ILUSTRASI: Hasil survei menunjukan data elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama. (ANTARA/Muhammad Adimaja)
ILUSTRASI: Hasil survei menunjukan data elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama. (ANTARA/Muhammad Adimaja)

Survei dan Keunikan Petahana

Medcom Files lembaga survei
Sobih AW Adnan • 06 Februari 2017 15:58
medcom.id, Jakarta: Tinggi angka, survei dipuja. Jika rendah, sulit dipercaya.
 
Begitulah komentar yang kerap didengar dari para kandidat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 kala menanggapi publikasi hasil survei elektabilitas dari lembaga riset.
 
Bahkan, khusus di DKI Jakarta, hal serupa pernah diungkap oleh seluruh keterwakilan kontestan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Hasil survei di mata paslon Pertama, pasangan calon (Paslon) Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Pada 2 Februari 2017, mereka mengaku tidak perlu ambil pusing saat tingkat keterpilihannya dikabarkan sejumlah lembaga survei berada di posisi paling buncit. Agus pun tak ragu menyebut bahwa tidak semua lembaga survei kredibel dan independen.
 
Sikap itu, tentu berbeda jauh ketika Poltracking Indonesia menempatkan mereka di posisi puncak elektabilitas dalam publikasi hasil survei pada 27 November 2016. Kala itu, Agus mengatakan bahwa hasil survei patut dijadikan lecutan semangat.
 
Gaya senada juga pernah dilontarkan calon petahana bernomor urut 2, Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Oleh Djarot, hasil survei yang dikeluarkan Grup Riset Potensial (GRP) pada 17 Januari 2017 dibilang halal diragukan keakuratannya.
 
GRP memang menempatkan paslon petahana pada posisi bungsu dengan tingkat elektabilitas cuma 23%, jauh dibanding Agus-Sylvi yang berada di posisi puncak sebesar 45%. Djarot menengarai, bisa saja lembaga survei berafiliasi dengan salah satu paslon.
 
Baca: Wajah Bopeng Dunia Survei
 
Begitu juga paslon nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno. Pada 21 Desember 2016, bahkan Anies menyebut hasil survei tidak lebih dari fenomena telolet. Kelakar Anies tersebut terlontar saat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Litbang Kompas sama-sama tak memberinya cukup banyak angka dalam survei elektabilitas yang melibatkan 800-an responden itu.
 
"Saya lihat survei juga banyak telolet," ujar Anies.
 
Makin dekat waktu pencoblosan, kian marak publikasi hasil survei. Meski sempat menjadi polemik lantaran hasil yang cenderung berbeda-beda, belakangan tiga dari lima lembaga survei berpengalaman menunjukkan nuansa yang nyaris seragam. Terlebih, kecenderungan terdongkraknya elektabilitas paslon petahana.
 
Ahok-Djarot dalam tren survei
 
Nyaris dalam waktu bersamaan, lima lembaga riset terkenal merilis hasil survei elektabilitas cagub-cawagub Pilkada DKI Jakarta. Survei dilakukan demi membaca perubahan respon publik pasca digelarnya Debat Pertama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta pada Jumat, 13 Januari 2017.
 
Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI) tak mau menunggu lama. Sehari setelah debat mereka melakukan survei hingga 26 Januari 2017. Hasilya, Agus-Sylvi memiliki elektabilitas 26,8%, Ahok-Djarot 25,8%, dan paslon nomor tiga, Anies-Sandi dengan elektabilitas 26,2%. Dengan melibatkan 600 responden, LKPI juga menunjukkan banyaknya responden yang belum menentukan pilihan hingga sebesar 21,2%.
 
Berikutnya, Populi Center. Lembaga yang didirikan pada 2012 ini menyurvei warga Jakarta pada 14-19 Januari 2017. Hasilnya, Agus-Sylvi berada posisi paling bawah dengan elektabilitas 25,0%, Ahok-Djarot 36,7%, sementara Anies-Sandi 28,5%.
 
Pada 12-20 Januari 2017, lembaga survei Indikator Politik Indonesia juga melakukan pembacaan terhadap elektabilitas paslon. Hasil survei itu juga menunjukkan elektabilitas Agus-Sylvi di posisi paling buncit 23,6%, dan Ahok-Djarot bertengger paling atas sebesar 38,2%. Sedsangkan elektabilitas Anies-Sandi masih berada ditengah dengan tingkat keterpilihan 23,8%.
 
Selanjutnya, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dengan masa survei yang lebih banyak dua hari dibanding Indikator, hasil survei lembaga ini juga menempatkan Ahok-Djarot di posisi teratas dengan tingkat elektabilitas sebesar 34,8%. Begitu juga Agus-Sylvi yang berada di bawah dengan angka cuma 22,5%. Sementara Anies-Sandi 26,4%.
 
Sementara Charta Politika melakukan survei pada 17-24 Januari 2017. Hasil survei menunjukkan bahwa elektabilitas Agus-Sylvi 25,9%, Ahok-Djarot 36,8%, dan Anies-Sandi 27,0%.
 
Charta Politika merilis angka responden yang belum menentukan pilihannya sebanyak 10,3%. Berbeda dengan empat lembaga sebelumnya, survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 767 responden di enam wilayah di Jakarta.
 
Survei dan Keunikan Petahana
 
Meski tak melulu dengan posisi yang sama, namun dari lima lembaga survei itu menunjukkan perubahan tingkat keterpilihan paslon yang serupa. Agus-Syilvi kian melorot dibanding survei-survei sebelumnya, Anies-Sandi yang terkesan stagnan alias tidak banyak perubahan, sementara paling mencolok justru berada pada pergerakan survei Ahok-Djarot. Mengingat sebelumnya, paslon ini digambarkan banyak lembaga survei dengan angka elektabilitas yang terjun bebas lantaran kasus yang tengah mendera sang petahana.
 
Direktur Ekskutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengakui debat pertama memberikan angin segar bagi paslon Ahok-Djarot. Melalui gelaran itu, Ahok-Djarot dianggap responden mampu memaparkan visi, misi, dan program kerja dengan baik.
 
"Pascadebat, ternyata ada pengaruh yang cukup besar dari pandangan responden terhadap kemampuan dari pasangan yang maju. Dan itu terpengaruh terhadap pilihan mereka dalam menentukan elektabilitas masing-masing pasangan," kata kata Yunarto, kepada medcom.id usai merilis hasil survei elektabilitas pasangan calon Pilkada DKI Jakarta, di kantor Charta Politika, Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/2/2017).
 
Pria yang karib disapa Toto ini juga mengatakan, kenaikan elektabilitas Ahok dipengaruhi atas pengamatan responden atas tahapan sidang kasus hukum yang sedang dijalani mantan Bupati Belitung Timur tersebut. Beragam informasi persidangan yang ditangkap responden sedikit banyak memberi daya dongkrak membaiknya popularitas Ahok.
 
“Terutama yang kami rilis terkait tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Pemprov DKI Jakarta yang tak lain bersinggungan dengan petahana,” kata Toto.
 
Rekam jejak menguntungkan petahana?
 
Ada kesan menyodori responden dengan pertanyaan tentang kepuasan terhadap kinerja Pemprov DKI Jakarta akan menguntungkan paslon petahana. Apalagi, jika berondongan soal pada kuesioner itu ditempatkan di bagian paling muka sebelum menyinggung pertanyaan tentang kandidat lainnya.
 
Toto membantah hal tersebut. Untung tidaknya paslon petahana justru ditentukan mereka sendiri di kala menjabat.
 
“Beruntung di DKI Jakarta, responden banyak yang mengatakan puas lantaran memang kinerja yang pernah dilakukan Ahok-Djarot saat menjabat cukup baik. Tapi jika sebaliknya, rekam jejak yang buruk akan merugikan paslon petahana itu sendiri,” kata Toto.
 
Sebut misal ketika mengacu hasil survei Charta Politika pada November lalu. KJS, cuma bisa mengambil hati 28,8% warga Jakarta. Sedangkan pada awal Januari menanjak menjadi 29,7%. Hal serupa terjadi pada KJP, tingkat kepuasan meningkat dari 19,1% menjadi 21,9%.
 
"Ada dua perhatian utama warga yang merasa tidak puas. Yakni, 29,1 persen soal penanganan kemacetan, serta 26,7 persen terkait penyediaan lapangan kerja," ujar Toto.
 
Namun pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) itu mengatakan, ada hal unik yang ditengarai cuma terjadi di Ibu Kota dan tidak banyak tampak di wilayah Indonesia lainnya. Yakni, tingkat kepuasan tinggi terhadap kinerja petahana tidak berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan dalam survei.
 
"Selisihnya hampir separuh. Tingkat kepuasan 65,8 persen, sementara elektabilitas 36,8 persen," ujar dia.
 
Padahal, kata Toto, ketika calon dari petahana berhasil mendapatkan angka kepuasan publik terhadap kinerja yang tinggi, maka bisa dipastikan ia akan memenangi pertarungan. "Di Jakarta, tidak. Belum tentu," kata dia.
 
Tak hati-hati
 
Siapa menafikan dunia politik yang serba berkemungkinan? Nyaris semuanya tidak bisa dikatakan pasti.
 
Di tengah kabar baik yang diterima petahana berupa lonjakan elektabilitas fantastis sebagaimana banyak ditunjukkan lembaga survei, belakangan, Ahok-Djarot dianggap dirugikan oleh ketidak hati-hatiannya sendiri.
 
Direktur Alvara Research Center, Hasanuddin Ali berpendapat aneka ragam survei yang dilakukan pascadebat pertama bisa dipastikan dengan kondisi riil publik hari ini. Hal itu, dipengaruhi insiden persidangan ke-8 kasus hukum Ahok yang menimbulkan kekecewaan sebagian publik, terutama kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU) atau yang lazim disebut Nahdliyin.
 
Sebagaimana diketahui, dalam sidang yang dihelat pada Selasa, 31 Januari 2017 itu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta menghadirkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin sebagai saksi ahli. Ahok dan kuasa hukumnya menuding sosok yang juga menjabat Rais Aam Syuriah NU itu tidak obyektif dalam memberikan kesaksian.
 
“Kekecewaan Nahdliyin tentu akan berdampak pada elektabilitas Ahok. Solidaritas NU begitu kuat. Penting bagi para kandidat untuk menimbang keberadaan warga NU di Ibu Kota, terutama menjaga hubungan baik dan komunikasi," kata Hasanuddin kepada medcom.id, Kamis (2/2/2017).
 
Alvara memang dikenal sebagai lembaga survei yang kerap merilis pengaruh sikap keberagamaan Islam di Indonesia. Baru-baru ini misalnya, lembaga itu melansir hasil survei bertajuk Potret Keberagaman Indonesia. Dengan metode wawancara tatap muka melibatkan 1.626 responden di 34 provinsi, Alvara menempatkan NU sebagai organisasi paling dikenal. Bahkan, angka yang muncul sampai 97,0%. Mengungguli Muhammadiyah 93,4% atau Front Pembela Islam (FPI) dengan angka 68,8%.
 
“Khusus di Jakarta, warga NU memang tidak sebanyak di Pulau Jawa lannya. Tapi gaungnya tetap berdampak,” kata Hasanuddin.
 
Dia menyebut, jumlah warga NU yang paling mendekati riil adalah dengan menghitung total dari suara dari dua partai keterwakilan Islam. Yakni, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
 
Pada Pemilu Legislatif DKI Jakarta 2014, PPP memperoleh 452.224 suara (9,97 persen), sementara PKB mendapat 260.159 suara (5,73 persen). Jika dijumlah, maka dibayangkan pemilih dari warga NU berjumlah 712.383 orang (15,69 persen).
 
“Bisa berpengaruh kepada lebih dari 10 persen suara,” ujar dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan