medcom.id, Jakarta: Semakin padatnya penduduk kota menyebabkan permasalahan perkotaan semakin rumit dan berkembang. Sebut saja transportasi umum dan kemacetan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, bencana hingga ruang terbuka, perizinan hingga ke lapangan kerja, hanya sedikit dari runyamnya masalah perkotaan.
Kota pun berusaha membenahi diri. Mulai reformasi tata ruang dan birokrasi, membangun kota ramah lingkungan nan asri, hingga mengarah ke digitalisasi. Model pembangunan kota nan cerdas beralias smart city pun dianggap menjadi salah satu solusi.
Kota-kota di Indonesia saling berkompetisi menjadi smart city. Membangun kota pintar berteknologi tinggi demi menghadapi rumitnya permasalahan yang dihadapi. Bandung, Surabaya dan DKI Jakarta adalah tiga kota yang paling mendekati.
Pertanyaannya, sampai di manakah pengembangan tiga kiblat utama smart city di Indonesia ini?
Guru besar Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung Suhono Supangkat menilai tiga kota tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam membangun smart city. Tiap kota yang yang mencoba jadi smart city pasti memiliki keunikan tersendiri.
“Masing-masing memiliki karakter tersendiri. Semangat bhineka tunggal ika benar-benar terlihat,” kata Suhono saat berbincang dengan medcom.id, Kamis (25/2/2016).
Tiap kota menghadapi masalah yang berbeda-beda dengan skala yang berbeda pula. Dari segi jumlah penduduk berdasarkan sensus 2015, DKI Jakarta memiliki penduduk 9,6 juta jiwa, Bandung sekitar 3 juta jiwa, sedangkan Surabaya sekitar 2,9 juta jiwa.
Keberagaman di tiap kota juga berbeda-beda dan kultur yang tidak sama. Hal ini membuat ketiganya menghadapi persoalan yang tidak sama.
Selain itu, karakter kepala daerah juga memberi peran yang cukup besar dalam membentuk kota cerdas. Karena, menurut Suhono, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, Ridwan Kamil di Bandung, dan Tririsma Harini di Surabaya berpengaruh dalam pembenahan tata kelola dan pendekatan yang digunakan.
“Ada yang suka media sosial, ada yang lihat dari bawah, ada yang lebih melihat dari atas, ada macam-macam gaya,” ujar dia.
Pun demikian, ketiga kota ini seakan berkompetisi dalam membenahi kotanya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut pendapat Suhono berdasarkan riset dan pemeringkatan yang dilakukannya bekerjasama dengan salah satu media nasional di Indonesia.
Tiga kota membangun
Berdasarkan Indeks Kota Cerdas yang dibuat Suhono dan rekan, ada empat tahapan smart city. Pertama adalah ad-hoc, yaitu kota yang hanya sekedar mencontoh atau baru memulai pengembangan model smart city. Banyak kota-kota yang mulai masuk ke tahap ini.
Kemudian tingkat scattered (terpecah), yaitu kota yang telah memulai inisiatif dan sudah membangun smart city secara terpisah-pisah. Beberapa kota itu sudah mulai membangun platform dan sistem smart city.
“Ada yang tahap ad-hoc menuju scattered contohnya Makassar, Yogyakarta, Semarang dan beberapa kota lain,” ungkap Suhono.
Kemudian tahap integrasi dan terakhir tahap smart. Suhono mengakui belum ada kota yang berhasil membangun sampai tahap smart city di Indonesia. Bahkan tahap integrasi belum ada yang berhasil menyentuh.
Namun untuk Jakarta, Bandung dan Surabaya adalah kota cerdas terbaik Indonesia saat ini. Ketiganya sudah beranjak dari tahap scattered menuju integrasi. “Belum bisa dikatakan smart. Masa kota macet dan banjir dikatakan smart,” ungkap Suhono yang turut membantu rancangan grand design smart city banyak kota di Indonesia ini.
Idealnya kota cerdas itu tidak ada kemacetan, banjir, kejahatan. Kalaupun ada, intensitas kejadianya tidaklah banyak.
Bandung
Untuk Bandung, Ridwan Kamil membanggakan Bandung Command Center (BCC). BCC menjadi pusat kendali teknologi informasi. BCC mengendalikan kamera pengintai (CCTV), pemantau GPS, dan ratusan aplikasi berbasis pelayanan sipil. Lewat BCC, Ridwan yang kerap disapa Kang Emil ingin warga dapat dilayani dan ditolong dengan cepat, efektif dan efesien.
BCC menjadi pusat operasi kota pintar. Ini berfungsi sebagai pusat pengolahan dan analisa data perkotaan yang dikumpulkan di lapangan. Lewat CCTV atau laporan dari warga dan pejabat terkait.
Bandung telah mencoba bangun komponen sensing system atau alat deteksi dan pengindera, serta sistem yang berfungsi untuk membantu pemangku kebijakan kota dalam memahami permasalahan. Beberapa aplikasi untuk membantu masyarakat kota juga disiapkan. Setidaknya ada 300 aplikasi perangkat lunak (software) yang disiapkan untuk menunjang smart governance kota Bandung.
“Tapi aplikasi itu belum kita audit semua ya. Banyaknya jumlah aplikasi itu belum tentu efektif dan baik. Perlu dikaji, apakah aplikasi sesuai dengan tujuan atau tidak,” ungkap Suhono.
Pemasangan CCTV, jaringan nirkabel dan sensor juga dilakukan di Bandung. Namun hal ini belum menjadi solusi karena tidak solusi alternatif disiapkan untuk masalah perkotaan yang ada.
Misalnya kemacetan. “Apakah sudah disiapkan solusi? Belum ada kan. Sensing dan understanding mungkin sudah bisa. Tapi cukup tahu ada macet, so what.”
Bandung, tambah Suhono, masih dalam tahapan kemampuan monitor masalah. Kebanyakan kota-kota dunia juga baru mampu mengetahui masalah yang mereka hadapai dengan teknologi yang mereka gunakan. Namun, belum banyak yang bisa mengeluarkan perintah dan kebijakan sesuai dengan masalah yang ada secara pintar dan bijak.
Ridwan memiliki ide-ide yang belum mampu diterjemahkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di bawahnya. Suhono pun mengakui mendelegasikan tata kelola kepada SKPD tidaklah mudah dilakukan oleh kepala daerah yang sedang menjabat.
Jakarta
Beda gaya Kang Emil, sapaan Ridwan, beda pula gaya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kang Emil cenderung tidak menemukan resistensi dari jajaran SKPD dalam memperbaiki tata kelola dan akhirnya mampu mencapai tahap smart city yang sekarang terjadi di Bandung. Ahok di sisi lain membentuk smart city dengan harapan mempercepat reformasi birokrasi di DKI Jakarta.
Seringkali permainan pejabat SKPD DKI Jakarta mencuat ke permukaan. Beberapa kasus bahkan sangat menghebohkan seperti kasus pengadaan TransJakarta dan pengadan Uninterupable Power Supply (UPS) ke sekolah-sekolah di Jakarta. Penerapan sistem penganggaran elektronik (e-Budgeting) dan tender elektronik (e-Procurement) dikembangkan. Harapannya, menekan permainan dan meningkatkan transparansi.
Pemprov DKI Jakarta juga meluncurkan pusat perizinan terpadu dengan mengintegrasikan pelayanan dari masing-masing SKPD. Penerapan sistem pengurusan izin terintegrasi lewat Pusat Terpadu Pelayanan Satu Pintu (PTSP) dijalankan untuk mengurangi pungutan liar yang selama ini menjadi masalah di tata kelola. Selain itu birokrasi perizinan dapat dipercepat dan dibuat efesien dengan bantuan teknologi.
Selain itu Warga juga dapat melayangkan laporan dengan aplikasi Qlue di telepon cerdas atau via sms ke nomor pusat pengaduan yang telah disediakan. SKPD, Camat dan Lurah di Jakarta “dipaksa” untuk ramah dengan teknologi serta bergerak serba cepat karena semua laporan terdata di pusat informasi yang dikelola UPT Smart City.
“Jakarta bersama pak Ahok sedang berusaha keras membangun smart city. Tapi baru membuat aplikasi, dan baru berusaha mengintegrasikan. Tetapi proses dalam integrasi yang masih terjadi ketimpangan,” Suhono menilai.
Banyak yang menilai SKPD di DKI Jakarta setengah hati membangun smart city. Spekulasi niatan buruk SKPD untuk menggagalkan pengembangan smart city agar dapat tetap bermain pun sering beredar. Namun karakter Ahok sedikit dapat membantu.
“Akhirnya kan pergerakan SKPD cepat di Jakarta. Tiap tiga bulan ada diganti kalai tidak beres. Jadi orang dan tata kelola yang masih bermasalah. Karena mesin kan tidak mungkin salah karena teknologi manusia yang digerakkan,” kata dia.
Surabaya
Di bawah kepemimpinan Tririsma Harini, birokrasi gaya lama direformasi. Digitalisasi layanan publik pun dilakukan di berbagai lini.
Dapat dikatakan, Surabaya adalah kota pertama yang berhasil menerapkan e-Governance. Percepatan proses perizinan yang dilakukan jajaran Risma menjadi model bagi daerah-daerah lain.
Pengurusan izin dapat berjalan lebih cepat dan terukur karena menggunakan sistem daring (online). Selain itu, proses penganggaran juga lebih transparan dengan keberadaan e-Budgeting.
Surabaya mampu mengembangkan smart city yang fokus kepada pelayanan publik, walaupun minim teknologi jika dibandingkan Bandung dan Jakarta. Selain itu pembenahan tata ruang yang dilakukan di masa kepemimpinan Risma juga patut diancungi jempol.
Walau demikian hanya gaung e-Governance dari program smart city Surabaya yang terdengar gaungnya. Suhono menilai hal ini sangat wajar mengingat karakter dan latar belakang Risma.
“Karena Bu Risma itu mulai dari bawah, dari PNS, jadi yang dibenahi pertama itu adalah tata kelolanya. Akhirnya tata kelola Surabaya itu bagus. Jadi dimulai dari e-government. Mulai dari proses perizinan, pelaksanaan di lapangan,” tutur dia.
Sangat disayangkan inovasi Surabaya terkesan berhenti. Model kota cerdas di Indonesia yang pertama kali dimulai Surabaya tidak ada hal baru. Jarak waktu yang dibuat Surabaya terkejar Bandung dan Jakarta. Bahkan Bandung lebih banyak disebut ketimbang Surabaya yang memenangkan salah satu ketegori Smart City Awards tahun 2011.
Ketiga kota besar ini dapat terus mengembangkan model smart city yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing agar bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kota lain. Karena menurut dia, model smart city tidak dapat direplikasi ke kota lain. Bila model Jakarta sukses, belum tentu dapat berhasil di Bandung. Begitu pula bila e-Governance Surabaya berhasil, belum tentu pula bisa berjalan baik di Jakarta. Hanya bisa dicontek sedikit-sedikit.
Suhono hanya berharapa semakin banyak kota yang semakin cerdas. Didukung dengan pertumbuhan masyarakat yang semakin cerdas pula.
“Karena smart city itu bagaimana mengatasi masalah perkotaan seperti kemacetan, atau bencana seperti banjir dan kebakaran, dengan cepat dan akurat,” kata Suhono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News