Jakarta: Badan Pengawas Pemilu (
Bawaslu) Lampung Selatan, Lampung, dan Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) dinilai keliru memahami putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 atas pencalonan mantan narapidana. Kekeliruan itu dikhawatirkan menjadi celah bekas koruptor yang belum tuntas menyelesaikan hukuman melaju sebagai calon kepala daerah (cakada).
“Keputusan MK itu justru ditafsirkan keliru. Ini sesuatu yang sangat penting, harus diluruskan, dan diketahui publik,” kata Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, dalam diskusi virtual, Minggu, 25 Oktober 2020.
Fadli menjelaskan keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 mencantumkan tafsir baru soal syarat mantan terpidana mengajukan diri kembali sebagai kepala daerah. Awalnya, syarat mantan terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya jujur dan terbuka ihwal pernah tersandung kasus korupsi.
Namun sejumlah organisasi seperti Perludem, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) mengajukan peninjauan ulang terkait penafsiran tersebut. MK mengabulkan sebagian permohonan sehingga penafsirannya direvisi.
“Calon kepala daerah yang dijatuhi hukuman pidana lima tahun atau lebih harus menjalani masa tunggu lima tahun sejak status sebagai mantan narapidana dimulai,” ujar Fadli.
(Baca:
Parpol Dinilai Berperan atas Pengusungan Cakada Bekas Koruptor)
Fadli menjelaskan mantan narapidana berarti orang itu tidak lagi memiliki kewajiban menjalankan hukuman penjara alias murni bebas. Bebas bersyarat atau menjadi tahanan kota tidak bisa dikategorikan murni bebas.
Setelah menjadi mantan narapidana, orang itu harus menunggu lima tahun agar bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Jangka waktu lima tahun bukan dihitung sejak terpidana menjalani hukuman penjara.
“Ternyata ada putusan Bawaslu daerah di Kabupaten Dompu dan Lampung Selatan yang tidak sesuai dengan keputusan MK,” tutur Fadli.
Bawaslu Lampung Selatan menafsirkan seorang mantan terpidana tidak menjalani hukuman penjara, maka tidak masuk kategori orang yang dihukum lima tahun. Kemudian, masa tunggu lima tahun dimulai sejak putusan pengadilan, bukan setelah bebas bersyarat.
Sementara itu, Bawaslu Dompu menyatakan masa tunggu dimulai sejak terpidana keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas). Fadli menyebut hal itu juga keliru lantaran keluar dari lapas belum tentu bebas murni.
“Mantan terpidana adalah mereka yang betul-betul menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tegas dia.
Keputusan itu bukti inkonsistensi Bawaslu melaksanakan putusan MK. Padahal, keputusan MK teranyar sudah tertuang dengan jelas dalam Pasal 7 ayat 2 huruf G Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
“Ini menggeser tujuan Bawaslu untuk menegakkan integritas dan keadilan,” kata Fadli.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((REN))