Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Masjid Laweyan. MI/Ferdinand
Masjid Laweyan. MI/Ferdinand

Kisah Masjid Laweyan, Peninggalan Era Jaka Tingkir

Ferdinandus Rabu • 17 Juli 2014 10:57
medcom.id, Surakarta: Di salah satu sudut Kampung Batik Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah terdapat sebuah masjid kecil nan sederhana. Seluruh dinding dan pagarnya berwarna hijau. Bangunan yang menghadap ke Sungai Jenes itu dikenal dengan nama Masjid Laweyan.
 
Walau ukuran dan wujud fisiknya tidak sebesar dan secantik Masjid Agung atau Masjid Al Wustho Mangkunegaran, ia memiliki arti istimewa bagi keluarga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan warga Kota Surakarta.
 
Masjid Laweyan bukan hanya yang tertua dan pertama di kota tersebut, melainkan juga memiliki jejak syiar yang ditinggalkan oleh Ki Ageng Enis. Beliau adalah ayah dari Ki Ageng Pemanahan yang berputra Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram Islam sekaligus rajanya yang pertama.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Salah seorang takmir, Achmad Sulaiman, menuturkan Babad Tanah Jawi menyebutkan masjid itu dibangun pada masa Kerajaan Pajang dengan rajanya Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir pada 1546 Masehi. Ia tercatat sebagai masjid pertama di kerajaan tersebut dan memiliki kontribusi besar dalam penyebaran Islam di wilayah Surakarta.
 
Ki Ageng Enis kala itu mengabdi sebagai penasihat spiritual Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya memberinya tanah perdikan di Laweyan sebagai tempat tinggal sekaligus melakukan syiar Islam.
 
Pada saat Ki Ageng Enis datang ke Laweyan pada sekitar 1540, di lokasi tersebut sudah berdiri sebuah pura agama Hindu. Pura tersebut dipimpin oleh Ki Ageng Beluk, seorang pendeta Hindu keturunan Majapahit yang bernama asli Handayaningrat. Pada era kerajaan Pajang, warga yang bermukim di Laweyan mayoritas beragama Hindu.
 
"Keduanya menjalin persahabatan yang sangat akrab, walau berbeda keyakinan. Pengikut mereka hidup berdampingan secara damai dan harmonis," kata Sulaiman.
 
Kehalusan tutur kata dan keteladanan akhlak yang ditunjukkan Ki Ageng Enis belakangan membuat Ki Ageng Beluk tertarik untuk memeluk agama Islam. Ia pun menyerahkan pura miliknya untuk dijadikan sebuah langgar yang kemudian hari berubah menjadi masjid.
 
Jejak akulturasi arsitektur Islam-Hindu itu masih bisa dilihat dari keberadaan tiga pintu masuk masjid. Satu pintu utama berukuran besar di bagian tegah dan dua pintu lain berukuran kecil di sisi kiri dan kanan, masing-masing dilengkapi anak tangga.
 
Masjid Laweyan menjadi pusat penyebaran agama Islam pada waktu itu. Di belakang masjid ini dulu berdiri sebuah pesantren dengan santri yang sangat banyak. Saking banyaknya mereka tidak berhenti menanak nasi untuk para santri sehingga selalu mengepulkan asap atau beluk.
 
"Itulah mengapa kemudian tempat ini dinamakan Kampung Belukan," imbuh Sulaiman.
 
Fungsi sebagai pusat dakwah Islam itu terus berjalan sampai sekarang, terlebih pada Ramadan. Berbagai agenda telah disiapkan untuk menyemarakkan dan memaknai bulan penuh berkah ini. Salah satunya adalah Madrasah Ramadan bagi anak-anak yang dilaksanakan setiap sore sembari menunggu waktu berbuka.
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(PRI)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif