Bambang pun tak terima pernyataannya dipotong Dirut Krakatau Steel.
"Anda tolong ini dulu, hormati persidangan ini. Ada teknis persidangan. Kok, kayanya Anda enggak pernah menghargai Komisi. Kalau sekiranya Anda enggak bisa ngomong di sini, Anda keluar!" kata Bambang.
Silmy menjawab, “Baik, kalau memang harus keluar, kita keluar.”
Selaku pemimpin rapat, Bambang terikat dengan ketentuan Pasal 292 Tata Tertib. Pasal 292 ayat (2) menyatakan ketua rapat hanya berbicara selaku pimpinan rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan, dan menyimpulkan pembicaraan anggota rapat sesuai kesepakatan anggota yang menghadiri rapat.
Ketentuan Pasal 292 ayat (3) juga kurang diperhatikan. Ayat itu menyebutkan dalam hal ketua rapat hendak berbicara selaku anggota rapat, untuk sementara pimpinan rapat diserahkan kepada pimpinan yang lain.
Ayat (4), pimpinan yang hendak berbicara selaku anggota rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpindah dari kursi pimpinan ke kursi anggota rapat. Kesan yang ditangkap bisa saja salah bahwa pada saat berbicara, ‘maling teriak maling’, Bambang sudah menggunakan haknya sebagai anggota karena itu mestinya dia berpindah tempat duduk dan menyerahkan palu sidang kepada pimpinan lainnya.
Sejatinya, reaksi Simly memotong pembicaraan ketua rapat wajar-wajar saja karena ada istilah ‘maling teriak maling’. Makna peribahasa itu ialah seseorang yang melakukan perbuatan jahat yang masih disembunyikan dan menuduh orang lain yang melakukan perbuatan tersebut.
Simly bisa saja ditafsir sebagai maling sehingga dia minta klarifikasi. Sekalipun Simly tidak menerima istilah ‘maling teriak maling’, ia tidak bisa menggugat Bambang sebab menurut Pasal 204 Tatib DPR, anggota DPR mempunyai hak imunitas.
Disebutkan, anggota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya, baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi, wewenang, dan tugas DPR.
Pada titik itulah sesungguhnya terjadi ketidaksetaraan dalam istilah mitra kerja. Suka-suka anggota DPR memakai istilah, toh, mereka tidak bisa dituntut ke pengadilan.
Sekalipun ada tameng imunitas, jangan pernah lelah mengawasi tingkah laku anggota DPR sehingga mereka tidak mengatasnamakan kepentingan pribadi sebagai kehendak rakyat.