Curhat lewat komik (MI/Ramdani)
Curhat lewat komik (MI/Ramdani)

Peluang Baru Komikus

Medcom Files komik
Surya Perkasa • 10 Oktober 2016 21:07
medcom.id, Jakarta: Bercerita lewat gambar merupakan sebuah budaya yang dimiliki dimiliki hampir tiap bangsa. Perlahan budaya ini bermetamorfosa menjadi budaya populer dan membentuk subkultur tersendiri.
 
Cerita bergambar dari Indonesia, Comic dari Amerika Serikat, Manga dari Jepang, dan beragam nama lain dipakai. Beberapa menjadi pakem tersendiri dan menciptakan sebuah industri bernilai raksasa.
 
Sebagian berhasil membentuk skema bisnis dan menciptakan pasar yang loyal. Manga dari Jepang misalnya, diperkirakan memiliki nilai hingga USD500 juta dari penerbitan hingga bisnis turunanannya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Di Indonesia sendiri, cerita bergambar yang sempat merajai pasar lokal dan menjadi fenomena sosial masyarakat modern. Contohnya komik strip Put On karya Kho Wan Gie yang memotret hal sederhana di masyarakat metropolitan. Industri komik, sebutan umum cerita bergambar di Indonesia, bahkan memberi pengaruh ke bisnis industri kreatif lain. Sebut saja Ganes Thiar Santosa (Ghanes Th) yang membuat genre silat menjadi hiburan baru masyarakat. Begitu pula genre roman karya komikus lain yang menjadi pendamping genre silat.
 
“Komikus semakin menjamur. Film-film silat di era 60-80an juga semakin disukai karena pengaruh komik. Bahkan beberapa film itu mengangkat cerita cerita bergambar kala itu,” kata pekar komik Hikmat Hidayat kepada medcom.id, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
 
Tapi, komikus menjadi terlena dengan kesuksesan dan tersingkir oleh perubahan zaman. Bisnis penerbitan yang merujuk standar kualitas komik impor membuat komikus Indonesia tak bisa bersaing. Baik dari produktivitas maupun kualitas.
 
Walau pahit, harus diakui komik Indonesia sempat terpuruk ke jurang dalam. Tak ada kesempatan komik lokal bersaing walau penerbit masih memberi ruang.
 
Pesimistis ke pasar lokal
 
Di sudut kafe di salah satu kantor penerbit nasional kami bertemu. Pria yang dikenal dengan nama pena Faza Meonk tampak mengenakan jaket lengan panjang berwarna hijau, dan flat cap abu-abu dengan pin dari manga P-Man tersemat. Ditemani kopi, pencipta karakter komik Si Juki ini bercerita bagaimana dia sempat pesimis untuk terjun ke dunia komik.
 
“Saya dulu sempat terpengaruh komik Jepang kayak Doraemon dan mulai belajar bikin komik dari SD. Waktu mau terjun, saya sempat pesimis jadi komikus. Saya akhirnya banting stir dan kuliah animasi,” cerita Faza kepada medcom.id, Rabu (5/10/2016).
 
Peluang Baru Komikus
Komikus muda Faza Meonk membuka cerita seputar kesuksesan komik Si Juki -MTVN/Coki Lubis
 
Sesekali menyeruput kopi susu khas Italia yang dipesannya, Faza berkisah bagaimana komikus lokal tak bisa sejahtera. Mulai dari dominasi komik dari Jepang sampai Eropa dan Amerika, skema bisnis komik nasional yang masih meraba-raba setelah terpuruk, hingga ke gamangan penerbit mengorbitkan komikus lokal.
 
Andika Pramadya sebagai salah satu manajer bagian promosi dan produk Elex Media Komputindo, pemain terbesar komik di Indonesia, mau tak mau mengakui hal ini. “Memang kan pada dasarnya kan penerbit mencari profit. Pasti ditimbang, ‘kira-kira karya komikus ini laku tidak ya kalau saya terbitkan’. Karena ini kan bisnis,” kata Andika.
 
Wajar memang. Biaya menerbitkan komik sama halnya dengan produk industri penerbitan lain. Biaya kertas, logistik, hingga pemasaran ke pasar menjadi pertimbangan. Di Jepang, komik memiliki harga sekitar 3.000-5.000 yen. Sedangkan biaya makan di negeri Sakura yang paling murah berkisar 500-1.000 yen.
 
Selain terjangkau, komik dengan mudah diakses. Bahkan ada toko buku loak yang menjual komik yang masih terhitung baru dengan kisaran harga sekali makan. Di Amerika, biaya distribusi lebih murah karena akses darat yang saling terhubung.
 
Bandingkan dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan akses ke penerbit dan toko buku yang tak merata. Harga komik masih berada di atas Rp20ribu. Semua hal ini menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Intinya, komik masih menjadi barang mewah.
 
Namun seiring perkembangan zaman, penerbit dan komikus terbantu dengan munculnya teknologi baru. Salah satunya sosial media kata Faza.
 
“DKV4, proyek kecil-kecil dan iseng waktu masih kuliah saya coba posting di sosial media. Enggak nyangka banyak yang tertarik dan suka. Akhirnya saya mikir bagaimana caranya bisa sukses,” kata Faza.
 
Dia pun mencoba membangun karakter fiksi konyol, mudah diterima, dan interaktif untuk membantu pemasaran proyek komiknya. Alhasil, muncullah karakter Si Juki yang disukai kalangan mahasiswa dan muda-mudi.
 
Faza dan timnya pun memeras otak memikirkan cara mencari keuntungan dari karakter yang diciptakan. Juki pun sukses menarik perhatian hingga dibukukan, dilirik investor, serta menjadi film layar lebar yang tayang tahun 2017.
 
Sulit memang, karena Faza hanya sebagian kecil komikus yang beruntung. Tapi bukan berarti mustahil bagi komikus lain. “Apalagi ada arus baru bernama webtoon,” pungkas Faza.
 
Webtoon dari Korea
 
Manhwa dari Korea sedikit banyak terpengaruh oleh komik-komik dari Jepang. Namun industri Korea Selatan tak mau kalah saing dari Jepang dan menyiakan peluang untuk melebarkan pengaruh budaya mereka. Salah satunya komik media daring, atau webtoon.
 
Webtoon sudah lama muncul di beberapa negara walau bisa tergolong baru. Industri webtoon sendiri baru dilirik sejak tahun 2003. Namun, Korea melihat peluang besar dari webtoon dan mendorong industri ini sebagai bagian dari program promosi Gelombang Korea (Hallyu).
 
“Jika K-Pop, K-Drama mulai menyapa dan menjadi hal biasa, maka webtoon pun mulai merambah dunia Hallyu atau budaya popular Korea,” ujar pakar budaya Korea Suray Agung Nugroho kepada medcom.id, Minggu (9/10/2016).
 
Badan Ekonomi Kreatif Korea (KOCCA) melaporkan pertumbuhan industri webtoon di Korea mencapai USD150 juta lebih (2015). Bagi penggemar budaya popular Korea, istilah webtoon bisa jadi menjadi hot item yang wajib diketahui.
 
Entah mereka suka baca komik atau webtoon, pecinta budaya korea menganggap webtoon sebagai tren dan menjadi barang wajib. Suray pun menyebut banyak penyanyi atau sinopsis drama Korea berasal dari webtoon.
 
“Tahun 2014 ada drama berjudul Misaeng tentang sepak terjang, suka duka hidup para pekerja kantoran di Korea. Drama terkenal ini berdasar komik berjudul sama,” kata Suray.
 
Belum lagi Kim So-hyun, aktor pemeran di drama You Who Are from the Star, sempat bermain di film Secretly Greatly yang juga diadaptasi dari webtoon terkenal di Korea. Itu baru dua contoh bahwa webtoon mengubah lansekap industri budaya pop di Korea.
 
Tentu saja ini bikin tebal kantong para komikus yang terlibat di industri webtoon. Monetasi dari dari iklan menjadi ladang bisnis yang besar. Bahkan salah satu media sosial Line berinvestasi besar-besaran di webtoon. Selain Line, Naver dan Daum menjadi tiga pemain utama yang diikuti puluhan pemain industri lainnya.
 
Peluang Baru Komikus
Tampilan depan laman situs webtoon milik Naver dari Korea Selatan
 
“Walau gratis, pemasukan iklanlah yang menutupi semua itu,” kata Suray.
 
Karya sang komikus dikontrak 1-5 juta won (Rp12-60 juta rupiah per bulan). Webtoon pun disokong oleh pemerintah Korea sebagai sebuah industri kreatif yang tak kalah penting dibandingkan K-Pop dan K-Drama yang sudah mendunia. Sinergi antara industri kreatif pun dirancang sedimikian rupa.
 
Ekspansi besar-besaran pemain industri webtoon dilakukan ke berbagai negara. Pelaku industri pun melakukan rekrutmen komikus lokal secara masif. Hal ini yang menurut Suray menjadi peluang bagi komikus-komikus muda yang selama ini kesulitan di bisnis komik konvensional.
 
“Saya melihat ini malah justru menimbulkan gairah baru. Komikus Indonesia pun malah semakin bangkit dan bisa unjuk diri. Bahkan semakin banyak konsumen Indonesia yang bisa jadi malah kepincut dengan yang gairah baru ini,” kata Suray.
 
Peluang baru
 
Hikmat menilai webtoon memang mulai memberikan angin segar bagi komikus Indonesia. Terutama soal uang kontrak dan peluang unjuk dengan gigi akses ke berjuta pembaca. Bahkan tidak terbatas ke pembaca Indonesia.
 
“Akhirnya mulai banyak kan komikus Indonesia yang masuk arus webtoon. Mereka akhirnya juga terbantu,” kata Hikmat.
 
Faza sebagai komikus pun mengakui pundi-pundi yang tidak sedikit bisa diraup dari webtoon. Setidaknya untuk menutupi biaya hidup dan produksi. Tinggal bagaimana menciptakan karakter yang berkesan dan unik.
 
Faza juga berpikir peluang ini harus diimbangi kolaborasi antar industri kreatif lokal. Seperti Jepang, Korea, dan Amerika. “Karena itu kita buat Pionicon. Harus ada yang menghubungkan antara komikus dan industri, juga satu industri dengan industri lain,” ucap Faza.
 
Di sisi lain, Suray mengkritik sebagian besar komikus yang masih meniru gaya Jepang dan Korea dan meninggalkan ciri khas Indonesia. Menurut Suray, gaya gambar Indonesia dan penceritaan meniru budaya lain justru berakibat buruk.
 
Peluang Baru Komikus
Tampilan situs Re:ON, salah satu penerbit buatan komikus Indonesia yang juga mempublikasi webtoon
 
“Justru itu akan backfire dan mematikan masa depan webtoon Indonesia,” tegas Suray.
 
Indonesia, baik komikus dan industri, tak perlu meniru habis gaya Korea dan Jepang karena masih banyak potensi lokal yang bisa dicari. Pemerintah Indonesia justru yang harus meniru pemerintah Korea agar komik semakin berkembang. Sebab budaya di Indonesia terkadang masih dikekang dan dikontrol, bukan dipropaganda ke luar negeri seperti halnya Korea.
 
Hikmat juga berpendapat pemerintah harus semakin berperan aktif karena potensi industri kreatif Indonesia masih belum maksimal. Soal komikus banyak yang mengadaptasi gaya asing, itu dimaklumi.
 
“Awalnya meniru, terus diadaptasi, akhirnya dimodifikasi. Itu budaya,” kata Hikmat.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan