangani klub sepak bola. Sebut misalnya Direksi North Star Energy, Glenn Sugita yang mau menanamkan modalnya di Persib Bandung.
Glenn memang tidak sendirian masuk ke Persib. Ada juga pemilik Internazionale Milan, Erick Tohir untuk bergabung bersama Glenn. Bahkan penyiar radio terkenal Muhammad Farhan memilih untuk melepas profesinya sebagai penyiar dan sepenuhnya berkonsentrasi mengurus juara Indonesia Super League 2014 itu.
Kehadiran pengusaha dalam mengelola klub sepak bola akan memberi kontribusi yang positif. Pemahaman manajemen di perusahaan akan membuat klub dikelola lebih profesional.
Sekarang ini sudah muncul niatan dari korporasi besar untuk mengambil alih pengelolaan klub. Salim Group misalnya sedang mengincar Persija Jakarta. SCTV berniat untuk ikut mengurusi Persebaya Surabaya.
Minat televisi untuk meliput pertandingan sepak bola juga meningkat. Apabila dulu hanya AN-tv yang menjadi peminat untuk menyiarkan Kompetisi ISL, sekarang mereka harus berebut hak siar dengan RCTI dan SCTV.
Kompetisi ISL jauh lebih tinggi pemirsanya daripada kompetisi Liga Eropa. Share untuk pertandingan yang melibatkan tim nasional Indonesia bahkan bisa di atas 25 persen. Artinya dari televisi yang menyala, lebih dari 25 persennya menyaksikan penampilan pemain nasional.
Ini tentunya merupakan peluang promosi yang luar biasa. Tidak usah heran apabila korporasi besar mulai melirik klub, karena bisa dipakai sebagai alat promosi yang efektif ke masyarakat.
Hanya saja memang masih banyak persoalan yang tetap harus diselesaikan. Bagaimana misalnya para penonton sepak bola tidak menunjukkan kebrutalan. Keonaran yang dilakukan pendukung Persija dengan mengadang bus yang digunakan pendukung Persib misalnya, tidak boleh terus berlanjut.
Semua kekurangan dalam pengelolaan kompetisi tidak bisa hanya diselesaikan dengan menghukum. Pemerintah sebagai pembina harus hadir untuk ikut memikirkan bagaimana kompetisi sepak bola bisa dikelola dengan lebih baik.
Langkah seperti dilakukan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi untuk melarang dimulainya Kompetisi ISL 2015 bukan solusi terbaik. Itu justru akan menimbulkan persoalan baru, karena hanya melahirkan ketidakpastian. Kondisi ini akan semakin menjauhkan dunia usaha untuk mau ikut terlibat dalam pembinaan sepak bola dan tanpa sentuhan manajemen dalam pengelolaan persepakbolaan maka profesionalisme akan semakin jauh.
Kita semua tentu menginginkan satu saat Kompetisi ISL bisa bernilai Rp100 triliun seperti Liga Inggris. Hanya saja itu hanya bisa dicapai kalau ada semangat untuk saling mendukung dan saling mengoreksi. Bukan sekadar menunjukkan sikap benar dan salah. Penghukuman bukan jawaban dari penataan sepak bola Indonesia. Pendampingan dan kebersamaan itulah kunci keberhasilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(HIL)