medcom.id, Jakarta: Hampir genap dua tahun sudah perjalanan konflik perpecahan menimpa Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jika berkenan diingat, jalan panjang menuju islah ini berlangsung sejak 2014 lalu. Konflik bermula di saat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP, Suryadharma Ali (SDA) menghadiri kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pimpinan Prabowo Subianto pada 23 Maret 2014. Sontak, manuver sang ketua umum partai ini diprotes oleh 27 perwakilan dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP se-Indonesia. Lantas persoalan merembet kepada perkara saling pecat antarkubu, hingga melahirkan dua muktamar di Surabaya yang memilih secara aklamasi M. Romahurmuzy dan di Jakarta yang memunculkan nama Djan Faridz sebagai ketua umum.
Perselisihan antarkubu di DPP PPP memang tidak bisa ditafsiri secara tunggal. Masing-masing mengantongi klaim kronologi yang berbeda. Kubu Romahurmuzy menarik persoalan lebih mundur dari bulan Maret 2014 tentang kehadiran SDA dalam kampanye Partai Gerinda, namun kubu lainnya, yakni Djan Faridz, menghitung awal mula letupan konflik baru dimulai justru saat kubu Romahurmuzy memecat SDA dari kursi ketua umum PPP pada 10 September 2014 silam.
“Dulu memang sering disebabkan oleh latar belakang organisasi keislaman yang berbeda. Tapi untuk konflik kali ini, NU lawan NU. Meski begitu, saya mewakili Parmusi tetap optimis PPP akan semakin dewasa dan maju,” kata Ketua Umum Persaudaraan Muslim Indonesia (Parmusi), Usamah Hisyam, saat ditemui medcom.id di kediamannya, di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Tidak hanya bagi Parmusi, sebuah organisasi yang mempunyai andil dalam sejarah pendirian PPP, namun, perpecahan ini juga tentu dirasakan dampaknya bagi para pengikut setia di daerah. Lantas, seperti apakah peta kekuatan dua “ketum” dalam satu partai ini?.
Ihwal Romy dan Djan Faridz
Pada mulanya, konflik perpecahan di PPP hanya memunculkan dua nama yang saling berhadapan, yakni sang ketua umum, Suryadharma Ali dan sekretaris jenderal, M. Romahurmuziy. Konflik kemudian bergeser melibatkan satu nama pengganti SDA yang didapuk sebagai ketua umum baru dalam muktamar PPP versi Jakarta, ialah Djan Faridz.
Secara utuh, nama Romahurmuziy boleh jadi belum begitu populer di kalangan eksternal PPP. Namun dalam tradisi partai, pria yang akrab disapa Gus Romy ini cukup memiliki modal untuk meraup dukungan dalam meraih kursi pucuk kepemimpinan partai yang dideklarasikan pada 5 Januari 1973 ini. Romy mengaku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat mencintai partai berlambang kakbah sejak lampau.
“Saya paham karena dibesarkan dalam lingkungan yang dekat dengan dunia politik terutama NU (Nahdlatul Ulama) dan PPP, terlebih saya membaca buku-buku sejarah,” ujar Romy kepada medcom.id di Jakarta, Kamis lalu.
Tentang Romy, pria kelahiran 10 September 1974 ini merupakan putra KH Tolchah Mansoer, pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Soal politik, ayahanda Romy juga merupakan anggota DPR-GR mewakili Partai NU di era Orde Lama. Sementara secara garis keturunan lebih lanjut, Romy merupakan cucu dari KH Muhammad Wahib Wahab yang merupakan Menteri Agama RI Kabinet Kerja I dan II pada tahun 1959 – 1962. Sementara ayah Wahib, ialah KH Wahab Chasbullah, pendiri sekaligus penggerak Jamiyah NU.
Lain lagi tentang Djan Faridz, Menteri Perumahan Rakyat pada Kabinet Indonesia Bersatu II ini memang tidak memiliki garis keturunan segemilang rivalnya, Romahurmuziy. Akan tetapi keterkaitan bos PT Dizamatra Powerindo dengan NU dan PPP ini tidak bisa dianggap sepele. Pengabdian Djan di tubuh NU berhasil mengantarkannya menjadi Ketua Pimpinan Wilayah (PW) NU DKI Jakarta periode 2011-2016. Djan juga dikenal memiliki jaringan yang kuat dan luas di dunia pesantren dan tokoh PPP berbasis NU.
