Ketika meluncurkan kebijakan ini, Mendikbud mengemukakan, "Perguruan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yang bergerak tercepat. Karena dia begitu dekat dengan dunia pekerjaan, dia harus yang berinovasi tercepat dari semua unit pendidikan," ujar Nadiem di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat, 25 Januari 2020.
Kita paham dari 4000-an kampus yang ada di Indonesia, ada yang sudah siap tapi ada juga yang belum. Meskipun demikian, kebijakan merdeka belajar itu bagus agar yang siap tidak terkendala kebijakan yang mengikat, sehingga kampus-kampus yang bagus dan sudah siap malah ketarik ke bawah.
Siap lari Saat ini saya yakin ada upaya kampus untuk langsung lari, ada yang siap-siap lari tapi ada pula yang masih berat untuk berlari. Tidak apa-apa, hal itu sangat wajar. Yang sudah bisa lari, silakan lari cepat, yang belum siap, bisa belajar kepada yang sudah lari.
Sementara itu, ide Mendikbud agar mahasiswa belajar tiga semester di luar kampus, saya menerjemahkannya bahwa mahasiswa bisa belajar di kampus lain, baik dalam maupun di luar negeri. Mereka juga bisa belajar di dunia industri (praktik kerja atau magang), aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau terjun untuk membantu membangun desa.
Berbagai praktik kerja tersebut akan sangat diperlukan oleh mahasiswa. Tujuannya, agar mahasiswa tidak berperilaku seperti kata peribahasa bagai “katak dalam tempurung”.
Para mahasiswa sebuah perguran tinggi bisa melakukan credit earning activities (CEA) di luar kampusnya. Misalnya mahasiswa PT A bisa melakukan CEA di PT B yang berada di dalam negeri atau di luar negeri.
Jadi mahasiswa itu setidaknya bisa merasakan belajar selama 1-3 semester di kampus lain. Ini bagus, baik untuk pribadi mahasiswa sendiri ataupun untuk kampusnya. Dengan demikian, mereka bisa melakukan kerjasama.
Membuka wawasan
Sewaktu saya menempuh Pendidikan S2 dan S3 tahun tahun 1990-1996 di Guelph, Kanada, para mahasiswa diperbolehkan mengambil mata kuliah di kampus-kampus di luar Guelph. Waktu itu saya sempat mengambil satu semester di University of Michigan Amerika Serikat.
Dari situ, saya mendapat ilmu dari dosen University of Michigan. Saya juga merasakan lingkungan berbeda yang bisa membuka wawasan saya tentang atmosfir akademik yang baru sekaligus membuat wawasan jadi lebih luas.
Pola seperti ini akan sangat berpengaruh positif terhadap mahasiswa. Bila mahasiswa selama 4 tahun belajar di kampus yang sama, hal itu kurang baik bagi masa depan mahasiswa yang bersangkutan.
Untuk perguruan tinggi yang berbasis vokasi, bisa saja memanfaatkan sebagian waktu dari tiga semester untuk magang di lingkungan industri agar mendapat pengalaman lapangan dan menguasai teknologi baru. Bisa juga satu semester di politeknik German atau Jepang yang terkenal sangat kuat aplikasinya.
Program magang
Begitu juga untuk program-program pendidikan lainnya, misalnya jurusan hubungan internasional bisa magang di kantor-kantor yang bernaung di bawah PBB, kantor kedutaan atau lembaga kajian internasional. Bagi program pendidikan pemerintahan, mereka bisa magang di lingkungan pemerintahan, seperti kantor desa atau kelurahan, kecamatan, dan bahkan LSM.
Intinya, kebijakan “kampus merdeka” ini sebenarnya kesempatan bagi pimpinan kampus untuk berkreasi. Saat ini menteri sudah memberi keleluasaan, mari kita tangkap dan optimalkan.
PTN yang sudah siap, bisa lari kencang. Selain itu, yayasan yang menaungi PTS tentu juga harus memberi keleluasaan kepada pimpinan kampus untuk berkreasi agar bisa juga ikut berlari kencang, tidak dibuat repot oleh birokrasi di lingkungan internal.
Bila pemerintah sudah memberi kelonggaran, jangan dikritik lagi. Sebab, bisa jadi nanti malah perguruan tinggi diikat lagi seperti masa lalu. Bila kondisinya seperti itu, perguruan tinggi akan sulit untuk masuk ke dalam 100 kampus besar dunia.[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id