Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

RES--Pedagang dawet di jalur selatan tepatnya di Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah
RES--Pedagang dawet di jalur selatan tepatnya di Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah

Menjaring Untung di Jalur Selatan

Liliek Dharmawan • 25 Juli 2014 15:05
medcom.id, Banyumas: Suara deru motor itu mulai melemah. Kendaraan dipinggirkan. Satu keluarga penumpang motor turun. Mereka terlihat kerepotan, sebab di depan dan belakang motor ditumpuk barang. Mereka lalu masuk ke sebuah warung. Ketika itu mereka ada di Desa Karanganyar, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.
 
Warung-warung di jalur selatan itu menjajakan makanan khas: dawet ayu dan dawet hitam. Pedagang juga membuat lapak-lapak di bawah pohon besar di samping kanan kiri jalan penghubung Jakarta dan Bandung menuju Yogyakarta itu. Di jalur selatan sepanjang 5 kilometer di Jatilawang memang dipenuhi penjaja dawet. Selain menjual dawet khas, gerobak pikulan juga unik. Hampir pasti semuanya dihiasi tokoh punakawan, Gareng dan Petruk.
 
Dengan cekatan, pedagang yang sudah tak bisa dibilang muda itu melayani pemudik yang kebetulan tak berpuasa, karena harus menempuh perjalanan ratusan kilometer. "Berapa gelas?" tanya ibu pedagang. Tak sampai lima menit, dua gelas yang dipesan diletakkan di sebuah meja yang terbuat dari bambu. Pemudik bermotor itu meluruskan kaki sambil dipijit sendiri. Seteguk dua teguk dawet manis diminumnya. Ia kemudian terlihat menikmati kesegaran dawet yang diminumnya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Pedagang itu, Tarsem, 64, sudah 5 tahun lebih berjualan di jalur selatan Jatilawang, terutama pada saat menjelang Lebaran. "Hari-hari sebelum Idul Fitri menjadi harapan kami. Karena banyak pemudik yang melintas. Penjualan lumayan. Rata-rata, setiap hari mendapatkan laba Rp100 ribu-Rp200 ribu," kata Tarsem, kemarin.
 
Menurut Tarsem, setiap hari ia membawa tidak kurang dari 100 porsi es dawet. Harganya Rp4 ribu per gelas. Saya menjual dawet dengan harga wajar. Kasihan juga kalau saya harus menjual dengan harga mahal," kata Tarsem.
 
Pedagang setempat memang tak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau mau, sebenarnya bisa saja mereka menjual es dawet dengan harga Rp10 ribu per gelas. Tapi mereka tak melakukan itu. Mereka tidak tega.
 
"Kasihan kalau saya harus menjual dengan harga mahal. Sewajarnya saja lah. Saya tidak ingin mengurangi kegembiraan mereka untuk merayakan Idul Fitri," kata Sidin, 43, penjual dawet lainnya.
 
Ia mengatakan, bagi pedagang di jalur selatan Jatilawang, musim arus mudik adalah prepegan atau masa panen. "Saban tahun, pada musim arus mudik, jualan memang laris. Dan hasilnya bisa untuk membeli baju baru anak-anak," Sidin tersenyum.
 
Saban hari, kata Sidin, dirinya membawa sekitar 100 porsi dawet untuk dijual. Warung dibuka jam 09.00 WIB hingga menjelang buka puasa. "Kami memang melayani pemudik yang tidak puasa. Mungkin mereka tak puasa, karena harus menempuh perjalanan ratusan km dengan menggunakan sepeda motor. Sehingga di tempat ini mereka menikmati dawet sambil beristirahat," terang Sidin.
 
Bagi Tarsem, Sidin dan puluhan pedagang yang berada di jalur selatan, tepatnya di Jatilawang, hari-hari menjelang Lebaran adalah waktu untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan dawet. Tak panjang, hanya beberapa hari, tapi perolehannya penuh makna.
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ICH)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif