Janji-janji manis, begitulah frasa yang kemudian muncul untuk menggambarkan betapa mudahnya orang berjanji. Itu bahkan sampai dijadikan tema lagu berjudulSeribu Janjiyang dipopulerkan penyanyi lawas Ida Laila. 'Mudahnya engkau berjanji... Semudah itu pula engkau telah mengingkari...' Begitu penggalan liriknya.
Hari-hari ini soal janji menjadi atensi. Ada yang berjanji, ada yang menagihnya. Yang berjanji ialah Presiden Jokowi, yang dijanjikan remaja asal Belu, Nusa Tenggara Timur, Yohanes Ande Kalla. Joni, demikian dia biasa disapa, dijanjikan bisa diterima masuk pendidikan TNI selepas lulus SMA.
Janji itu disampaikan Jokowi pada 2018 silam ketika Joni berusia 13 tahun dan duduk di bangku SMP. Janji itu diucapkan sebagai bentuk perhatian dan penghargaan atas aksi heroik Joni. Joni nekad memanjat tiang setinggi 23 meter untuk memperbaiki pengait tali sehingga pengibaran bendera Merah Putih pada peringatan HUT Kemerdekaan RI di Atambua bisa berjalan mulus. Joni memang berani dan patut mendapat apresiasi. Wajar, sangat wajar, dia diberi kesempatan menyaksikan pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta secara langsung. Lumrah, sangat lumrah, jika Kemendikbud, PLN, Pj Gubernur NTT, dan beberapa pihak lain memberikan beasiswa. Layak pula dia kemudian diundang Pak Presiden ke Istana, lalu diberi hadiah sepeda dan rehab rumah.
Dua penghargaan itu sudah ditunaikan. Lunas. Tidak ada masalah. Kala itu, Jokowi juga menjanjikan kepada Joni untuk langsung diterima masuk pendidikan TNI. Awalnya Pak Jokowi menanyakan cita-cita Joni dan dijawab ingin menjadi tentara. ''Pengin jadi tentara? Ya, sudah nanti langsung daftar ke Panglima (TNI), langsung diterima kamu sudah, ya. Jaga kesehatan,'' kata Presiden menanggapi kenginan sang pahlawan cilik.
Di situlah pokok persoalannya kini. Janji Jokowi menjadi masalah karena Joni ternyata gagal lulus tes masuk TNI. Dulu, sejak dijanjikan Jokowi, dia bahagia luar biasa. Dia bungah karena cita-citanya akan kesampaian. Siapa coba yang meragukan jaminan seorang presiden?
Baca juga:Kodam Udayana Sebut Joni Si Bocah Bendera Masih Berkesempatan Ikut Seleksi Masuk TNI |
Presiden ialah panglima tertinggi. Dia atasan Panglima TNI, panglimanya seluruh anggota TNI. Kalau dia telah menegaskan Joni sudah pasti diterima menjadi tentara, siapa yang berani membantah dan mengabaikannya? Namun, situasi nyatanya tak seindah yang dibayangkan Joni. Dia nyaris patah hati karena gagal mengikuti tes masuk TNI tahun ini. Kekecewaannya begitu mendalam.
Kalau kemudian Joni kembali menagih janji yang pernah disampaikan Jokowi, kiranya sah-sah saja. Jika dia meminta bantuan Bapak Presiden dan Bapak Panglima beserta jajaran TNI untuk meluluskannya menjadi anggota TNI, tak ada salahnya. Harapannya untuk bisa berseragam loreng kadung meledak-ledak. Dia tidak ingin janji tinggal janji.
Salahkah TNI tidak meluluskan Joni? Tidak patuhkah mereka pada instruksi panglima tertinggi? Tidak juga. Kiranya dalam kasus ini, TNI berlaku benar. Tentara ialah organisasi yang paling disiplin mematuhi regulasi dan paling ketat menerapkan aturan, termasuk dalam merekrut anggotanya.
Tidak cuma harus pintar, tidak hanya mesti tangguh dalam mental, soal fisik juga tak bisa ditawar-tawar dalam deretan persyaratan menjadi anggota TNI. Soal tinggi badan salah satunya. Soal itu pula yang menjadi penghalang Joni.
Untuk masuk TNI AD, laki-laki minimal harus punya tinggi 163 cm dan perempuan 157 cm. Di daerah-daerah tertentu, di daerah tertinggal, masih ada toleransi dari ketentuan itu. Tinggi badan minimal cukup 160 cm. Namun, syarat terakhir itu pun gagal dipenuhi Joni. Tingginya hanya 155,8 cm.
Bukannya hendak menafikan keberanian Joni, bukan pula ingin melupakan aksi heroiknya, TNI kiranya tegak lurus pada ketentuan. Hidup mati tentara bergantung pada kedisiplinan, kepatuhan pada aturan. Kalau mereka tidak memberikan toleransi kepada Joni meski telah mendapatkan 'katabelece' dari Jokowi, sikap itu baik adanya.
?Joni benar, TNI tidak salah. Kalau begitu, siapa yang salah? Ada petuah bahwa pemimpin yang bijak ialah yang menepati janji, tetapi pemimpin yang paling bijak ialah yang tidak mudah mengumbar janji. Janji itu berat, apalagi janji pejabat kepada rakyatnya.
Bapak India, Mahatma Gandhi, pun pernah mengingatkan agar jangan pernah membuat janji dengan tergesa-gesa. Janji harus dipikirkan supermatang sebelum diucapkan. Janji ialah sesuatu yang sakral, pantang diobral, apalagi demi citra diri.
Pas pula apa yang pernah dikatakan Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat. Kata dia, "Kita tidak boleh menjanjikan apa yang tidak seharusnya kita lakukan agar kita tidak dipanggil untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan."