M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat
M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat (M Tata Taufik)

M Tata Taufik

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat

Hanya Konten

M Tata Taufik • 29 Agustus 2024 10:09
ADA saat saya tertarik dengan konten di salah satu platform media sosial yang mengajarkan teknik tertentu. Lalu ketika saya minta putra saya mempraktikkannya, dengan senyum dia jawab: “Bohong itu, Pak, hanya konten.”
 
Saya masih terus meminta dia untuk mencoba dengan harapan bisa dilaksanakan. Nyatanya bohong belaka. Sebagaimana orang biasa, kita akan mempercayai informasi yang dibagikan orang lain, apa lagi jika informasi itu dipublikasikan di media umum yang mudah didapat.
 
Pada kesempatan lain, seorang teman membagikan tautan informasi di grup media sosial. Temanya soal drama tindak kejahatan yang mengingatkan para pengendara mobil agar hati-hati dan selalu waspada. Lalu seorang teman berkomentar dengan pernyataan yang sama: “Hanya konten.”
 
Banyak konten yang diproduksi konten kreator berisi informasi bohong belaka. Banyak pula sekadar jiplakan konten yang sedang aktual dan me-repost berita lama atau membersamai konten-konten sensasional lainya. Konten serupa itu lebih menjamur lagi menjelang musim kampanye ketika suhu politik menanjak. Banyak ditemukan posting ulang konten lama. Sama halnya dengan mencuatnya berbagai kasus yang bisa dijadikan domplengan oleh para konten kreator untuk menaikkan trafik kunjungan akun mereka.
 
Simak saja konten-konten tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Atau soal pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta. Ada pula konten soal isu miring terhadap Presiden Joko Widodo dan keluarganya. Teranyar, konten soal demo kawal putusan MK membanjiri platform media sosial, terutama yang menyajikan layanan konten audio visual.
 
Judul yang dipajang pun memiliki daya tarik tinggi. Meski, konten di dalamnya tak seseru judulnya. Demikian juga halnya dengan keaslian video konten, sering kali terlihat seperti hasil reproduksi video dari konten yang telah beredar.
Baca:Daya Rusak Flexing

Dalam lalu lintas informasi yang semakin tidak mengarah ini, ketiadaan penanggung jawab menjadikan konten bergerak sangat liar. Sistem kontrol pun sangat lemah. Saat semua orang bisa menyampaikan apa saja, kapan, dan di mana saja, saat setiap individu terkoneksi tanpa batas antara satu sama lain. Ketika semua dari kita bisa menjadi produsen berita, dengan media yang kita buat sendiri atau dilekatkan pada layanan media raksasa yang siap menampung apa saja dan menyebarkannya kepada siapa saja.
 
Kondisi seperti itu terkesan sangat membahayakan dan bisa memengaruhi opini publik yang menerima informasi tersebut, baik secara sukarela maupun terpaksa. Pasalnya, informasi itu disuntikkan lewat alat komunikasi yang mereka miliki dengan biaya yang dibebankan kepada mereka jua.
 
Ungkapan "hanya konten" seperti yang disampaikan di awal tulisan ini pada gilirannya tidak bisa dianggap sepele oleh para produsen konten. Kekuatan pernyataan tersebut pada suatu saat akan menggeser pernyataan lain yang selama ini diakui dan menjadi motivasi konten kreator untuk memproduksi kontennya dengan tanpa mengedepankan asas orisinalitas dan objektivitas.
 
Ungkapan konten adalah raja akan bisa digeser oleh "hanya konten". Sebagaimana wartel dan warnet tergeser oleh telepon seluler. Benar bahwa media cetak tergeser oleh media digital dewasa ini, hingga banyak perusahaan pers yang memangkas produksinya dengan beralih ke media digital. Tapi, kepercayaan khalayak kepada lembaga penyiaran atau perusahaan pers yang sudah dikenal kapabilitas dan reputasinya akan sulit digeser.
 
Publik juga semakin lama semakin dewasa, baik pengetahuan maupun pengalamannya. Jika terlalu sering dibohongi, mereka akan mengubah cara pandangnya terhadap konten. Publik akan kembali ke konsep awal bahwa konsumen adalah raja. Dengan statusnya sebagai raja, ia akan memilih konten mana yang akan dilihat dan mana yang diabaikan. Channel atau akun siapa yang akan diikuti juga akan menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengakses informasi. Ke depan tetap siapa yang paling layak dipercaya dan didengar dia yang akan diakses.
 
Maka, ungkapan yang tahun 80-an diwakili oleh Ebiet G Ade, "jangan lihat siapa bicara,
tapi dengar apa katanya", di era komunikasi digital ini berganti menjadi "lihatlah siapa yang bicara dan lihat pula apa katanya."[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar media massa media sosial konten kreatif

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif