"Masyarakat butuh angsuran murah, bukan bebas uang muka. Pemerintah sudah memiliki ketentuan KPR bersubsidi dikenakan uang muka satu persen, itu sudah baik. Ini patut dilanjutkan," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah.
Hal ini disampaikannya usai diterima Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (8/11/2018). Dia juga mengkritisi Kementerian PUPR yang menurunkan target penyaluran subsidi 2019, dari 260-an ribu unit pada tahun ini menjadi kurang lebih 184 ribu unit.
"Padahal target seharusnya naik setidaknya 300 ribu unit," tegasnya.
Menurut data Apersi, ada kenaikan permintaan rumah subsidi dari kelompok masyarakat berpengahasilan rendah. Namun perlu skema pembiayaan bersubsidi agar pengembang dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.
baca juga: Dilema harga rumah murah
Selain skema FLPP dan SSB, juga ada Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) yang didukung Bank Dunia. Di dalam program tersebut pemohon mendapatkan uang muka sebesar Rp 25 juta, hanya saja untuk KPR-nya berlaku bunga komersial yang tergolong tinggi.
Di Kementerian PUPR terdapat Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) yang mengelola program subsidi bergulir SSB. Jika dana Rp 25 juta dari Bank Dunia tersebut dapat ditambahkan ke sana maka jangkauan SSD akan lebih baik disamping pengelolaan dana bergulirnya akan lebih besar dan tidak akan membebani pemerintah.
"Maka sebaiknya itu diarahkan kepada subsidi FLPP dan SSB karena serapannya lebih tinggi," saran Junaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News