Suasana Dusun Wisata Sasak Ende di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). - Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Suasana Dusun Wisata Sasak Ende di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). - Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez

Menjaga Kekentalan Budaya Dusun Ende

Rona objek wisata
Fachri Audhia Hafiez • 07 September 2019 07:05
Bukan tugas mudah mempertahankan tradisi meski derasnya kemajuan zaman. Tapi penduduk Dusun Sasak Ende di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, mampu melakukan pekerjaan ekstra itu hingga menjadi salah satu Desa Wisata.
 
Pujut:
Bertahan di tengah kemajuan zaman dan menjaga tradisi budaya menjadi tantangan desa-desa di Indonesia. Tak terkecuali Dusun Sasak Ende di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menjaga ekstra tradisi turun-temurunnya.
 
Kali ini, Medcom.id berkesempatan menjelajahi Dusun Ende yang berjarak sekitar 9,1 kilometer dari Bandar Udara Internasional Lombok ini. Lokasinya cukup mudah dijangkau kendaraan. Sebab posisi dusun ini berada di Jalan Raya Kuta Lombok.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Saat tiba di lokasi, pengunjung akan disambut dengan gapura berbahan bambu bertuliskan 'Selamat Datang di Kampung Sasak Ende'. Sasak merujuk pada nama suku asli Lombok. Sedangkan warga Dusun Ende menganut agama Islam.
 
Menjaga Kekentalan Budaya Dusun Ende
Salah satu penanda bahwa Anda akan memasuki Dusun Ende (Foto: Fachri Audhia Hafiez/Medcom.id)
 
Masih di bagian depan, pengunjung akan disuguhkan lahan perkebunan saat menginjakkan kaki memasuki area dusun. Tak jauh, terdapat Musala dan sebuah bangunan dari kayu yang difungsikan sebagai Taman Bacaan Sasak Ende.
 
Saat masuk lebih ke dalam, pengunjung akan berjalan sedikit menanjak. Pengunjung mulai bisa melihat rumah-rumah warga berjejer rapi. Rata-rata rumah warga berukuran 5x7 meter.
 
Warga Dusun Ende, Kadar mengatakan, terdapat 30 kepala keluarga di Dusun Ende. Mereka menghuni dusun yang memiliki luas lahan 2,5 hektare.
 
Menjaga Kekentalan Budaya Dusun Ende
Suasana salah satu sudut Dusun Ende (Foto: Fachri Audhia Hafiez/Medcom.id)
 
"Semua warga menjaga kekentalan budaya yang sudah ada di sini, termasuk aktivitas-aktivitasnya," ujar Kadar.
 
Aktivitas yang dipertahankan salah satunya ialah kewajiban perempuan untuk bisa menenun. Keahlian ini wajib dikuasai perempuan sebelum menikah.
 
"Kalau belum bisa menenun mereka belum boleh menikah. Karena filosofinya kalau ahli menenun, artinya istri tak bergantung dengan suami, bisa mencari uang sendiri dari kerajinan ini dan bisa dijual," jelas Kadar.
 
Menjaga Kekentalan Budaya Dusun Ende
Dengan menenun, artinya istri tak bergantung dengan suami, bisa mencari uang sendiri dari kerajinan ini dan bisa dijual. (Foto: Fachri Audhia Hafiez/Medcom.id)

Mengepel menggunakan kotoran sapi

Salah satu kebiasaan unik masyarakat di Dusun Ende ialah mengepel lantai menggunakan kotoran sapi. Rumah yang ditempati warga menggunakan ubin tanah yang dilapisi kotoran sapi.
 
Kadar menjelaskan, warga akan mengepel lantai rumahnya menggunakan kotoran sapi ketika ubin mereka mulai mengalami keretakan. Mengepelnya pun biasanya dilakukan sebulan sekali.
 
"Sejak dulu memang kami menggunakan kotoran sapi ini. Kokoh, kalau retak kami di sini akan mengepel lagi menggunakan kotoran sapi. Buat mengusir nyamuk dan penghangat malam hari," ujar Kadar.
 
Kotoran sapi yang digunakan juga bukan sembarangan. Warga akan menggunakan kotoran yang baru saja dikeluarkan oleh sapi. Artinya, bukan menggunakan kotoran yang telah mengendap beberapa hari.
 
"Kenapa kotoran sapi? Di sini masyarakatnya petani, peternak sapi. Sapi untuk menggarap sawah, punya simbol kerja keras. Lalu beralaskan tanah, karena kami sebagai muslim kembali ke tanah," jelas Kadar.

Tari Peresean ritual meminta hujan

Kesenian lain yang menonjol di Dusun Ende adalah Tari Peresean. Tari yang dilakoni dua pria yang baku pukul ini diyakini sebagai ritual untuk mendatangkan hujan.
 
Menjaga Kekentalan Budaya Dusun Ende
Salah satu warga Warga Dusun Ende, Kadar (Foto: Fachri Audhia Hafiez/Medcom.id)
 
Dua pria akan bertarung menggunakan tameng dan sebuah rotan. Keduanya bertarung sampai salah satunya mengalami luka di bagian kepala.
 
"Sampai kepala salah satu dari mereka berdarah saja. Kalau semakin banyak darah hujan akan turun," ujar Kadar.

Tak menggunakan tiket

Dusun Ende diresmikan sebagai dusun wisata sejak 1999. Namun baru mengalami lonjakan wisatawan sejak Bandar Udara Internasional Lombok diresmikan pada 2011.
 
Sejak menjadi dusun wisata, masyarakat tidak pernah meminta pungutan tiket kepada wisawatan. Mereka memperoleh uang dengan berjualan kerajinan yang dijual melalui toko yang berada di area dusun.
 
Menjaga Kekentalan Budaya Dusun Ende
Tempat penjualan aksesoris yang memamerkan hasil kerajinan warga Dusun Ende (Foto: Fachri Audhia Hafiez/Medcom.id)
 
"Kenapa enggak pakai tiket? Ya kami tidak mau bila sebenarnya ada orang yang masuk enggak tahunya warga kita, masa kita mintain tiket juga," jelas Kadar.
 
Lebih lanjut, Kadar mengatakan pengunjung nantinya akan ditemani oleh pemandu agar informasi yang disampaikan terkait Dusun Ende bisa terpapar lengkap. Selain rumah dan aktivitas masyarakat, wisawatan nantinya juga dapat menyaksikan sanggar tari, rumah musyawarah dan mencicipi makanan khas Dusun Ende.
 
Pada intinya, Kadar berharap suguhan kearifan lokal dan kentalnya nilai-nilai budaya yang dipertahankan sejak turun-temurun bisa memantik wisawatan datang berkunjung. Selain menggerakkan perekonomian masyarakat lokal, nilai-nilai kebudayaan bisa diperkenalkan secara luas melalui Dusun Ende.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(FIR)


social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif