Tornanda Syaifullah, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Tornanda Syaifullah, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta (Tornanda Syaifullah)

Tornanda Syaifullah

Menghitung Capaian Universal Health Coverage di Indonesia dalam Mendukung SDGs

Tornanda Syaifullah • 22 Juni 2023 19:51
TUJUAN Pembangunan Milenium (MDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berakhir pada 2015. Selanjutnya digantikan oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
 
MDGs berhasil menyatukan pemerintah nasional dan menyoroti pentingnya kesehatan dalam pembangunan manusia. Namun, MDGs memiliki fokus penyakit yang sangat spesifik. Tidak memasukkan penyakit tidak menular (PTM) dan gagal memberikan dampak yang signifikan dalam mengurangi kesenjangan kesehatan di dalam dan antarnegara (Save the Children 2012; UNSDSN 2013).
 
Saat ini, Sustainability Development Goals (SDGs) memberikan kerangka kerja untuk mengintegrasikan tindakan di berbagai sektor untuk memungkinkan pembangunan manusia berjalan dengan cara mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang terbatas untuk tujuan keberlanjutan.
 
Dalam beberapa dekade sebelumnya, konsultasi dan pertemuan panel tingkat tinggi telah membahas tentang bagaimana kesehatan dapat dimasukkan dalam SDGs dan indikator apa yang sesuai untuk tujuan kesehatan global yang baru (Save the Children, 2012; United Nations, 2013; UNSDSN, 2013). Salah satu tema umum yang muncul dari konsultasi ini adalah Universal Health Coverage (UHC), baik sebagai tujuan kesehatan tertentu maupun sebagai sarana untuk menuju pencapaian kesehatan dalam SDGs pasca-2015.

Tentang UHC

UHC intinya adalah tentang memastikan orang memiliki akses ke perawatan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa terkendala kesulitan keuangan. Pada dasarnya ini terkait dengan kontribusi dan distribusi sumber daya kepada orang-orang dengan prinsip keadilan. Kesehatan adalah investasi dasar dalam modal manusia dan ekonomi pertumbuhan. Tanpa kesehatan yang baik, anak-anak tidak dapat pergi ke sekolah dan orang dewasa tidak dapat pergi bekerja. Dengan kata lain, pembiayaan pada perawatan kesehatan bukan merupakan pengeluaran, melainkan investasi. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, ada beberapa perdebatan tentang investasi dalam perawatan kesehatan dan kesalahpahaman bahwa penyakit terjadi karena kecerobohan individu. Mereka harus memecahkan sendiri masalah itu.
 
Kondisi ini menunjukkan stereotip dari berpikir dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Situasi ini sebenarnya menciptakan tantangan yang signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan cakupan kemampuan keuangan untuk mendanainya.
 
Seruan untuk UHC semakin kuat selama satu dekade terakhir. Pertemuan KTT Rio tentang pembangunan berkelanjutan mengakui bahwa UHC adalah untuk meningkatkan "kesehatan, kohesi sosial, pembangunan manusia, dan ekonomi yang berkelanjutan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.” (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2012).
 
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Margaret Chan, menyebut UHC sebagai ”satu-satunya konsep terkuat yang ditawarkan kesehatan masyarakat.” (Holmes, 2012). Sedangkan Presiden Bank Duni Dr Jim Yong Kim telah menyerukan pencapaian global UHC "dalam generasi ini.” (Bank Dunia 2013). Peluang yang unik saat ini adalah bagaimana kebijakan kesehatan global dan memastikan bahwa kesehatan masyarakat diakui sebagai prioritas utama yang diintegrasikan ke dalam agenda kebijakan UHC yang sedang berkembang.

Pelayanan kesehatan Indonesia

Sistem pelayanan kesehatan Indonesia bertransisi menuju UHC. Targetnya adalah menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi bagian penting dalam pencapaian UHC, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
 
Selama ini UHC hanya dilihat dari sisi kepesertaan JKN. Padahal, UHC memiliki dimensi yang lebih luas, yaitu cakupan layanan, kualitas layanan, dan perlindungan finansial untuk kesehatan. Karena itu, diperlukan sebuah analisis untuk melihat perkembangan dan capaian UHC di Indonesia yang lebih komprehensif.
 
World Health Organization (WHO) pada 2017 menerbitkan sebuah laporan mengenai perkembangan capaian UHC di seluruh dunia dengan. Judul yang diangkat adalah "Tracking Universal Health Coverage: 2017 Global Monitoring Report". Framework yang digunakan untuk mengukur capaian UHC berdasarkan kerangka SDGs nomor 3, target 3.8, dan indikator 3.8.1 (cakupan layanan) serta 3.8.2 (perlindungan finansial bagi masyarakat).

Bagaimana capaian UHC di Indonesia saat ini?

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, mengamanatkan BPJS Kesehatan, kementerian/lembaga, dan seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar bersinergi dan berupaya optimal untuk memastikan seluruh penduduk dilindungi dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
 
Pemerintah menyerukan seluruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan tersebut, selain melakukan optimalisasi kinerja, juga harus terus berupaya meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. "Dukungan optimalisasi pelaksanaan program JKN dari seluruh pemangku kepentingan hendaknya tidak sebatas pemenuhan Inpres. Namun, lebih dilandasi oleh iktikad untuk senantiasa meningkatkan pelayanan dan perlindungan bagi seluruh masyarakat," tegas Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada saat penyerahan Universal Health Coverage (UHC) Award Tahun 2023 kepada Pemerintah Daerah di Balai Sudirman, Jakarta, Selasa, 13 Maret 2023.
 
Target minimal capaian UHC adalah 98 persen. Secara nasional, kepesertaan JKN sampai dengan 1 Maret 2023 tercatat sebanyak 252,1 juta jiwa atau sekitar 90,3 persen penduduk Indonesia. Sebanyak 60,39 persen peserta JKN masuk dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN. Ini menunjukkan, cakupan kepesertaan sudah tinggi, sehingga diharapkan seluruh masyarakat mendapat perlindungan kesehatan yang memadai.
 
Ini sekaligus merupakan tantangan bagi pemerintah untuk merencanakan dan mengkordinasikan langkah-langkah strategis dalam capaian tersebut. Terkait capaian itu, bagaimana pemerintah dapat memiliki data dan memvalidasi penduduk rentan, termasuk di dalamnya warga lanjut usia, masyarakat telantar, dan penyandang disabilitas. Kendati saat ini pemerintah telah berupaya menyediakan anggaran untuk membayar iuran jaminan kesehatan melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN.
 
Di samping itu, partisipasi pemerintah daerah sangat diperlukan dalam mendorong pekerja informal untuk mengikuti program JKN ini tanpa kecuali. Juga, memastikan seluruh pemberi kerja di wilayahnya untuk mendaftarkan pekerja dan anggota keluarga sebagai peserta. Dengan demikian, seluruh masyarakat diharapkan dapat diberikan akses kesehatan dengan baik, tanpa terkecuali.
 
Selain masalah kepesertaan dan anggaran, pemerintah diharapkan memberikan kemudahan akses layanan kesehatan yang didukung upaya peningkatan mutu layanan kesehatan melalui penyediaan fasilitas kesehatan, termasuk SDM kesehatan, obat-obatan, dan pemenuhan alat-alat kesehatan yang memadai. Sehingga, perwujudan capaian cakupan UHC dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang adil, merata, dan bermutu, baik itu layanan promotif, preventif, kuratif dan curatif. Satu hal terpenting adalah bagaimana koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah dan stakeholder terkait pencapaian UHC dalam implementasi SDGs bidang kesehatan dapat terlaksana.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Sdgs kesehatan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif