ILUSTRASI: Hasil survei dari lembaga Poltracking mengenai persepsi dan perilaku pemilih pada Pilkada DKI Jakarta. (MI/Rommy Pujianto)
ILUSTRASI: Hasil survei dari lembaga Poltracking mengenai persepsi dan perilaku pemilih pada Pilkada DKI Jakarta. (MI/Rommy Pujianto)

Menerjemahkan Opini Publik

Medcom Files lembaga survei
Wanda Indana • 06 Februari 2017 13:04
medcom.id, Jakarta: Beda lembaga, beda pula hasilnya. Perbedaan hasil survei sudah mendegradasi kepercayaan publik. Walhasil, dugaan perselingkuhan lembaga survei dengan pasangan calon kian terasa.
 
Survei sejatinya dilakukan untuk mengukur opini publik yang dikuantitatifkan dalam bentuk angka. Survei tidak harus menanyakan opini seluruh masyarakat. Melalui teknik ilmiah, surveyor cukup menarik sampel dari populasi yang merepresentasikan opini seluruh masyarakat.
 
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby mengatakan, perbedaan hasil survei antar lembaga wajar-wajar saja. Menurut dia, kesalahan bisa ditolerir, asalkan tidak membohongi data.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
"Ketika ada perbedaan hasil berarti ada kemungkinan, ada lembaga yang salah,"kata Adjie saat ditemui metrotvnews.com di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis 2 Februari 2017. Menurut Adjie, kesalahan survei diakibatkan dua hal, faktor sampling error (kesalahan penarikan sampel) dan non sampling error. Sampling error merupakan bagian tahapan survei, yakni menentukan kerangka sampling, seperti menentukan jumlah responden, menentukan wilayah sebaran, dan pemilihan responden. Sampling error menentukan validasi data responden.
 
"Sampling error itu kesalahan dalam sisi metodologi. Misalnya kesalahan dalam melakukam sampling, kesalahan menentukan kerangka sampling seperti siapa yang harus disurvei, respondennya siapa," terang Adjie.
 
Sementara itu, non sampling error merupakan kesalahan di tingkat pewawancara (surveyor). Pewawancara bisa saja tidak melakukan wawancara, pewawancara mewawacarai orang yang salah, atau pewawancara memanipulasi hasil wawancara. Non sampling error ini bersifat subjektif, cenderung terjadi akibat kesalahan manusia (human error).
 
"Tapi menurut saya, lembaga-lembaga besar seperti LSI, Indikator, Saiful Mujani (SMRC) adalah lembaga yang berupaya meminimalisir kesalahan di sampling error maupun di non sampling error. Perbedaan saat ini harus diuji saat hari-H," imbuh dia.
 
Pemilihan metodologi survei
 
Ada dua metodologi yang umumnya digunakan untuk melakukan survei opini publik; metode systematic random sampling dan multistage random sampling. Metode systematic random sampling mulai ditinggalkan karena memiliki kelemahan.
 
Adjie mengatakan, metode systematic random sampling menghasilkan data yang tidak kongruen dengan populasi. Artinya, sample yang ditangkap, tidak mencerminkan opini semua masyarakat.
 
"Kita bisa lihat di kasus Pilpres 2009, di saat itu ada lembaga yang menggunakan metode systematic random sampling yang memenangkan Jusuf Kalla-Wiranto. Setelah kita lihat metodenya berbeda," ungkap Adjie.
 
Sedangkan metode multistage random sampling yakni teknik pengambilan sample dengan membagi wilayah sebaran. Sample diambil berdasarkan wilayah sebaran yang sudah dipetakan. Sample yang diambil lebih proporsional.
 
"Misalnya di Jakarta Timur ada sekitar 65 kelurahan, tidak semua keluarahan menjadi sampel, jadi kita pilih secara acak. Kelurahan yang dipilih juga akan pilih RT mana saja yang akan di datangi, ketika masuk ke RT terpilih, dibuat daftar kepala keluarga, dan kembali diacak sampai terpilih responden yang akan diwawancarai," urai Adjie.
 
Peneliti Senior bidang Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Syamsuddin Haris mengatakan, survei yang memakai metodologi yang sahih akan melahirkan opini publik yang akurat. Hasil survei harus bisa dipertanggungjawabkan karena dilakukan menggunakan prinsip-prinsip akademis.
 
"Kalau metodologinya itu sama, semestinya hasilnya tidak jauh berbeda, itu logika sederhananya," kata Syamsuddin.
 
Karena menggunakan prinsip akademis, hasil survei seharusnya tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Bila hasil survei memihak, sama saja mengkhianati ilmu pengetahuan.
 
"Bagaimana pun keberpihakan bisa memengaruhi hasil survei,” ucap dia,
 
Menerjemahkan Opini PublikSyamsuddin Haris (MI/Moh. Irfan)
 
Jebakan wording kuesioner
 
Syamsuddin mengungkapkan, selain metodologi, sifat pertanyaan atau kuisioner yang diajukan bisa memengaruhi jawaban responden. Melalui tahapan ini, lembaga survei mengatur bentuk pertanyaan untuk memperoleh opini publik yang lebih bervariasi.
 
Menurut Syamsuddin, tahap penyusunan pertanyaan rawan disalahgunakan. Kata dia, beberapa lembaga survei yang nakal merancang kuesioner untuk kepentingan pemesan survei.
 
"Hasil survei bukan semata-mata ditentukan dari metodologi, tapi bagaimana kuesioner itu disusun. Pertanyaan itu disusun menyangkut kepentingan, dari pengelola atau pemilik lembaga survei untuk mendukung kandidat, di mana dia (lembaga survei) menjadi konsultan politik,” tutur dia.
 
Peneliti LSI Ardian Sopa mengakui, perbedaan hasil survei terhadap masing-masing paslon, khususnya pada kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta lebih disebabkan permaianan kerangka kuesioner (wording). Kata Sopa, bentuk pertanyaan yang disodorkan akan memengaruhi jawaban responden.
 
Sopa menyebut, ada wording kuesioner yang bersifat probing. Jenis kuesioner ini bisa mengarahkan jawaban responden. Kuisoner probing dapat merubah preferensi responden. “Bisa (diarahkan),” kata Sopa.
 
Sopa mengungkapkan perubahan hasil survei juga terjadi pada jajak pendapat tentang legalisasi aborsi di Amerika Serikat. Mulanya, kuesioner yang diajukan meminta opini responden apakah setuju dengan legalisasi aborsi. Hasil survei menunjukkan 76 persen responden menyatakan tidak setuju. Namun, hasil survei berubah ketika kuesioner dimodifikasi.
 
“Tetapi ketika pertanyaan itu diubah sedikit, ‘Apakah setuju dengan aborsi, untuk menyelamatkan nyawa Anda? itu langsung berubah,” sebut Sopa.
 
Terkait Pilgub DKI, lanjut Sopa, wording kuesioner sering dilakukan dalam mengukur tingkat keterpilihan atau elektabilitas paslon dan kinerja calon petahana. Contoh pertanyaan, ‘Apakah bapak ibu setuju dengan penggusuran?’. Dari pertanyaan itu, peluang responden menjawab ‘tidak setuju’ akan lebih tinggi ketimbang responden yang menjawab ’setuju’.
 
Jika pertanyaan tersebut diubah menjadi ’Apakah bapak ibu setuju dengan penggusuran untuk menertibkan masyarakat?’. Maka ada peluang responden mengubah jawaban.
 
“Jadi jika ditambah pertanyaanya dengan kalimat 'untuk menertibkan masyarakat', itu jawabannya bisa berbeda,” ungkap dia.
 
Selain itu, lembaga survei juga bisa mamanfaatkan wording kuesioner untuk meningkatkan elektabilitas pasangan calon atau individu tertentu. Misalnya, ‘Apakah Anies-Sandi pantas menjadi gubenur DKI Jakarta?’. Pertanyaan tersebut hanya meminta opini, soal pantas atau tidak pantas. Menurut Sopa, ada peluang responden akan menjawab pantas. Tapi, belum tentu responden mendukung.
 
“Nilainya adalah pantas untuk menjadi gubernur, kepantasan. Tapi belum tentu orang mendukung dia (Anies-Sandi). Jadi beda, ada tahapan dari ‘pantas’ ke ‘dukung’,” jelas sopa,
 
Sama halnya dengan mengukur tingkat kesukaan. Contoh pertanyaan ‘Apakah bapak ibu suka dengan pasangan Anies-Sandi?’. Ada peluang responden menjawab suka, tetapi belum tentu mendukung.
 
Selain itu, perbedaan waktu pelaksanaan survei turut memengaruhi hasil survei. Sopa mengatakan, masyarakat Jakarta sangat dinamis. Pilihan masyarakat relatif berubah-ubah. Itu disebabkan kondisi geografis Jakarta yang mudah dijangkau pasangan calon dan tim sukses. Ditambah, eksposur media yang juga cukup besar.
 
“Secara isu, bisa cepat memengaruhi karena publik terakses media konvensional maupun media sosial. Jadi isu itu berpengaruh secara cepat. Ketika waktu pengumpulan data berbeda maka bisa saja hasilnya berbeda ketika survei dilakukan, karena survei membaca kecenderungan di saat survei dilakukan,” imbuh Sopa.
 
Karena itu, lembaga survei wajib menunjukkan daftar pertanyaan dan waktu pelaksanaan survei saat mengumumkan hasil survei ke publik. Selain itu, lembaga survei juga harus menunjukkan metodologi survei, jumlah responden, sumber pendanaan, dan lain-lain. Itu bagian dari kode etik lembaga survei.
 
“Makanya setiap rilis harus mencantumkan pertanyaanya. Dilihat apakah pertanyaan ini independen, mengarahkan atau tidak,” kata Sopa.
 
Menerjemahkan Opini Publik Hamdi Muluk (MI/Adam Dwi)
 
Penegakan Etik Lembaga Survei
 
Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk mengatakan, pihaknya telah mengatur standar metodologi yang dipakai lembaga survei. Persepi akan melakukan verifikasi ketika ada pebedaan hasil survei.
 
Persepi memeriksa kelengkapan metodologi, seperti memeriksa jumlah sampel dan teknik pengambilan sample. Kata Hamdi, prosedur survei harus mengikuti kaedah akademik. “Jadi, itu semua hal yang lazim diatur dalam kode etik penelitian,” kata Hamdi.
 
Terkait sumber pendanaan, kata Hamdi, lembaga survei bisa menerima dana dari siapa saja. Bahkan lembaga survei boleh menjadi konsultan politik dari calon kandidat. Di sini timbul permasalahan, hasil survei diragukan karena menjadi kunsultan politik pasangan calon.
 
Menurut Hamdi, justru pasangan calon harus menunjuk konsultan politik untuk melakukan survei. Pasangan calon harus melakukan pemetaan, diagnosa, untuk menentukan langkah politik. Melalui jasa konsultan politik, pasangan calon bisa mengetahui wilayah basis dukungan, siapa saja yang memilih, dan sebagainya. Hasil survei digunakan untuk mengatur strategi kampanye.
 
“Survei sebagai alat untuk memotret. Masalahnya adalah, apakah itu akan dia tampakan ke publik. Tapi tujuannya kan itu bukan buat pendidikan publik sebenarnya,” ujar Hamdi.
 
Hamdi mengakui penertiban lembaga survei yang melanggar kode etik sulit ditertibkan karena tak ada payung hukum. Penertiban semakin sulit karena sejumlah lembaga survei yang dianggap menyalahi aturan di luar anggota asosiasi.
 
“Nah, persoalan kita begini, memang area ini, pelanggaran ini, tidak bisa dipidanakan, tanpa cantolan UU, itu gak ada, itu yg repot. Jadi kalau kita bicara gimana ya bikin kapok orang-orang yang tadi, susah. Kalau di pers kan ada dewan pers. Ini kan tidak ada dewan yang sama,” pungkas Hamdi.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan