Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, dan pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
INDONESIA menghadapi beban ganda malnutrisi yang serius. Di satu sisi, impitan kemiskinan membatasi akses warga terhadap pangan yang beragam dan bergizi. Akibatnya, mereka kurang gizi, bahkan menderita gizi buruk. Di sisi lain, perbaikan pendapatan memungkinkan warga untuk mengonsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tubuh. Akibatnya, warga kelebihan berat badan atau kegemukan, bahkan mengalami obesitas.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 mengungkap potret buram beban ganda dunia gizi negeri ini, yaitu prevalensi gizi buruk balita meningkat menjadi 5,7% dari 4,9% pada 2010, sedangkan prevalensi gizi kurang balita naik dari 13% pada 2010 menjadi 13,9% pada 2013. Anak stunting (bertubuh pendek) juga meningkat menjadi 37,2% (2013) dari sebelumnya 35,6% (2010). Pada periode yang sama, gizi lebih balita turun dari 14% menjadi 11,9%.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi bisa dipacu cukup tinggi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan perbaikan gizi warga. Entah apa yang terjadi pada pemimpin negeri ini. Mereka acuh dan abai, bahkan terkesan amnesia dalam hal beban ganda malnutrisi. Meskipun berbeda penyebab dan dampaknya, kedua masalah gizi itu membawa persoalan yang sama-sama serius bagi bangsa di masa depan.
Gizi kurang merupakan masalah multikompleks dengan beragam penyebab, mulai keterbatasan ekonomi, akses pangan rendah, sosial-budaya, hingga pengetahuan gizi rendah. Namun, faktor utama gizi kurang ialah kemiskinan. Saat inflasi tinggi dan nilai tukar rupiah jatuh, harga pangan terasa mahal. Warga miskin yang 70% pendapatannya dialokasikan untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan, seperti kesehatan dan pendidikan atau beralih ke pangan inferior, guna mengamankan isi perut.
Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi berdampak panjang, bukan hanya pada kesehatan, melainkan juga soal produktivitas dan kualitas SDM. Anak balita, ibu hamil, dan manula merupakan tiga kelompok paling rentan kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Jika asupan gizi kurang, pertumbuhan balita akan terganggu, yakni tumbuh pendek, kecerdasan rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif.
Kemiskinan dan gizi kurang seperti lingkaran setan tak berujung. Karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhannya yang terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya, produktivitas rendah, sakit-sakitan, dan terjerat dalam kubangan kemiskinan. Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul. Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika gizi kurang.
Di sisi lain, kegemukan dan obesitas akibat konsumsi kalori berlebih berdampak buruk pada tekanan darah. Orang lebih rentan terkena hipertensi. Hipertensi dan kegemukan merupakan penyumbang risiko munculnya penyakit jantung koroner yang rentan kematian. Dewasa ini, kian banyak kasus penyakit tidak menular di Indonesia. Hal tersebut terjadi antara lain akibat pola makan. Penyakit tidak menular itu menjadi penyebab 60% kematian. Pengeluaran pemerintah, khususnya untuk jaminan kesehatan nasional, melonjak. Biaya tertinggi jaminan kesehatan nasional terkuras untuk perawatan stroke, diabetes, dan gagal ginjal. Beban ganda malnutrisi itu menjadi masalah bangsa dan memerlukan perhatian serius.
Hilangnya isu gizi dalam pembangunan harus dicegah dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Caranya, pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan manula agar memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup. Negara harus hadir sebagai penjamin terpenuhinya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti amanah UU No 18/2012 tentang Pangan. Hal tersebut dapat dilakukan lewat beragam aksi, seperti revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program tambahan makanan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi harga pangan, dan penganekaragaman pangan lokal.
Gizi merupakan bagian kecil dari urusan kesehatan. Barangkali karena dianggap kecil, keberadaan Kementerian Pangan dan Gizi tidak diperlukan. Soal pangan dan gizi cukup diurus birokrasi setingkat direktorat. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, hingga kini tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan (dan gizi).
Pangan (dan gizi) yang kemudian diurus Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan justru menjadi tak terurus. Sudah saatnya dibentuk kelembagaan yang mengurus pangan (dan gizi), seperti amanah Pasal 126-129 UU No 18/2012.
Investasi di bidang gizi sifatnya jangka panjang. Selama ini, kita sering berpikir sempit dan jangka pendek. Kita kurang sekali menghargai masa depan. Karena itu, yang diperlukan tidak hanya komitmen pendanaan dari birokrat dan politisi, tapi juga jaminan keberlanjutan aneka program pembangunan gizi. Selain itu, gizi perlu menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang tidak terlepas dari program pengentasan kemiskinan. Dengan pelbagai langkah itu, kita dapat mencegah lahirnya generasi bebal--yang berujung pada bangsa bebal--karena otak mereka kosong lantaran kurang asupan gizi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di