Jawabannya sederhana, karena Anwar Ibrahim punya jejak amat manis di Indonesia. Ia sudah lama mengenal Indonesia. Sejak belia, Dato’ yang satu ini berkawan karib dengan para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia.
Presiden Jokowi pun mengakui itu. Saat memberikan ucapan selamat kepada Anwar Ibrahim beberapa menit setelah Anwar dilantik menjadi Perdana Menteri ke-10 Malaysia, Jokowi mengatakan, "Yang Mulia sangat dihormati di Indonesia."
Anwar, yang mengunggah percakapan melalui telepon itu di media sosial miliknya, menegaskan bahwa ia kekal menjadi sahabat sejati Indonesia. Di medsos itu pula Anwar bahkan menulis bahwa ia 'anggota' HMI. Ia bersahabat amat dekat dengan Cak Nur (Nurcholish Madjid), Bang Imad (Imaduddin Abdurrahim), Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, juga Ekky Syahruddin. Anwar mengakui para aktivis senior itu sebagai mentornya. Pandangan Anwar tentang pentingnya moderasi beragama juga muncul setelah ia banyak bergaul dan 'bergabung' dengan HMI. Ia belajar ilmu agama dari Buya Hamka. Anwar juga amat terkesan dengan pemikiran Nurcholish Madjid.
Bahkan, untuk memenuhi hasratnya yang tinggi tentang pemikiran Islam itu, pada 1967 Anwar ikut pengaderan HMI di Pekalongan, Jawa Tengah. Dia pun mengakui bahwa dirinya belajar banyak materi ideologi politik dan strategi, juga tentang pemikiran keislaman, di kancah pengaderan HMI.
“Saya memperoleh manfaat dari HMI karena mengikuti materi ideologi politik dan strategi di Pekalongan. Generasi saya lebih istimewa. Abang-abang saya adalah Nurcholish Madjid, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahrudin. Semua hebat-hebat,” katanya saat pelantikan KAHMI (Korps Alumni HMI) Malaysia pada 2020.
Begitulah Dato’ Anwar. Ia seorang pembelajar yang tekun. Anwar menyerap pengetahuan dari mana saja, termasuk dari pemikir keislaman di Indonesia. Di titik ini, Anwar bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang di masa itu menjadi rujukan banyak anak muda.
“Saya masih 18–19 tahun lalu saat mengenal beliau (Cak Nur). Ketika itu beliau menjadi Ketua Umum HMI. Kemudian saya menemui beliau, mengikuti beberapa training. Kemudian saya undang beliau ke Malaysia,” ujarnya pada satu kesempatan.
Dia kian dekat dengan Cak Nur. Bahkan keduanya membentuk Persatuan Pelajar Islam Asia Tenggara. “Kami bersama membangun Persatuan Pelajar Islam Asia Tenggara. Cak Nur sebagai ketuanya dan saya sebagai sekjennya,” jelasnya.
Anwar melihat pemikiran Islam sebagai sesuatu yang terus bergerak sehingga proses untuk memperkaya makna harus terus-menerus dilakukan. Dia melihat pemikiran keislaman dari cendekiawan muslim di Indonesia berperan penting untuk menyatukan generasi muda Islam di kawasan Asia Tenggara. “Ide dan pikiran Cak Nur masih sangat relevan hingga hari ini,” jelasnya.
Baca juga:Presiden Diminta Turun Tangan bila Kapolri Tak Audit Investigasi Kasus yang Disetop |
Maka, Anwar tergolong pemikir Islam moderat di Malaysia yang kokoh dan konsisten dengan pemikirannya. Anwar mempraktikkan keyakinan pandangan keislamannya itu dalam sepak terjang politik yang ia lakoni.
Ia akomodatif dengan 'non-Melayu'. Saat kampanye, Anwar berjanji langkah seperti itu pula yang akan dia lakukan jika terpilih sebagai anggota parlemen. Ia buktikan janji itu dengan mengangkat 40% menteri dari etnik Tionghoa dan India (dua etnik terbesar di Malaysia setelah etnik Melayu). Seperempat menterinya kaum perempuan.
Kini, penantian panjang Anwar Ibrahim untuk memimpin pemerintahan Malaysia tercapai. Setelah menunggu 24 tahun sejak ia ditendang dari kursi wakil PM oleh Mahathir Mohamad pada 1998, Anwar Ibrahim menjadi perdana menteri.
Kepada Indonesia, melalui Presiden Jokowi, Anwar berjanji terus menjadi sahabat sejati Indonesia. Ia bertekad meningkatkan hubungan bisnis, perdagangan, investasi, juga kebudayaan dengan Indonesia. Anwar juga berjanji untuk menyelesaikan segala persoalan menyangkut pekerja migran Indonesia secara 'bersih'.
Anwar punya rekam jejak menepati janji. Kita tinggal menagihnya nanti, jika ia cukup waktu menjadi perdana menteri.