Menurut temuannya, sastra fiksi dapat memengaruhi pikiran dan respons empati pembaca di dunia nyata. Oatley merujuk penelitian yang menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (MRI) untuk menilai respons otak saat berimajinasi, misal saat menggambarkan "karpet biru" atau "pensil oranye bergaris."
"Hanya dengan tiga frase seperti itu saja sudah cukup untuk mengaktifkan sebagian hippocampus, bagian di otak yang berhubungan dengan pembelajaran dan memori," kata Oaltley seperti dikutip Medical News Today.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Oatley menambahkan, sastra fiksi dapat menjadi simulator dunia sosial seseorang. Sama halnya ketika seorang pilot belajar menerbangkan pesawat melalui simulator, sastra fiksi menjadi simulator untuk meningkatkan keterampilan sosial seseorang, seperti membangun empati dan memahami gagasan dari sudut pandang orang lain.
Dalam penelitiannya, Oatley melibatkan sejumlah orang dewasa yang dibagi menjadi dua kelompok, penyuka fiksi dan penyuka non fiksi. Mereka diminta menilai 36 gambar. Kemudian, para partisipan diminta memilih salah satu yang paling bisa membangkitkan sisi emosional.
Hasilnya, partisipan penyuka fiksi memiliki skor tes yang lebih tinggi dalam hal empati, dibanding partisipan penyuka non fiksi.
Penelitian ini juga melibatkan karakter dan kepribadian partisipan sebagai indikatornya.
Sebelumnya, studi lain juga menemukan hasil serupa. Para peneliti melihat, pembaca buku Saffron Dreams, buku fiksi yang berkisah tentang perempuan muslim di New York, memiliki empati yang lebih besar.
Adapun objek studi tak terpaku pada buku, tetapi juga drama televisi yang mengangkat cerita fiksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(DEV)