"Pak Djan itu anggota majelis pakar DPP PPP sejak era kepemimpinan Hamzah Haz. Kemudian melihat orang berjasa atau tidak itu tidak harus sejak kapan dia berada di PPP?. Gus Dur, bisa jadi presiden apa pernah menjabat menteri?, Jokowi jadi presiden, apa juga harus jadi wakil presiden?, kan asal dipilih rakyat?. Nah, Pak Djan ini hasil pilihan umat. Asal sudah sesuai konstitusi dan AD/ART, ya tidak masalah," ujar Sekretaris Jenderal DPP PPP Muktamar Jakarta, Dimyati Natakusumah, kepada medcom.id.
Menurut Dimyati, yang terpenting bagi pihaknya sekarang ini adalah Kemenkumham segera menerbitkan surat pengesahan kepengurusan hasil Muktamar Jakarta. Setelah itu pihaknya mengaku telah menyiapkan banyak langkah untuk kembali menyatukan PPP.
"Jika sudah sah, ya kami akan rangkul Romy dan kawan-kawan. Jelas. Mereka itu potensial, mereka itu kader-kader terpilih," ujar dia.
Soal seberapa potensial bagi keduanya dalam menggerakkan partai, boleh jadi Romy dan Djan sama-sama memiliki strategi jitu namun dengan cara yang berbeda. Tinggal seperti apa keduanya melangkah menuju islah, saran terbaik untuk masa depan “Rumah Besar Umat Islam”.
Strategi politik Islam tradisionalis
Dipandang dari sejarah pendiriannya, PPP merupakan partai politik yang terdiri dari ragam komponen organisasi keislaman. Di dalamnya terdapat empat partai peserta pemilu 1971 yang tergabung sebagai respon kebijakan politik Pemerintah Orde Baru tentang penyederhanaan dan fusi partai. Mereka adalah Partai NU, Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), serta Partai Islam (Perti).
“Keanggotaan PPP dari NU masih menjadi yang terbanyak. Berikutnya Parmusi,” kata Usamah.
Kesetiaan pendukung PPP dari basis NU ini bukan perkara yang terjadi begitu saja. NU sebagai bagian dari keterwakilan kelompok Islam tradisionalis memiliki pola dan komunikasi tersendiri, termasuk dalam dunia perpolitikan, yakni pola hubungan santri-kiai.
“Peranan dan kepribadian kiai dalam pesantren sangat menentukan dan karismatik. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri,” tulis Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
Dengan pola hubungan santri-kiai ini, pengaruh NU dalam perjalanan sejarah cukup terasa. NU pernah mendongkrak sekaligus menggembosi suara PPP, terutama di saat jamiyah ini memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam politik praktis atau dikenal dengan kembali ke khittah 1926. Selain hubungan santri-kiai, NU juga dikenal menaungi ragam komunitas tarekat dengan jaringan yang cukup kuat.
“Di Indonesia, Golkar dan para partai politik juga sangat sadar akan potensi tarekat sebagai gudang suara,” tulis Martin Van Bruinessen dalam Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akherat?.
Jika PPP masih menghitung keberadaan dan pengaruh NU dalam kancah perpolitikan Indonesia, maka, Romy dan Djan Faridz sama-sama memunculkan harapan baik, hanya saja, menggerakkan pesantren sebagai poros dakwah Islam dalam jalur politik perlu kehati-hatian, dan pola berpikir yang jernih.
“If someone is able to separate sugar from its sweetness, he will be able to separate Islamic religion from politics (Islam dan politik seperti gula dan manisnya. Jika seseorang bisa memisahkan gula dari manisnya, dia akan mampu memisahkan Islam dari politik,” ujar KH Wahab Chasbullah, sebagaimana dikutip A Samson dalam buku Political Power and Communications in Indonesia.
Ijtihad Parmusi
Sebagaimana sikap yang pernah dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1984, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) juga menyatakan melepaskan diri secara organisasi dari hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia. Istilah “partai” pada akronim “Parmusi” diubah menjadi “Persaudaraan” pada 26 September 1999 melalui muktamar sekaligus musyawarah nasional (munas) di Yogyakarta.
“Ini merupakan salah satu jawaban atas kenyataan bahwa kepemimpinan Muslimin Indonesia (MI) yang pada waktu sebelumnya berhimpit dan menyatu dengan kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika PPP sudah berganti kepemimpinan, MI sulit melakukan konsolidasi dan cenderung stagnan,” kata Ketua Umum Parmusi, Usamah Hisyam, saat ditemui medcom.id, Rabu lalu.
Meskipun begitu, kata dia, Parmusi tidak melarang para kadernya untuk bertahan dalam kepengurusan PPP. Hanya saja, keterlibatan kader Parmusi dalam tubuh partai berlambang kakbah itu bersifat personal.
“Parmusi kini sebagai organisasi yang inklusif. Konsentrasi penuh pada sosial kemasyarakatan, serta menyiapkan kader berkualitas,” kata Usamah.
Terkait perselisihan yang sedang menimpa pucuk pimpinan PPP, Usamah menegaskan Parmusi kerap memosisikan diri sebagai mediator dan penengah untuk mengantarkan kedua kubu, baik Romahurmuziy maupun Djan Faridz mencapai kesepakatan islah.
“Kami tetap optimis, ini adalah ujian untuk mendewasakan para kader PPP. Ke depan, PPP akan menjadi lebih baik,” kata dia.
Parmusi dan Kebijakan Fusi
Parmusi mulai dikenal sejak menjadi salah satu peserta pemilu 1971. Dalam pemilu pertama era Orde Baru tersebut, Parmusi hanya meraih 5,36 persen suara. Parmusi yang merupakan reinkarnasi dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) ini pada akhirnya menjadi bagian penting dalam merespon gagasan pemerintah untuk melakukan penyederhanaan partai politik bersama tiga partai lainnya, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) serta Partai Islam (Perti). Mereka melebur ke dalam PPP pada 5 Januari 1973 untuk tetap dapat berlaga di panggung perpolitikan nasional.
“Baik Soekarno maupun Soeharto, saat itu semacam memiliki kekhawatiran yang sama terhadap kekuatan politik Islam yang ada. Soekarno membubarkan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) tahun 1960 atas kecurigaannya tentang keterlibatan beberapa tokoh dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), padahal salah satu tokoh Masyumi sendiri, yakni M. Nasir lah yang gencar mempromosikan kesatuan RI, melalui istilah yang dikenal dengan Integral Nasir, dia telah berhasil menyatukan berbagai kelompok,” kata Usamah.
Parmusi tidak berdiri sendiri. Rumah bagi para penerus pemikiran Islam modernis ini merupakan hasil gabungan dari 16 organisasi kemasyarakatan pada 17 Agustus 1967. Mereka adalah Muhammadiyah, Al-Djamjatul Washlijah, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbindo), Persatuan Islam, Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Ittihadijah, Persatuan Organisasi Buruh Islam se-Indonesia (Porbisi), Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad, serta Wanita Islam.
“Tidak hanya itu, kami juga didukung oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Majelis Seni Budaya Islam (Masbi),” kata Usamah.
Pada prosesnya, Parmusi mampu memberi pengaruh cukup besar dalam perkembangan PPP. Bahkan, partai yang mengadopsi ideologi Islam modernis ala Natsir ini mampu bertahan dalam menempati pucuk pimpinan PPP hingga jelang reformasi 1998.
“Baru setelah reformasi, pucuk pimpinan PPP pindah ke NU, dua periode Hamzah Haz, dan dua periode Suryadharma Ali,” ujar dia.
Kepemimpinan PPP menurut Parmusi
Semenjak konflik perpecahan terjadi di tataran elite PPP terjadi, Usamah menjelaskan Parmusi terus berusaha bersikap netral dan mencoba mengambil posisi sebagai penengah. Parmusi beranggapan bahwa kepemimpinan yang dibutuhkan PPP saat ini adalah sistem kepemimpinan yang berakhlak dan mampu membawa umat Islam Indonesia sebagai masyarakat madani.
“Dulu memang sering disebabkan oleh latar belakang organisasi keislaman yang berbeda. Tapi untuk konflik kali ini, NU lawan NU. Meski begitu, saya mewakili Parmusi tetap optimis PPP akan semakin dewasa dan maju,” kata Usamah.
Usamah mengakui, Parmusi kini tidak hanya memiliki kader di PPP, namun terus mendorong pembentukan kader-kader berkualitas untuk menyalurkan aspirasi melalui peluang di berbagai partai.
“Kita sedang terus berpikir soal kualitas, karena keterbatasan kader di kancah politik ini perlu ditopang dengan kualitas yang tinggi,” kata dia.
Terkait kritik kepartaian yang ada di PPP, Usamah membandingkan dengan pola yang terbentuk dalam sejarah Partai Golkar. Menurut dia, perwakilan kelompok induk organisasi (Kino) yang memiliki hak suara dalam penentuan tampuk pimpinan partai berlambang bringin itu merupakan kelebihan yang tidak dimiliki PPP. Hal itu, kata Usamah, juga menjadikan pendukung dari partai yang tergabung dalam pembentukan PPP tidak terakomodasi secara total.
“Tapi di sisi lain ini juga keuntungan, karena Parmusi tidak lagi terlibat dalam politik praktis, punya peluang besar untuk konsentrasi di bidang sosial kemasyarakatan,” ujar Usamah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News