Malam itu, penonton menjerit histeris. Semua kru dan pembawa acara panik, lari terbirit-birit menuju peti yang terjatuh. Rupanya di dalam peti ada seorang pria yang diketahui sebagai body doublealias pemeran pengganti (stuntman). Tim medis langsung datang dan mengevakuasinya.
“Kami melihat langsung di depan mata. Sekarang Ambulans sudah membawa Demian,” ujar Roby Purba, salah seorang pembawa acara, Rabu, 29 November 2017.
Tak lama, di panggung utama, sang pesulap Demian Aditya muncul melambaikan tangan ke penonton. Tapi, wajahnya pucat, senyumnya tak lepas, seolah menyadari ada yang salah dengan aksi sulapnya saat itu.
.jpg)
Demian Aditya. MI
Pertunjukan sulap beraliran eskapologi itu bertajuk Death Drop, ditayangkan secara langsung di sebuah stasiun televisi swasta.
Benar saja. Aksi itu memakan korban. Darah yang mencurat dari dalam peti ternyata darah Edison Wardhana, sang pemeran pengganti. Dia mengalami patah tulang rusuk, paru-parunya bocor, juga pendarahan di bokong.
Edison mengalami kecelakaan ketika menggantikan Demian Aditya di dalam peti.
Esok harinya, warganet di jagat maya langsung mengeluarkan reaksi beragam. Banyak yang mengumpat aksi sulap Demian. Pula nama Edison, ramai diperbincangkan. Padahal, sebelumnya, Edison sama sekali tak dikenal luas.
.jpg)
Kru dan asiten Demian menyelamatkan Edison dari peti 'Death Drop', dalam program siaran langsung di sebuah televisi swasta, Rabu, 29 November 2017.
Risiko stuntman
Bukan sembarang menjadi pemeran pengganti alias stuntman. Harus siap mati, minimal cedera. Itu konsekwensinya.
“Harus siap mati kalau jadi stuntman,” ujar pendiri Stunt Fighter Community (SFC) Deswyn Pesik, saat berbincang dengan medcom.id di Tebet Timur, Jakarta Selatan, Selasa, 5 Desember 2017.
Deswyn sudah 13 tahun menjadi stuntman. Dia paham betul, risiko menjadi seorang stutman. Makanya, butuh teknik tertentu agar adegan atau aksi yang akan dilakukan berjalan aman.

Deswyn Pesik (menghadap kamera) di sela aksinya sebagai pemeran pengganti. (Dok. pribadi)
Awal tahun 2000, ketika sinetron tanah air tengah naik daun, banyak rumah produksi yang menyewa jasa stuntman. Biasanya dibayar untuk akting berkelahi.
Tapi, adegan duel dalam sinetron mendapat kritik tajam dari Ayah Deswyn, GA Pesik, yang aktif mengurus Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI).
“Ayah saya bilang, adegan berantem saya masih kelihatan bohongan. Sekadar berantem,” kenangnya.
Sejak itu, jawara karate Teladan Cup SLTA se-Jawa, Bali, dan Lampung pada 1994 itu mulai memperbaiki teknik gerakan duelnya. Bahkan, pada 2012, Deswyn mendirikan SFC. Dia ingin adegan laga di Indonesia terlihat nyata dan memiliki ciri khas.
“Akan diajari cara menjatuhkan badan, melompat, macem-macem,” ujar Deswyn.
Lambat laun, SFC menjadi tempat penyalur bagi mereka yang berminat berkarier dalam film laga. Setiap anggota yang direkrut akan mengikuti workshop dan pelatihan.
“Banyak di daerah yang minat berkarir di film laga. Tapi, mereka selalu ditipu, bahkan diduitin. Saya tidak suka yang begitu,” kata dia.
Hingga saat ini, SFC berkembang dan memiliki cabang di beberapa daerah. Bahkan, pecinta aksi laga dari banyak negara. “Terakhir dari Filipina. Mereka belajar ke kita.”
.jpg)
SFC dalam sebuah workshop. (Dok. Deswyn Pesik)
Diremehkan
Tak banyak yang mau berkarir sebagai stuntman. Apalagi, di Indonesia, profesi ini mendapat citra buruk. Dikaitkan dengan orang-orang kelas bawah yang rela menyakiti diri sendiri demi uang.
“Maaf saja. Stuntman di Indonesia dibilang cuma punya modal fisik saja. Cuma bisa berantem. Tapi, saya sarjana. Ya itu menjadi tugas saya untuk mengubah pandangan itu,” ujar Deswyn.
Kerja keras stuntman kurang dilirik orang. Padahal, risiko pekerjaanya jauh lebih tinggi ketimbang si aktor utama. Soal pendapatan pun belum sepadan dengan risikonya.
Kondisi ini jauh berbeda dengan industri hiburan Hollywood di negeri ‘paman sam’. “Kalau di Hollywood, gaji stuntman profesional hampir setara dengan gaji aktor utama. Tapi kita tidak memikirkan popularitas,” pungkas Deswyn.
Soal risiko, kami juga sempat berbincang dengan Jonathan Ozoh, seorang pemeran pengganti yang terbilang senior dalam dunia stuntman di Indonesia. Jonathan tak sekali dua nyaris kehilangan nyawa saat memerankan adegan berbahaya.

Jonathan Ozoh (ketiga dari kiri) dalam program Layar Perak di Metro TV, bersama Reza Rahardian, Iko Uwais dan Christine Hakim, Juni 2016. (Dok. pribadi)
Salah satu peristiwa yang dikenang Jonathan adalah saat menjadi pemeran pengganti dalam sebuah adegan tabrakan mobil. Saat itu, terjadi kesalahan kecil yang berakibat fatal. Alhasil, dirinya mengalami luka serius.
Mengalami patah tulang, kulit robek, pelipis pecah, badan luka-luka, sudah lazim bagi stuntman. Jonathan dan rekan-rekannya rela berkorban untuk menghasilkan sebuah adegan berbahaya yang sempurna.
“Kalau hasilnya bagus, ya buat mereka, buat aktor utama,” ujar Jonathan.
Sayangnya, ketika terjadi kecelakaan, pihak produksi jarang bahkan nyaris tidak ada yang memberikan bantuan dana. Tak ada asuransi, tak ada pula dana santunan.
Tapi, meski kurang diperhatikan dan bayarannya pun membuat ‘gigit jari’, Jonathan memiliki kebanggan tersendiri ketika bisa memerankan adegan berbahaya yang tidak bisa dilakoni aktor utama.
.jpg)
“Kadang kita malah dianggap figuran, duh,” sesal pria yang sudah 28 tahun menggeluti dunia stuntman ini.
Popularitas tidak penting. Yang diinginkan Jonathan kerja stuntman bisa dihargai. Paling tidak ada penghargaan untuk profesi itu. Tentu diikuti bayaran yang laik dan setimpal.
Lembaga resmi yang khusus menaungi para stuntman pun tidak ada. Berbeda dengan di luar negeri, yang disejajarkan dengan pelaku hiburan lainnya seperti musisi, artis, presenter, dan lain-lain.
Ambil misal di Amerika Serikat, profesi stuntman bernaung dalam organiasi Screen Actors Guild?American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA).
“Kita (Indonesia) nggak ada, stuntman memang tidak ada tempat,” pungkas Jonathan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News