PEMERINTAH secara resmi akan membuka kembali sekolah pada bulan Januari 2021 seiring dengan dimulainya Semester Genap Tahun Pelajaran 2020/2021. Pengumuman resmi tersebut dilakukan dalam koordinasi Mendikbud dengan Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 25 November 2020.
Secara operasional, pembukaan sekolah tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021. Pembukaan sekolah ini menjadi penting dibahas dalam konteks Covid-19 karena beberapa aspek.
Pertama, aspek kesehatan seiring dengan transmisi Covid-19 yang masih belum menemukan tren penurunannya meskipun ada harapan dengan perkembangan vaksin. Kedua, aspek edukasi-pedagogis terkait dengan transisi pedagogis yang dilakukan sebelum sekolah dibuka dan pasca sekolah kembali dibuka.
Hal ini terkait dengan pencapaian pedagogi yang dilakukan guru di sekolah. Termasuk didalamnya adalah evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang berlangsung secara dramatis dalam kurun waktu 9 bulan terakhir.
Dalam konteks itulah, rencana pembukaan sekolah kembali perlu mendapatkan respon yang mendalam dari berbagai kalangan. Kebijakan pembukaan sekolah harus dipahami bukan sebagai produk kebijakan elitisme negara tetapi juga harus mendapatkan respon dan umpan balik (feed back) dari masyarakat.
Hal tersebut beralasan karena pembukaan sekolah dalam kondisi ketidakpastian pandemi Covid-19 akan memberikan implikasi yang sangat kompleks bagi berbagai pemangku kepentingan. Tulisan ini berupaya memberikan catatan kritis terhadap rencana pembukaan sekolah tersebut.
Simalakama
Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap tatanan dunia, termasuk di dalamnya terhadap pendidikan. Di Indonesia sendiri, dampak pandemi sudah 9 bulan, dan sekitar 68 juta siswa melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai upaya untuk menekan laju persebaran Covid-19.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa PJJ ini menjadi buah simalakama. Pada satu sisi diharapkan sebagai solusi untuk pendidikan di masa pandemi, satu sisi lagi mempunyai banyak kekurangan dan tantangan.
Beragam ketimpangan dalam akses PJJ muncul, mulai ketimpangan listrik setiap daerah sampai ketimpangan kuota dan jaringan internet. Pemerintah terus berupaya menyelesaikan permasalahan ini hingga berinisiatif untuk memberikan kuota internet gratis kepada siswa, mahasiswa, guru, dan dosen; relaksasi dana BOS; bantuan subsidi upah; dan lain sebagainya.
Adanya SKB 4 Menteri yang mengatur tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021 harus mendapatkan catatan kritis. SKB ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah, Sekolah dan orang tua tentang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang dimulai pada Januari 2021. Pada satu sisi sudah PTM sangat diharapkan, satu sisi yang lain masih tingginya angka Covid-19, bahkan sekolah bisa menjadi klaster persebaran Covid-19 yang baru.
Kebijakan tentang PTM memang menjadi harapan sebagian besar siswa, guru, bahkan orangtua. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sudah siapkah institusi sekolah sebagai tempat pelaksanaan PTM tersebut? Berdasarkan Survei Nasional ‘’Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Tahap 2 dan Kesiapan Guru dalam Pembelajaran Tatap Muka Januari’’ yang dilakukan P2G pada tanggal 24 November-27 November 2020 terdapat enam catatan kritis yang harus disiapkan pemerintah dan sekolah.
Catatan ini didapatkan secara mendalam dari hasil survei tersebut yang melibatkan 320 responden yang berasal dari 29 provinsi dan 100 kota/kabupaten di Indonesia. Mereka yang menjadi responden adalah guru/kepala sekolah, manajemen sekolah (yayasan).
Pertama, adanya protokol kesehatan disediakan oleh pemerintah pusat/daerah. Protokol kesehatan ini harus dilaksanakan seketat mungkin di lingkungan sekolah, apalagi interaksi guru dan siswa sangat tinggi ketika pembelajaran dilaksanakan. Kedua, intensitas sosialisasi kepada orangtua dan siswa tentang PTM pada Januari 2021 nanti.
Sekolah ataupun pemerintah tidak memaksa orang tua untuk mengizinkan anaknya ikut PTM pada Januari 2021. Hal ini sesuai dengan isi revisi SKB 4 Menteri Jilid III bahwa orangtua mempunyai hak penuh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan anak untuk ikut PTM pada Januari 2021.
Pada satu sisi, sekolah akan “direpotkan” jika ada siswa yang tak diberikan izin oleh orangtuanya untuk ikut PTM. Di sisi lain jika sebagian siswa misalnya ikut PTM, sekolah dan guru mesti mengatur jadwal baru atau guru diminta melakukan pengajaran ganda/hibrida. Konsekuensinya, guru harus mengeluarkan tenaga dan waktu ekstra melayani siswa yang PTM dan siswa yang tidak ikut PTM di waktu bersamaan atau setelahnya. Dampaknya guru harus memiliki upaya ekstra untuk hal ini.
Ketiga, pentingnya SOP pembelajaran tatap muka yang detail. Jangan sampai memberatkan dan mengancam keselamatan guru ataupun siswa. Memang SKB 4 Menteri jilid III ini telah memaparkan sedikit prosedur bagaimana PTM nanti dilakukan. Namun menurut saya, prosedur dalam SKB tersebut belum rinci dan detail. Bahkan untuk persoalan tentang bagaimana kondisi real dalam kelas masih ngambang. Untuk itu, SOP memang harus detail dan jelas.
Keempat, kesiapan budaya 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) di sekolah harus tertanam pada seluruh elemen di sekolah, mulai dari siswa, guru/tenaga pendidik. Bahkan petugas keamanan dan kebersihan sekolah pun harus ikut melaksanakan budaya 3M. Jangan sampai hanya siswa yang ditekankan untuk budaya 3M, tanpa keikutsertaan elemen lainnya.
Kelima, adanya kesiapan infrasturktur atau sarana dan prasarana yang menunjang PTM. Infrastruktur ini terdiri dari wastafel di setiap ruangan dan teras sekolah, masker, sabun, handsanityzer di setiap ruangan, kesiapan tenaga kesehatan di sekolah, dan pembatas meja antar siswa. Tentunya infrastruktur tersebut membutuhkan biaya dalam pembuatannya.
Di samping itu, biaya pembuatan infrastruktur ini akan memberatkan sekolah, dan alasan ini sangat logis. Padahal anggaran Dana BOS juga terbatas. Alternatif dana yang lain harus dialokasikan oleh Kemdikbud/Kemenag dan Pemda. Bisa jadi anggaran dana bantuan kuota internet yang tidak terserap secara keseluruhan dapat dialihkan untuk hal ini.
Keenam, harus ada koordinasi antara para pemangku kepentingan. Koordinasi ini dimulai dari Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan hingga tenaga keseharan, Puskesmas terdekat, Satpol PP, Dinas Perhubungan dan lain sebagainya. Selain itu, diharapkan pula adanya pembuatan Satgas Khusus yang memantau siswa ketika mereka keluar dari gerbang sekolah supaya tidak terjadi kerumunan.
Rekomendasi Kebijakan
Keenam catatan penting tersebut dalam pandangan saya harus menjadi basis kebijakan otoritas pendidikan menjelang bulan Januari 2021. Masih ada waktu untuk memikirkan dan menyiapkan infrastruktur sehingga kebijakan tersebut tidak dianggap buru-buru. Dari banyaknya elemen yang harus disiapkan oleh sekolah, tentunya tidak terlepas dari kendala-kendala berat yang akan dihadapi nantinya.
Setidaknya, ada beberapa kendala berat yang sudah ada di depan mata, seperti kesiapan anggaran; protokol kesehatan; kesiapan internalisasi budaya 3M; kesiapan sarana dan prasarana yang mendukung PTM; kesiapan SOP PTM yang lebih detail dan rinci; koordinasi dengan semua pemangku kepentingan; sosialisasi dan koordinasi dengan orang tua siswa; dan kesiapan dari manajemen sekolah untuk menyiapkan komponen-komponen tersebut.
Dari banyaknya kendala tersebut, tentu tanggung jawabnya tidak harus sepenuhnya dibebankan kepada sekolah, apalagi kepada guru. Semua elemen yang dimulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, komite sekolah, manajemen sekolah, dan guru harus bergandengan tangan, seiring dan seirama untuk menyelesaikan kendala tersebut.
Di sisi lain, menurut survei, sebagian besar guru sangat berharap dilaksanakannya PTM pada Januari 2021. Hal ini karena beberapa alasan, diantaranya PJJ yang dirasa kurang efektif, dan rindunya bertemu dan bertatap muka dengan siswa siswinya. Di samping itu, di tengah besarnya harapan guru tersebut, mereka pun memberikan catatan dalam pelaksanaan PTM Januari 2021 nanti.
Pertama, pada dasarnya guru akan mengikuti dan mematuhi perintah dari Pemda. Hal ini karena secara struktural, guru adalah “bawahan” yang harus siap mengikuti perintah “atasan”. Dalam hal ini, guru setuju dan siap sedia dalam panggilan tugas.
Kedua, guru merasa dilema ketika menghadapi kondisi PJJ. Rasa bosan dan jenuh selama PJJ, tidak bisa optimal dalam melayani siswa, minimnya sarana dan prasarana PJJ di daerahnya, akses yang sangat jauh dan sulitnya medan dengan metode “guru kunjung”, orang tua yang tidak mampu mendampingi siswa selama PJJ sehingga mereka tidak serius untuk belajar selama PJJ.
Banyaknya siswa yang bangun kesiangan karena pola jam tidurnya berganti selama PJJ, dan bahkan ada siswa ketagihan game online sehingga begadang hingga pagi. Akibatnya, esok paginya mereka ngantuk saat belajar sehingga pembelajaran tidak efektif.
Ketiga, catatan yang terpenting dari guru adalah kesehatan dan keselamatan bagi semua adalah hal yang utama. Pada satu sisi, guru masih cemas dengan PTM karena potensi sekolah menjadi klaster Covid-19 sangat tinggi. Namun di sisi lain memperpanjang PJJ juga tidak akan optimal. Pertanyaan terbesarnya dari guru untuk semua, sudah siapkah untuk pembelajaran tatap muka (PTM) pada Januari 2021 nanti? Mari kita renungkan sejenak.[]
Cek Berita dan Artikel yang lain di Afdhal
Sekretaris Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Guru di IIHS

