"Saat ini sebenarnya media mainstream masih menjadi acuan karena masih menerapkan etika penyiaran dibandingkan dengan konten-konten di dunia digital," kata Sekjen Komdigi, Ismail, dalam webinar bertajuk "Badai PHK Terjang Industri Media, Salah Siapa?" yang diselenggarakan mahasiwa Media Industry and Business Program Magister Universitas Mercu Buana (UMB) melalui siaran pers, Senin, 16 Juni 2025.
Ismail mengingatkan perusahaan media tidak melakukan PHK sepihak kepada para karyawan. Menurutnya, industri media harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi yang semakin cepat.
Fenomena sunset industri telah mengubah bisnis model, di antaranya dengan pergeseran penempatan iklan. "Fenomena badai PHK di media atau sunset industry ini disebabkan oleh perubahan lifestyle dengan adanya teknologi digital. Akan ada titik keseimbangan baru, dan para jurnalis harus menyesuaikan dan meningkatkan kompetisinya untuk melakukan adaptasi di konteks dunia baru”, papar Ismail.
Dia memastikan pemerintah berkomitmen membantu percepatan digital. Sebab, perubahan adalah suatu keniscayaan
"Perubahan adalah sebuah keniscayaan, kita tidak bisa membendung perubahan teknologi. Pemerintah akan menjadi lokomotif dalam melakukan upaya cepat melakukan review untuk para stake holder dan masyarakat," kata Ismail
Akademisi Ilmu Komunikasi, Afdal Makkuraga Putra, menyoroti pentingnya jaring pengaman atau regulasi yang kuat untuk melindungi pekerja kreatif dan pekerja media di tengah perubahan pola konsumsi masyarakat. Sehingga, ketika terjadi tekanan pada industri, yang terdampak lebih dulu dan menjadi korban adalah para karyawan.
"Dulu media konvensional itu terlembaga, namun hari ini orang bisa melakukannya secara individual dan user friendly, seperti yang dilakukan oleh para konten kreator. Sayangnya belum ada jaring pengamannya," kata Afdal.
Baca juga: Tren PHK Melonjak! Upaya Pemberdayaan Perempuan Harus Ditingkatkan |
Afdal meyakini revolusi industri digital komunikasi bisa mewujudkan keseimbangan sosial yang baru. Sebab, disrupsi digital merupakan fenomena global yang tak bisa dihindari.
“Yang berubah adalah media (platformnya), namun profesinya akan tetap ada dengan banyak peluang di sektor komunikasi," kata Afdal.
Praktisi media, Agung Cahyono, mengatakan televisi sebenenarnya masih menjadi media efektif untuk menjangkau pelosok Indonesia. Dia melihat, sebenarnya masih banyak peluang yang bisa diambil oleh pekerja media, di antaranya dengan menghasilkan event-event seperti pagelaran olahraga ataupun konser dengan pendekatan sinematik.
"Senjakala industri televisi sudah terjadi, namun yang paling penting bahwa kita bisa melewatinya dengan indah, dan tetap beradaptasi dengan kemajuan zaman," kata Acay, sapaan karib Agung Cahyono.
Acay juga menyoroti nasib pekerja kreatif yang terdampak disrupsi digital. Dalam paparannya yang berjudul “Apa Kabar Televisi?”, dosen IMDE itu menyinggung kehadiran Artificial Intelligent atau AI yang berpotensi menggeser peran pekerja kreatif media.
Menurutnya pemerintah perlu memperhatikan kehadiran AI. Dia juga mendorong pemerintah memikirkan reward system yang baik dan fair bagi para pekerja media.
“AI harus direspons sebagai pendukung, bukan sebagai pengganti manusia sebagai pencipta kreativitas. Semua membutuhkan kerja bersama dari berbagai stake holder untuk mendukung dan memastikan secara hukum dan ekonomi keberadaan para pekerja media ini," kata program director yang sering memimpim event olahraga internasional itu
Sementara itu, dosen Ekonomi Politik Media, Heri Budianto, menyatakan dinamika ekonomi politik media tidak bisa dilepaskan dari perubahan lanskap digital dan pola konsumsi audiens. "Ini adalah kontribusi dari kalangan akademisi untuk membuka ruang diskusi dan mencari solusi dari situasi sulit yang dihadapai oleh industry media saat ini," kata Heri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id