Ilustrasi/MI
Ilustrasi/MI (Media Indonesia)

Cegah Kolaps Rumah Sakit

Media Indonesia • 17 Juni 2021 12:22
PANJANGNYA pandemi telah menunjukkan kepada kita ada yang lebih menakutkan dari jumlah kasus covid-19. Itu adalah angka keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) fasilitas isolasi maupun rumah sakit rujukan korona.
 
Untuk wilayah DKI Jakarta, kemarin, BOR sudah menunjukkan sinyal bahaya. Di Jakarta Selatan, kenaikan kasus mencapai 85%, berimbas pada BOR menjadi sekitar 78%. BOR di Jakarta Timur dan Jakarta Barat masing-masing 77,33% dan 77,2%. Adapun di Jakarta Utara BOR berada pada 81,2% serta di Jakarta Pusat mencapai 86,11%. Khusus untuk tempat tidur ICU, dari total kapasitas 1.127 unit, tingkat keterisian mencapai 73%. Itu artinya hanya tersisa 303 unit yang tersedia di seantero Jakarta.
 
Angka-angka itu sudah jauh di atas standar BOR WHO sebesar 60%, meski masih dalam standar ideal BOR Kemenkes RI, yakni 60%-85%.
 
Angka BOR adalah angka sakti karena menentukan kualitas layanan medis pada saat itu. Angka BOR yang melewati batas ideal bukan saja berarti krisis tempat tidur yang sudah di depan mata, tetapi juga ancaman meningkatnya infeksi nosokomial atau infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Ini bukan isapan jempol, melainkan sudah jadi gambaran umum di dunia. Tambahan tempat tidur tanpa ketersediaan tenaga medis yang cukup hanyalah omong kosong. Tambahan BOR yang demikian hanyalah kamuflase bahaya. Tanpa tenaga medis tambahan, artinya tenaga medis yang ada harus bekerja berkali-kali lipat. Itu membuat mereka rentan kelelahan dan rentan pula terinfeksi. Jika sudah begitu, petaka justru makin mengerikan karena akhirnya operasional rumah sakit yang terancam kolaps akibat tumbangnya para tenaga medis.
 
Petaka inilah yang harus diwaspadai dari langkah menambah BOR di daerah-daerah lonjakan kasus, seperti di Jakarta. Betul bahwa penambahan BOR harus segera dilakukan. Namun, yang tak kalah penting ialah menambah pula tenaga medis.
 
Itu termasuk tenaga medis di fasilitas isolasi mandiri, yang menurut Kadis Kesehatan DKI Jakarta akan dibuka di Rusun Nagrak Cilincing, Wisma PMII, dan Wisma Ragunan. Fasilitas isolasi mandiri yang tidak dijalankan dengan baik justru bisa membuat kondisi penderita memburuk sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.
 
Sebab itu, laju BOR harus ditekan sejak pangkalnya, yakni pencegahan pertambahan kasus lewat berbagai mekanisme pembatasan mobilitas, termasuk PPKM mikro. Senin (14/6), Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto mengumumkan PPKM mikro diperpanjang hingga dua pekan atau hingga 28 Juni.
 
Dalam PPKM mikro tahap ke-10 ini perusahaan yang berada di zona merah covid-19 wajib menerapkan WFH bagi 75% karyawannya. Sekolah yang berada di zona itu harus melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara daring. Adapun jam operasional restoran dan mal dibatasi hingga pukul 21.00 dengan kapasitas pengunjung maksimal 50%.
 
Pemprov DKI Jakarta telah mengikuti aturan tersebut dengan juga memperpanjang PPKM mikro hingga 28 Juni. Sepatutnya pula 14 kabupaten/kota lainnya yang juga mengalami lonjakan kasus covid-19 menerapkan PPKM mikro.
 
Kerja pun tidak selesai di situ. Sebagaimana yang gamblang terlihat, PPKM mikro tidak akan efektif tanpa penindakan tegas di lapangan. Di sinilah letak urgennya peran posko-posko covid-19 di tingkat kelurahan atau tingkat desa.
 
Posko itu bukan sekadar mengendalikan mobilitas, melainkan sebagai pusat perencanaan, koordinasi, hingga evaluasi kegiatan penanganan covid-19. Terlebih lagi segala pelaksanaan yang dilakukan dengan pendekatan komunitas diharapkan dapat menghasilkan tertibnya pelaksanaan PPKM mikro. Warga bukan sekadar ditempatkan sebagai objek, melainkan juga subjek yang bergotong royong, kompak, dan adaptif.
 
Dari data yang ada, sejauh ini di 5 kota madya DKI Jakarta, pembentukan posko bahkan belum ada yang mencapai 50%. Persentase terbanyak di Jakarta Utara, yakni pokso terbentuk 38%, dengan jumlah kenaikan kasus 128%. Jakarta Selatan tercatat paling minim pembentukan posko, yakni baru 1,5%, dengan kenaikan kasus 85%.
 
Angka-angka itu menunjukkan, bukan cuma pembentukan posko yang masih rendah, tetapi juga perannya yang belum berarti. Karena itu, tidak hanya harus menggenjot pembentukan posko, setiap perangkat daerah, termasuk lurah, harus benar-benar memastikan posko itu bekerja sesuai fungsi. Para lurah, termasuk juga kepala-kepala desa di berbagai daerah, harus bisa merumuskan sistem yang membuat perencanaan hingga evaluasi penanganan covid-19 di daerahnya bisa berjalan dengan peran aktif warga.
 
Lurah, kepala desa, hingga pimpinan daerah tertinggi harus menyadari bahwa penanganan covid-19 tidak akan terjadi dengan kerja sendiri. Warga harus benar-benar dilibatkan karena kedisiplinan warga adalah pangkal yang menentukan petaka atau usainya pandemi ini.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar DKI Jakarta Virus Korona pandemi covid-19 Pencegahan Covid-19

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif