Garam Desa Jono, begitu yang dikenal oleh penduduk setempat, merujuk pada sentra produksi garam secara tradisional yang memanfaatkan air yang bersumber dari sumur-sumur panas yang muncul di area persawahan itu.
Bahkan, papan nama bertuliskan “Sumur Panas Kota Garam”, tersemat pada pondok rapuh di pinggir jalan desa, sebagai penanda bagi konsumen yang hendak membeli garam di tempat itu. Pembeli tak hanya berasal dari penduduk setempat, ada yang berasal dari Kudus, Yogyakarta, Blora, Solo dan Pati.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
.jpg)
(Sentra produksi garam yang berasal dari sumber air panas di Desa Jono mencakup lahan seluas tiga hektar. Foto: Arthurio Oktavianus)
Jauh dari pantai
Sentra garam Desa Jono bisa dikatakan unik. Secara geografis, letak desa sangat jauh dari daerah pantai, yang berjarak sekitar 30 kilometer.Sumber air asin yang digunakan dalam pembuatan garam diperoleh dari air sumur panas yang muncul di beberapa titik, pada lahan seluas tiga hektar. Air sumur itu kemudian dialirkan melalui pipa yang berujung pada bak penampungan berbentuk seperti kolam.
Letak kolam penampungan dibuat sendiri oleh petani garam pada petak-petak lahan berukuran 80 meter x 6 meter, lengkap dengan bilah bambu yang digunakan sebagai alat menjemur air sumur yang asin itu hingga terbentuk kristal garam dengan proses penjemuran.
.jpg)
(Alat produksi garam di Desa Jono sangat sederhana dan tidak sulit untuk dibuat sendiri. Foto: Arthurio Oktavianus)
“Saya memiliki dua petak lahan untuk produksi garam,” tutur Mbah Hadi (75), petani garam Desa Jono. Setiap hari, Mbah Hadi mengatakan ditemani istrinya untuk mengolah garam di pondok lahan miliknya yang beratap genteng.
Mulai dari menimba air sumur dari kolam, menempatkan air tersebut pada bilah bambu, hingga mengangkat bilah bambu untuk dijemur pada tempat yang sudah disiapkan. Terpal menjadi kebutuhan utama petani agar air sumur yang dijemur tak tersiram hujan.
.jpg)
(Tempat menjemur bilah-bilah bambu yang berisi air sumur hingga menjadi kristal garam. Foto: Arthurio Oktavianus)
Alat sederhana
Tak menggunakan peralatan bermesin mahal, Mbah Hadi memproduksi garam hanya dengan alat yang sederhana. Alat timba dibuat dari mainan bola plastik yang dibelah lalu diikatkan pada sebatang bambu, bilah-bilah bambu dan gentong tanah liat.Hingga bisa panen kristal garam, Mbah Hadi membutuhkan waktu mencapai 10 hari di saat musim kemarau. Bisa lebih bila di musim hujan.
Kristal garam yang sudah terbentuk kemudian disimpan dalam gentong, hingga seluruh panen selesai dilakukan. Dalam sekali panen, Mbah Hadi bisa menghasilkan sebanyak 60 kilogram garam.
Selain bisa digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, penghasilan yang diperoleh Mbah Hadi dari produksi garam juga untuk biaya pendidikan anak cucunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)